Bagai dejavu, Niela pulang seorang diri dari rumah sakit setelah di rawat beberapa hari. Sama seperti sebelumnya. Sang suami tak pernah menjenguk sekalipun. Kali ini dia memilih ke rumah sakit berbeda agar tak ada lagi yang mengadu pada Sena. Tak ada dokter yang mengenalinya di rumah sakit itu. Untung saja Sena masih di luar negeri jadi mempermudah Niela untuk menyembunyikan sakitnya.
Niela menyempatkan diri singgah ke sebuah cafe untuk sekedar menikmati waktu santai. Padahal batinnya tak akan sembuh semudah itu. Setidaknya memanjakan mata dengan suasana baru akan menyenangkan hati meski sebentar saja.Kalau saja Niela punya rumah, dia akan memilih pulang ke sana. Sayangnya sebelum menikah, Niela hanya tinggal di sebuah kontrakan sederhana. Tapi kesederhaan itu jauh lebih nyaman dari pada tempatnya yang sekarang."Niel?" Sebuah suara menyadarkan Niela dari lamunannya.Dia menatap ke arah samping kanan di mana orang itu berdiri. Matanya menyipit berusaha mengingat orang yang tampak tidak asing di sebelahnya."Kak Harell?" Ucap Niela ragu, malu sekali kalau sampai salah menebak."Wah aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini." Sambut pria gagah berbalut tuxedo mewah itu lalu memeluk ringan Niela. Niela pun tak mengelak sebab dia sendiri rindu pelukan itu.Harell merupakan senior Niela sewaktu kuliah. Mereka sangat dekat meski hanya di tahun terakhirnya Harell. Andai saja pria itu tidak lanjut kuliah di luar negeri mungkin hubungan mereka bisa lebih serius lagi."Boleh aku duduk di sini?" Tanya Harell basa-basi. Tak diberi ijin pun dia akan tetap gabung di sana."Siap senior." Angguk Niela tersenyum merekah. Kenangan ospek yang begitu membekas jadi ingatannya untuk membalas sapa. Kebiasaan yang dulu sering dia lakukan.Jiwa kesedihan tadi mendadak terhempas jauh. Kehadiran Harell punya pengaruh hebat padanya. Dunia yang suram terasa kembali menghijau berhias warna-warni bunga."Kenapa nomormu tiba-tiba di ganti? Aku hampir menyerah mencarimu." Tanya Harell tak sabaran. Banyak sekali yang ingin dia tahu tentang kabar terbaru Niela."Ponsel Niel waktu itu tiba-tiba saja rusak. Niel bahkan kehilangan semua nomor kenalan." Jawab Niela agak kesal mengingat kejadian itu."Lalu media sosial? Masa Niel tidak ada satu pun?""Niel malas menggunakannya, hehehe..."Jujur, Niela lebih fokus kerja dari pada sibuk dengan postingan tidak jelas. Itu bukan hobinya. Lagi pula faktanya dia itu bukan orang kaya yang punya banyak waktu bersantai. Wanita itu punya tanggung jawab menghidupi dirinya sendiri. Memangnya siapa yang mau menafkahinya? Bahkan suami sendiri pun lepas tangan. Untung saja Niela masih punya tabungan membayar rumah sakit."Oh begitu yah."Mereka pun membahas banyak hal. Tanpa sadar sudah memakan waktu lama untuk berbagi cerita. Tak ada yang membosankan dalam obrolan itu. Harell menjadi pendengar yang baik sampai akhirnya Niela bilang statusnya yang sudah bersuami."Sudah menikah?" Harell hanya ingin memastikan.Sebenarnya Niela agak canggung sebab pernikahan itu terjadi atas dasar masalah memalukan. Tapi dia merasa berdosa jika tidak jujur."I.. iya kak." Gugup Niela.Dia tak mau menjawab lagi untuk pertanyaan selanjutnya yang menyangkut pernikahan mereka. Beruntung Harell peka untuk berhenti menggali lebih jauh. Binar mata Niela menghilang saat membahas topik itu."Jadi asistenku saja." Pinta Harell begitu Niela bilang ingin mencari pekerjaan.Terdengar bagus tapi Niela tidak percaya diri. Harell sempat bilang kalau dia sedang uji coba menggantikan posisi sang ayah sebagai pemimpin perusahaan. Artinya Niela diminta menjadi asisten orang penting."Niel tidak pantas kak. Berikan saja lowongan untuk karyawan biasa kalau bisa." Mohon Niela dengan wajah memelas."Aku menawarkan ini bukan karena kita saling kenal, tapi aku tahu bagaimana tanggung jawab dan disiplinnya kamu. Ayolah terima yah?""Bagaimana kalau orangtua kak Harell akan melarang?"Harell terkekeh mendengar penuturan Niela. Yah memang wajar sih pernyataan itu untuk kalangan orang elite tapi jangan masukkan keluarganya di sekelompok orang sombong begitu."Orangtua ku tidak pernah melarangku. Yang penting kan aku tahu kualitas orang-orang pilihanku. Cukup belajar, pahami, dan lakukan tugasmu." Tawar Harell.Niela mempertimbangkan beberapa hal untuk masa depannya. Sebisa mungkin keputusan ini tidak akan menyebabkan kerugian apa pun."Nanti Niel akan coba mempertimbangkan dulu kak." putusnya meyakinkan diri.Harell pun senang mendengar jawaban barusan. Mereka bertukar kontak sebelum berpisah. Harell meminta maaf tidak bisa membawa Niela pulang sebab dia sudah terlambat untuk rapat.Niela tentu paham kesibukan seniornya, jadi memaklumkan saja. Padahal Niela sendiri tidak berani membawa seorang pria masuk kawasan keluarga Kindly.Niela tidak yakin tentang Kindly tapi kebaikan Sena yang membuatnya tidak enak hati membawa pria asing.Sekali lagi pemandangan tak enak di lihat Niela saat sampai di rumah. Meski kali ini tidak ada adegan panas. Kindly dan Alika sedang makan malam bersama. Makan malam bernuansa romantis dengan kue tart di tengah meja dan tumpukkan kado samping tempat duduk Alika. 'Oh mungkin perayaan ulangtahun Alika'.Dada Niela panas namun reaksinya tak menggambarkan perasaan yang semakin hancur kian hari. Wanita itu hanya menampilkan wajah datar berusaha terlihat baik-baik saja.Alika tersenyum kaku pada Niela. Alika tetap mencoba bersikap ramah meski sadar sudah mengotori hubungan mereka. Setidaknya dia tidak ingin terang-terangan mau bermusuhan. Alika berdehem menstabilkan suara sebelum bicara."Mau makan bersama?" Tawarnya tersenyum lebih manis dari sebelumnya.Sementara Kindly hanya diam menyantap makanan tanpa terganggu. Pria dingin itu hanya melirik kecil Niela namun berpaling lagi ke piring seolah itu lebih penting dari pada sang istri. Suasana yang penuh ketegangan."Tidak. Aku tidak lapar." Tolak Niela berlalu meninggalkan suaminya yang sedang berkencan.Bahagia yang dirasakan tadi luntur berganti kehampaan. Entah sampai kapan siklus hidupnya terus seperti ini. Niela lebih memilih menjanda dari pada jadi istri tak di anggap.Sang suami bahkan tidak mau repot-repot bertanya keadaannya setelah di rawat inap. Sesuai perkataan Kindly, dia tak mau di sibukkan sekalipun itu pemakaman Niela. Niela jadi selalu mengingat peti jika melihat wajah tak acuh sang suami.Tapi Niela juga sadar, Alika sepadan dengan Kindly. Alika terlahir dari keluarga terpandang. Tubuhnya selalu di balut pakaian mahal lengkap dengan aksesoris berkilau. Semakin menambah kesan cantik yang tidak dia miliki.Saat masuk kamar, nampaklah balkon yang sudah dilapisi pintu besi, begitu juga dengan jendela yang sudah bertrali besi. Apa Kindly yang melakukan semua ini? Hah sudalah.Tidur adalah hal paling ampuh untuk menghilangkan kerisauan hati. Niela menutup mata untuk beristirahat. Aneh, dia bisa tidur dengan mudah. Sangat nyenyak sampai--CeklekPintu di buka dan menampilkan Kindly di ambang pintu. Pria itu melangkah masuk mendapati Niela sedang tertidur meringkuk lucu. Mata tajam itu berhenti di perut Niela yang tertutup selimut. Ada sedikit penasaran untuk membuka selimut itu. Dia kembali meniti wajah polos Niela yang jauh dari kata licik seperti anggapannya.Kalau dipikir-pikir Niela hampir tidak pernah meminta uang. Kindly sempat menunggu di tagi uang rumah sakit, tapi tidak ada sama sekali. Wanita di hadapannya nyaris tidak menggunakan apapun miliknya.Apakah itu bagian dari rencananya yang ingin memanipulasi keluarga mereka atau sebenarnya tak ada rencana apa pun?Kindly duduk di tepian kasur menatap menelaah wajah sang istri. 'Apa tujuanmu sebenarnya?' batin Kindly. Perlahan dia menarik selimut itu ke bawah. Sepelan mungkin agar tidak membangunkan Niela."Kin?" Suara Niela serak.Kindly tersentak kaget menghentikan gerakannya lalu berdiri dari sana. Dia merutuki dirinya sendiri atas tindakan bodoh barusan. Sungguh memalukan.Niela masih kebingungan mengira kejadian ini hanya mimpi. Tapi udara dingin membuatnya sadar ini dunia nyata. Dia pun memposisikan diri untuk duduk."Kau sedang apa di sini?" Tanya Niela yang heran akan kedatangan Kindly yang dulunya enggan memasuki ruangan itu kecuali untuk kejadian beberapa hari lalu."Besok bangun pagi, ikut aku ke kantor." Ucap Kindly kembali dengan nada tidak ramahnya."Kenapa?""Mama yang minta." Jawabnya lalu pergi tanpa menunggu tanggapan Niela.Lihat? Dia bahkan tidak peduli Niela baru sembuh. Untuk Sena, wanita itu tidak tahu menantunya masuk ke rumah sakit yang ke-2 kali. Jadi dia kira Niela sudah baik-baik saja.Mata Niela sulit sekali terpejam setelah bangun tadi. Jam dinding masih menunjukkan pukul 2 dini hari. Dengan malas Niela berjalan ke dapur hendak minum. Namun usai minum, ada suara brisik dari ruang tamu. Niela kira itu hanyalah aktifitas pelayan yang juga tidak bisa tidur sepertinya.Tapi salah. Di sana ada 3 orang asing yang tidak dikenalnya. Niela segera berbalik untuk lari tapi sayang keberadaannya sudah di ketahui. Salah satu dari mereka menangkap tubuh Niela."TOLONG... TO hmmp." Teriakannya berhenti saat mulutnya ditempeli telapak tangan kekar."Diam atau mati!" Perintah seorang dengan bisikan sepelan mungkin.Niela tak mampu melawan. Dia hanya bisa mengangguk patuh."Sepertinya dia boleh juga." Sahut lainnya."Aargh." teriak seorang yang membekap mulut Niela. Tangan kekar itu digigit saat melonggar.Niela memanfaatkan kesempatan untuk lari. "SIAPAPUN KELUARLAH ADA PERAMPOK!" Teriak Niela ketakutan. Dia sudah hampir sampai tangga sebelum di tarik kembali."Lepas!" Katanya gemetar.PlakSuara tamparan di pipi Niela menggema di ruangan megah itu. Tanpa aba-aba seorang di antara mereka yang sudah sangat geram mendekat lalu mengayunkan pisaunya ke arah Niela.JlebTetesan darah dari tusukan pisau mengucur ke lantai.Menghilangnya Kindly telah membukakan jalan lebar bagi rivalnya beraksi. Inilah alasan Kindly melarang Niela sembarang keluar rumah tanpa penjagaan. Namun dia kurang perhitungan dalam penyediaan tenaga bayaran.Orang-orang itu mentargetkan Niela dalam penculikan. Mereka membuat kedua pengawal tumbang dan meninggalkan Sena yang histeris. Sena sempat melakukan perlawanan untuk merebut Niela dan pada akhirnya pingsan setelah tengkuk kepalanya di hantam benda tumpul.Pertolongan baru datang usai mereka berhasil lari.Niela tidak tahu apa yang dia alami selanjutnya. Pandangannya menggelap ketika sebuah kain beraroma tajam menutup mulut dan hidungnya. Dia kira akan terbangun di tempat kumuh seperti gudang berdebu, tempat penyekapan yang sering muncul dalam film.Salah.Begitu kelopak matanya terbuka, yang pertama dilihatnya adalah langit-langit putih yang terlampau terang akibat biasan lampu bagian tengah. Menoleh kiri kanan, ini merupakan kamar yang nyaman ditiduri.Tunggu.Apa Andri suda
Tak ada petunjuk. Tak ada saksi. Cctv terhapus secara misterius.Kindly benar-benar menghilang tanpa jejak. Polisi turun tangan dalam pencarian. Andri mengerahkan segenap kekuasaannya.Niela menggila, uring-uringan di jalanan tanpa arah. Fokusnya mencari batang hidung Kindly di mana pun. Para pengawal hanya sanggup mengantar dan mengikuti intruksinya. Selama empat hari ini Sena dan Andri berusaha bersikap tenang, memutuskan menemani Niela juga menginap selama Kindly belum ditemukan.Sena terpaksa mengurung Niela yang memaksa keluar mencari sang suami. Wanita itu menolak makan, sering melamun, dan menangis tanpa suara. Dia juga lebih banyak menyendiri di balkon kamar, menatap langit dalam keheningan. Wajahnya pucat karena kurang nutrisi. Kantung matanya menebal, separuh lingkaran hitam membingkai bawah matanya.Dari pintu, Sena memperhatikan dengan helaan nafas lesu. Dia merasa kehilangan, tentu. Tapi sang menantu pasti punya tanggungan kesakitan yang berbeda. Antara bersyukur karena
Secepat kilat menyambar, sama cepatnya dengan aksi bunuh diri Alika. Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Alika mengalami pendarahan hebat, kepalanya pecah, tangan kirinya bengkok terlindas bola depan mobil. Kana meraung dalam bahasa sedih. Kindly berlari, berusaha meraih tubuh Alika yang separuhnya terjebak di bawah kolong mobil. Jalanan ribut suara-suara ringisan, prihatin, dan bercampur dengan bunyi klakson dari belakang (mereka tidak tahu situasi di depan).Alika menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan luka pukulan besar sekaligus kenangan terburuk.Pemakaman di laksanakan dua hari kemudian. Tangis pilu mengelilingi petinya. Kana sudah kehabisan air mata. Dia menatap penuh dendam pada Kindly yang datang bersama Niela. Mungkin ingin memaki dan marah-marah jika tidak di depan umum. Seluruh keluarganya pun tak mau repot-repot menyapa. Itu wajar. Niela sudah menduga skenario ini sebelum tiba.Kindly berdiri bak mayat hidup. Wajahnya datar, lebih seperti melamun. Binar matanya meng
Kana tersenyum percaya diri. Memaksimalkan drama, bertingkah sebagai korban paling tersakiti. "Kin, istrimu memukul Alika."Kindly masih berdiri di ambang pintu, menatap bergantian antara Niela dan Alika. Matanya tajam seperti biasa. Aroma parfum maskulinnya berbaur dengan wangi roti panggang mentega.Niela diam menunggu penasaran apa yang akan dilakukan sang suami. Bunyi sepatu Kindly adalah satu-satunya yang terdengar. Bagaikan latar musik horor mendekati puncak kemunculan setan. Perlahan dia berjalan mendekat, dan berhenti di hadapan istrinya."Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan suara rendah.Niela diam, menatap lekat mata Kindly. Membaca situasi hati lelaki itu. Terbesit keraguan dalam dirinya ketika mendapati sorot mata yang sulit ditebak."Dia memukul Alika." Ulang Kana memanasi. "Dia sangat kasar dan...""Aku bertanya padamu." Kindly menoleh pada Kana. "Ada apa kau datang mengganggu istriku lagi?"Mulut Kana menganga, bingung. Kepercayaan dirinya luntur sesaat. "Kau membela
Beberapa pelanggan yang baru datang dan pejalan kaki yang lewat menyaksikan perdebatan di depan toko roti itu. Si ibu pemilik toko berkacak pinggang, melontarkan kalimat-kalimat gerutuan. Suaranya nyaring, sanggup menenggelamkan suara Kana.Si pengawal (dua orang) memasang badan, mencegah Kana melewati batas pintu. Wajah mereka tak banyak berubah, datar, tampak seperti melawan anak ayam.Kana sudah kehilangan akal sehatnya. Dia benci diperlakukan kasar. Dia benci orang-orang memandangnya rendah. Emosi itu membakar dirinya hingga lupa sedang berada di tempat umum dan memancing atensi banyak orang. Sial, ini sangat buruk.Pintu kaca terbuka. Seseorang menariknya dari dalam. Niela keluar, menatap Kana. Perdebatan mereka terintrupsi."Apa yang kau lakukan Kana?" Tanya Niela, berpura-pura tidak mengerti kondisi."Ah maaf nona, kenyamanan anda terganggu karena orang ini." Ucap si wanita pemilik toko.Niela memborong banyak roti, pun wajahnya sudah dikenal karena terlalu sering membeli bebe
Keadaan berubah. Kini Niela yang merasa bersalah dan memaki dirinya sendiri dalam hati. "Kau salah mengerti." Ralat Niela dengan mata berkaca-kaca."Apa pun yang kau tidak suka dariku. Bisakah kita membicarakannya bersama?"Niela pun tak tahan. Dia menghadapkan tubuh pada Kindly dan meraih wajah itu ke dalam dekapannya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya Niela yang di dekap, ditenangkan, dibisiki kata-kata hangat. Berbeda dengan sekarang. Dia merasakan kerapuhan lelaki yang selalu menunjukkan wajah garang. Hampir mustahil mempecayai momen ini terjadi jika mata tak melihat langsung.Apa Kindly juga begini pada Alika? Oh sialan, pikiran negatif begitu tak membantu."Baiklah, maaf kalau aku menyudutkanmu, bukan maksudku." Ucap Niela sembari mengusap punggung sang suami."Jangan katakan hal itu lagi padaku." Suara Kindly masih serak, namun tidak lagi sumbang.Niela mengangguk. "Selama kau tidak berbuat macam-macam, aku tidak akan mengatakannya lagi. Kau sadar? Hubungan kita sep