Jeri melirik kaca depan mobil untuk melihat keadaan tuannya di belakang. Sebab pria itu belum turun meski mereka sudah sampai depan pintu utama. Kegusaran terlihat jelas di balik wajah kerasnya. Tampak masih mempertimbangkan sesuatu sebelum membuka pintu. Masalah perusahaan yang datang bertubi-tubi membuatnya lelah fisik dan batin. Mau tak mau Kindly memilih bermalam di kantor agar bisa menuntaskan masalah secepatnya. Belum lagi bayang-bayang orang ke-3 yang cukup menganggu. Ini sungguh menyebalkan.Setelah menenangkan diri, Kindly keluar dari mobil langsung menuju ke kamarnya. Badan yang gerah menghipnotisnya untuk segera mandi membersihkan diri. Dia berendam cukup lama sembari menikmati alunan musik yang menenangkan pikiran dan menyejukkan suasana, meski ada saja hal yang mengganggu kedamaian hatinya. Dia fokus melakukan aktifitas hingga lupa satu hal. Pria itu turun untuk mengisi perutnya yang lapar. Wajar saja, ini memang sudah waktunya makan malam. Tak mendapati Niela di sana, di
Pertanyaan Harell memutar otak Kindly berpikir keras. Musuh mana? Saingan bisnis Kindly? Rasanya mustahil mereka bisa tahu nomor Niela. Apa lagi Kindly melarang istrinya kemana-mana kecuali keluar bersamanya. Bukan karena serakah atau ingin mengekang, namun mengingat kecelakaan yang pernah dialami sang istri, Kindly tidak mau kejadian itu terulang lagi. Setidaknya jika keluar bersama, dia bisa melindungi Niela kalau-kalau ada hal buruk terjadi. Tapi ada yang tidak beres di sini. Terlalu banyak teka-teki aneh yang sulit dijawab.Kalau memang si pengganggu bukan Harell lalu kenapa nomor itu diberi namanya? Apa Niela yang melakukannya? Tidak mungkin, sebab nomor Harell asli saja di hapus, kenapa dia harus membuat yang palsu?Jika benar orang luar, sudah pasti tujuannya adalah menghancurkan rumah tangga mereka dengan jalan memancing kecemburuan Kindly. Artinya orang ini tahu bahwa Kindly mudah terbakar. Dia mengenal baik Kindly dan Niela. Dari caranya memilih Harell sebagai target jeba
3 jam sebelum kebakaran.Sehabis makan, Niela duduk termenung di jendela ruang depan. Wajahnya bertumpu pada lengan yang terlipat di tepi jendela. Pipi tembemnya menggembung saat di tindih miring sebelah. Bibirnya pun mengerucut lucu. Pemandangan halaman depan tampak asrih di sela-sela tenggelamnya matahari yang membiaskan cahaya oranye. Indah dan tenang. Namun ingatan tentang sang suami membuyarkan ketenangan Niela. Entah kenapa dia tiba-tiba gelisah. Ada rasa ingin kembali tapi mengingat sikap Kindly yang kasar tanpa alasan jelas membuatnya enggan pulang."Aku tidak merasa salah." Gumamnya. Seberapa keraspun dia berpikir, tak ada kesalahan pada dirinya yang ditemukan. Kecuali mengenai perdebatan kecil mereka. Tapi bukankah itu hanya candaan? Niela juga tidak pernah sungguhan marah saat merajuk. Dia hanya mengikuti permainan sang suami yang suka menggodanya. Dan ketika malam mereka akan bicara baik-baik lalu tidur berpelukan. Tak ada masalah selama ini. Jadi Niela rasa bukan itu int
Kindly diikuti rombongannya dalam perjalanan menjemput Niela. Pria itu memanggil bodyguard sewaan sekaligus untuk mengantisipasi segala hal buruk."Nama aslinya Prili, dia hanya anak angkat tidak resmi. Itu sebabnya namanya tidak terdaftar dalam kartu keluarga mereka." Ucap seorang hacker yang duduk di sebelah Kindly.Kindly mendengus kesal. Pantas saja dia tidak mencium hubungan si pencuri dengan pelayan sialannya itu. Kindly bersumpah akan menguliti Lili jika sampai menyakiti Niela. Dia berharap wanita terbakar itu adalah orang lain. Meski degub jantung mengetuk keras di balik dada. Tapi Kindly menolak menerima berita tak jelas itu.'Niel masih hidup, istriku pasti baik-baik saja.' Batinnya menutupi rasa takut kehilangan.Sesampainya di sana, api sudah padam. Para petugas damkar berhasil menghentikan kobaran si jago merah. Kerumunan warga juga bubar. Kini sepi, tidak seperti saat terekam di layar televisi. Apa lagi mereka tiba lewat tengah malam, jadi banyak yang sudah terlelap. Sel
Kindly memutuskan kembali bersama sebagian orangnya. Mobil mereka di kawal ketat sebagai antisipasi dari serangan dadakan. Dia mendekap erat tubuh Niela sambil mendengar racauannya yang belum puas mengadu. Tapi Kindly lebih suka Niela seperti ini. Dulu wanita itu hanya akan diam dan jarang mengeluh kalau punya masalah pribadi. Ini sebuah kemajuan dalam hubungan mereka, dimana dia menganggap suaminya sebagai tempat aman. Lebih dari pada itu, Niela tampak baik-baik saja dari segi fisik maupun mental. Dia memang menangis, tapi masih sanggup bicara normal dan mampu menanggapi sekitar.Sampai di rumah, Niela memaksa mandi untuk menghilangkan rasa jijik lagi pada tubuhnya. Sentuhan-sentuhan geli dari pria asing itu merupakan bayangan terburuk. Dia buru-buru menggunakan piama setelah selesai bersih-bersih, lalu lari menabrak peluk sang suami yang siaga di dalam kamar.BrughPelukan tiba-tiba itu membuat Kindly mundur beberapa langkah. Dia tidak marah, justru balas memeluk dan mengemong sang
"Mau ke mana lagi? Aku sudah puas belanjanya kok. Lemarinya mungkin juga sudah tidak muat." Oceh Niela saat Kindly menggandengnya lagi keluar toko ke sekian kalinya. Wanita itu senang dibelanjakan tapi dia tidak terbiasa hidup boros. Jadi pemberian Kindly ini dinilai membuang-buang uang."Cari dessert. Kau suka yang manis-manis kan?" Kindly berhenti di sebuah tempat resto. Harum roti yang sedap menusuk indera penciuman. Menghipnotis siapa saja yang lewat untuk mampir membeli. "Kata sekertarisku roti di sini enak, tapi ada juga dessert yang lain kalau mau. Bagaimana, mau mencoba?"Jiwa penikmat cemilan Niela terlalu payah menolak. Perutnya mengamuk ingin di isi menu tersebut. "Iya mau." Angguknya tersenyum manis.Mereka pun duduk dan memesan di sana. Banyak nama makanan asing bagi Niela di buku menu. Selain ice cream, dia meminta Kindly memilihkan untuknya. Tak lama hidangan croissant, muffin, choux paste, cream pie, dan ice cream di antarkan pelayan ke meja mereka. Senyuman Niela sema
"Gunakan pakaian tebal, cuacanya cukup dingin." Ucap Kindly ketika Niela melewatinya saat berjalan ke walk in closet. Wanita itu baru selesai mandi dan masih menggunakan bathrobe."Iya." Sahut Niela sembari berlari kecil memegang kuat ke-2 sisi bathrobe yang tak terikat karena buru-buru."Hati-hati!" Seru Kindly melihat telapak kaki sang istri basah bahkan tidak memakai alas kaki.Hujan kembali jatuh hari ini dan cukup berangin. Padahal pagi tadi tampak cerah disinari matahari. Niela pun memaki diri sendiri sebab bangun telat. Dia sadar akan kesalahannya jadi sudah siap kena marah. Namun Kindly justru membantunya mengambilkan mantel hangat untuk menghemat waktu. Jika sudah begini, Niela ingin melakukan suatu hal yang sama untuk sang suami meski dalam kategori berbeda.Di dalam mobil, Niela hanya diam demi menghormati percakapan Kindly bersama koleganya lewat ponsel. Selesai satu di ganti yang lain lagi. Pria itu juga sangat fokus pada layar tabletnya mengamati tulisan-tulisan word dan
"Selamat sore tuan Kin." Sapa semua orang di sana. Wanita yang menyerang Niela tak bisa menyembunyikan ekspresi kaget campur takut. Mendengar lembutnya Kin memanggil Niela, sudah pasti hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya."Kin kakiku sakit." Keluh Niela memanfaatkan situasi. Kakinya memang sakit tapi biasanya dia malu untuk berlaku manja hanya karena ingin diperhatikan. Apa lagi mereka ada di tempat umum. Namun beda dengan hari ini, Niela sengaja memancing amarah Kindly untuk memanasi wanita sialan itu. Kindly menggendong tubuh Niela ke kursi yang tersedia. Lalu melipat 3 kali ujung bawah celana panjang Niela untuk di periksa. Tak ada yang berani bersuara ataupun bergerak lebih."Kenapa sampai merah begini? Apa kau jatuh?" Tanya Kindly khawatir. Niela pun diam hanya menunduk. Dia memang ingin menghukum wanita itu tapi dia tidak mau terkesan anak kecil yang langsung mangadu. "Niela? Hey aku tidak marah, hanya bertanya." Kindly meraih wajah Niela mengusapnya lembut lalu m