Tidak ada keterangan mendetail yang diberikan Gempita tentang situasi keluarga Argan. Yang diketahui Mentari hanya bahwa papa Argan sedang sakit, beberapa hari yang lalu sempat dilarikan ke rumah sakit. Mentari masih ingin bertanya, namun Gempita segera mematikan teleponnya, karena harus kembali bekerja."Haruskah aku menelepon Argan?" Mentari bimbang, mondar-mandir di dalam kamarnya. "Bagaimana kalau tidak direspon seperti terakhir kali?"Dia pun memutuskan untuk mengirimkan pesan saja. Centang satu. Statusnya masih sama saat Mentari hendak beranjak tidur. Keesokan paginya, hal pertama yang diperiksanya adalah pesan dari Argan. Tidak ada, tapi sudah centang dua.Seperti biasa, hari senin merupakan hari yang sibuk di toko. Mentari bahkan tidak sempat memeriksa ponselnya kala makan siang, oleh karena dia buru-buru harus bergantian dengan karyawan lainnya. Toko cukup ramai, tidak ada waktu santai.Ketika hendak pulang, dia melihat panggilan dua tidak terjawab dari Argan. Diapun segera m
Kasus itu seperti hilang ditelan bumi. Mentari telah mencari berita terkait proyek itu di internet, namun hasilnya nihil. Dia pun tidak mendapatkan berita lanjutan lagi dari Bunga. Informasi final yang diperolehnya hanya dari kakak iparnya yang mengatakan bahwa proyek itu telah selesai diselidiki dan akan dilanjutkan kembali minggu depan. Menurut Feri, hasil pemeriksaan menyatakan bahwa tidak ada penyelewengan dana sama sekali, hanya kekeliruan dan kesalahpahaman dari salah seorang pekerja junior, maka proyek kembali bisa dilanjutkan.Meskipun Mentari tampak cuek, namun dia memiliki harapan besar bahwa Gempita akan memberitahukannya suatu informasi akurat yang dapat diterimanya. Yang disampaikan Feri tampak tidak masuk akal baginya. Namun, sahabatnya itu begitu sulit dihubungi, pekerjaannya telah menyita banyak waktunya.Di toko pun yang berisi segelintir karyawan dari berbagai lokasi, tidak seorang pun pernah membahas perihal itu, seolah itu memang tidak pernah terjadi. Benarkah itu
Tiga huruf itu seolah menjawab semuanya, tapi Mentari tidak ingin menyimpulkan. Di pikirannya sudah tertulis 'Kamu terlibat?', namun tidak sanggup diubahnya dalam bentuk tulisan."Bagaimana situasinya?" balas Mentari, berharap pertanyaan itu tidak diartikan sebagai serangan di mata Argan.Tak ada balasan. Kali ini tidak ada balasan sama sekali. Pertanyaan-pertanyaan penuh asumsi memenuhi benak Mentari. "Sudah kamu tanyakan pada Argan?" serbu Cahya melihat Mentari keluar dari kamarnya. Keripik pisang masuk kembali ke dalam mulutnya setelah melontarkan pertanyaan itu."Dia membenarkan, Kak, namun tidak memberikan penjelasan." Lirikan mata Mentari menangkap bungkus keripik di tangan kakaknya. Salah satu kesamaannya dengan kakaknya adalah sama-sama menyukai keripik pisang. Namun, di mata Mentari, kali ini keripik itu tampak seperti keripik jengkol, salah satu makanan yang tidak disukainya."Aneh." Kepala Cahya menggeleng-geleng dengan mata disipitkan seperti seorang yang menaruh curiga.
Hal pertama yang dilakukan Mentari saat bangun pagi ini adalah menelepon Gempita, namun ponsel sahabatnya itu sedang tidak bisa dihubungi. 'Mungkin dia masih tidur,' pikir Mentari, namun beberapa detik kemudian pikiran lain merasukinya, 'Jangan-jangan dia menghindariku?'Lelah berasumsi, tepat pukul 07.30, Mentari menelepon Argan. Sebelum terlelap semalam, pikirannya telah merancang kata-kata yang akan diucapkannya. Tapi, sepupu Gempita itu pun tidak bisa dihubungi.Mentari tidak menyerah, beberapa kali lagi dia mencoba meskipun hanya terdengar suara manis seorang wanita yang memintanya meninggalkan pesan di kotak suara. Dia ingin mendengarkan penjelasan langsung dari mulut Argan, makanya dia tidak mengirimkan pesan sama sekali. Dia juga tidak ingin memberikan waktu bagi Argan untuk memikirkan jawabannya terlebih dahulu dengan melihat pesannya beberapa waktu sebelum membalas.Siang harinya Mentari kembali menelepon Argan, namun Argan tidak menjawab dan tidak mencoba meneleponnya kemba
Pertemuan itu mengubah hari-hari Mentari selanjutnya. Sekarang dia lebih sering tersenyum dan ikut tertawa dalam candaan-candaan garing rekan-rekan kerjanya di toko, membuat beberapa orang merasa heran."Mentari, kamu sedang jatuh cinta?"Dalam hati, Mentari merenungkan pertanyaan rekan kerjanya itu ketika sedang menunggu lampu berubah hijau dalam perjalanan pulang. 'Aku bahkan tidak tahu lagi rasanya jatuh cinta. Bukankah ada yang bilang, saat telah menikah kita akan jatuh cinta dengan pasangan kita setiap hari?'Pertanyaan itu dijawabnya sendiri ketika sedang mengeringkan rambutnya yang basah setelah keramas sesampainya di rumah, "Semua itu bohong belaka."Tak ingin terus merenungkan hal itu, Mentari memutuskan menelepon Bunga. Dalam sekejap, dia telah terlibat dalam percakapan seru tentang pengalaman seru Bunga yang hampir beradu mulut dengan tukang parkir di sebuah minimarket sore tadi."Bu, Cekal?" Tangan mungil Feliz memegang tangan Mentari yang terjuntai bebas."Ini ibu Sekar,
Kenangan-kenangan Mentari akan kehidupannya sebelum bertemu Argan menghantuinya selama beberapa hari ini setelah perbincangan dengan Bunga. Pertimbangan-pertimbangan memenuhi kepalanya ketika dia hendak tidur. Ada ketakutan bertemu kembali dengan kerabat-kerabatnya yang telah dia tinggalkan beberapa tahun ini. Namun kerinduan akan kebersamaan dengan mereka juga menggodanya.Ponsel Mentari bergetar beberapa kali ketika dia menarik tasnya keluar dari loker sore ini. Diah yang sedang bersiap-siap pulang beberapa loker jauhnya, menatapnya, kemudian beranjak pergi.Beberapa pesan dari Bunga. Segera Mentari membuka pesan itu."Tari, apa kabar?"Senyuman Mentari merekah membaca teks paling atas."Kamu pasti ikut sabtu ini 'kan?"Senyum Mentari melebar. "Tipikal Bunga, suka memaksa."Perjalanan pulang terasa begitu menyenangkan bagi Mentari. Keputusan yang terasa berat diambilnya beberapa hari ini sudah menemukan kepastian.Dengan langkah ragu, Mentari memasuki pekarangan rumah Anggun sore in