Share

Bab 4

Salah satu dari perampok itu mengambil keputusan gegabah. Dia panik mendengar suara Niela yang bisa menggagalkan rencana mereka. Tanpa keraguan, dia menarik pisau bersamaan dengan padamnya listrik. Tapi kegelapan tidak menghentikan aksinya hingga...

Jleb

Tetesan darah jatuh mengotori lantai. Tak ada yang dapat melihat bagaimana kondisi orang yang terkena tusukan.

"Dasar bodoh, kau menambah masalah." Ucap rekannya.

Mereka buru-buru melangkah menebak arah keluar sembari meraba senter dalam tas bawaan. Tapi sebuah hantaman membuat mereka beku di tempat beberapa saat.

Lampu kembali menyala. Detik berikutnya ke-3 perampok itu lari ketika melihat 2 lelaki berbadan kekar ada di sebelah mereka. Kindly dengan darah di tangannya bersama Jeri sang supir. Sementara Niela terdiam di tempat, tubuhnya mendadak kaku digerakkan. Tak sejalan dengan otak yang ingin sekali mencari tempat pelarian aman.

Kindly yang emosi mengejar para perampok. Tak ada ampun untuk mereka yang berani mencari masalah dengannya. Baku hantam pun terjadi. Adu pisau dan stun gun (alat kejut listrik) pun tidak luput dari perkelahian itu.

Bug

Bruk

Ke-2 perampok jatuh setelah mendapat tendangan dari Kindly. Pisau mereka meleset jatuh entah ke mana.

"Beraninya kalian." Geram Kindly dengan rahang yang mengeras. Wajah garang dan suara berat nya menciutkan nyali.

Bug

Bug

Bug

Tendangan dan bogeman di layangkan demi memuaskan hasrat ingin membunuh. Kindly benci pada orang-orang yang berani mengganggu hidupnya. Sudah dia bilang tidak akan ada ampun bagi mereka.

"Tuan, ini salah 1 tikusnya." Kata Jeri yang baru datang.

Supir itu membawa salah 1 perampok yang sudah lebih dulu lari meninggalkan ke-2 rekannya. Tidak jauh berbeda, orang itu sama babak belur dengan rekan lainnya.

"Cih.. dasar sampah." Remeh Kindly.

Tangan yang semakin banyak mengeluarkan darah pun di abaikan. Darah dari goresan luka demi menahan pisau yang hampir mengenai Niela.

Pada saat itu dia memang sedang mengerjakan sesuatu hingga mendengar suara brisik. Kindly melewati jalur darurat yang tersedia untuk situasi semacam ini. Dia bertemu Jeri kala ingin ke sumber suara bersamaan. Para pelayan pun cekatan mematikan listrik sesuai perintah Jeri.

Ke-3 perampok itu diamankan sebelum di jemput polisi. Alat bukti senjata tajam serta cctv diserahkan untuk kelancaran penyelidikkan.

Setelah tangan Kindly di perban pelayan, dia sadar tidak melihat Niela sejak tadi. Ke mana wanita itu? Tidak mungkin dia diculik yang lain kan? Entah apa yang mendorong Kindly untuk mencari kerberadaan sang istri.

Dapur dan ruang tamu kosong. Kindly yakin Niela ada di kamarnya. Pria itu berjalan menuju lantai atas.

Ceklek

Tak ada yang menempati kasur. Apa Niela keluar? Tapi beberapa detik kemudian Kindly mendengar isakan kecil dari arah kamar mandi. Kindly perlahan mendekat lalu membuka pintu kamar mandi.

Benar. Niela duduk memeluk lutut di dalam bathtub dengan tubuh gemetar. Wajahnya tunduk bersembunyi di antara 2 lutut. Tahu ada yang mendekat, Niela mengangkat wajahnya pelan bertemu tatap dengan sang suami. Matanya merah sembab, bibirnya pucat bergetar. Niela berpandangan kosong dengan mata berembun. Tampak berusaha menahan air matanya. Dia melirik perban di tangan Kindly.

"Apa kau akan menamparku juga?" Lirihnya dengan suara sumbang dan air mata yang semakin berjatuhan.

Hati Kindly tersentil mendengar ucapan Niela. Apa dia terlihat seperti predator yang selalu ingin melukai mangsanya? bukan begitu maksud kedatangannya.

Tanpa menjawab Kindly membungkuk hendak menggendong sang istri tapi Niela refleks menahan lengan Kindly.

"Tidak, aku tidak mau menyakiti pasanganmu." katanya kemudian berdiri, berjalan sempoyongan menuju kasur.

Kindly terdiam kata. Lelaki itu tertegun di tempat. Matanya terkunci menatap setiap langkah Niela. Wanita itu rebahan di kasur membelakangi sang suami. Kindly pun memutuskan pergi meninggalkan Niela yang tampak tak mau di ganggu.

Keesokan harinya, mereka berangkat bersama untuk menghadiri pesta kecil antar kolega setelah rapat. Acara yang di sebutkan Kindly kemarin. Sepanjang jalan hanya ada keheningan. Tak ada yang memulai pembicaraan.

Kindly mengira Niela tidak akan ikut mengingat kondisinya beberapa jam yang lalu. Tapi saat melewati ruang keluarga, Niela sudah menunggu di sana. Wanita itu ternyata tahu caranya berpenampilan modis layaknya wanita karir.

Niela menghela nafas, membuang masalah yang beradu dalam otak. Dia hanya fokus melihat keluar jendela menikmati pemandangan pinggir jalan. Matanya terpaku pada pasangan yang sedang menyebrang saat lampu merah. Pria itu merangkul penuh wanitanya yang sedang hamil besar. Kelihatan sigap melindungi dari segala kondisi. Jujur Niela iri dengan si wanita.

Rapat berjalan lancar. Selanjutnya mereka ada di restoran yang sudah di sewakan penuh untuk acara orang-orang ber-uang itu. Niela hanya mengekor di belakang Kindly sesuai perintah sang suami. Dia tidak nyaman berada di antara keramaian di sana. Ranah mereka cukup jauh dari Niela.

'Aku dan dia memang berbeda.'

Kindly menyapa hangat setiap kolega yang mengajak bicara. Tatapan dan senyuman tulus yang tidak pernah di lihat Niela.

'Dia bisa bersikap lembut juga.'

Tak sengaja seorang anak yang sedang berlari menabrak Kindly dari belakang hingga si kecil terjatuh.

"Hei kau tidak apa?" Tanya Kindly usai membantu si anak berdiri. Suaranya begitu lembut khas orang dewasa membujuk baby.

'Dia hanya kasar padaku dan bayiku.'

"Oh maafkan anak saya Mr.Kindly." Ucap seorang wanita usia 30-an yang baru menghampiri mereka. Si kecil langsung menghambur ke pelukan ibunya.

"Tak masalah. Anak anda sangat lucu."

"Ah trimakasih."

'Maafkan ibu karena kau seharusnya tidak bertumbuh dalam rahim wanita serendahku.'

"Apa anak saya menyakiti istri anda?" Tanya wanita itu melihat ke arah Niela.

Kindly berbalik mendapati Niela yang melamun dengan mata berkaca-kaca. Namun bukan berarti dia tidak mendengar ucapan barusan.

"Ah tidak. Anak anda hanya mengingatkan saya pada seseorang." jawab spontan Niela tersenyum ramah. Matanya berkedip mengeringkan cairan yang nyaris keluar.

Terlihat jelas mata tajam Kindly yang memperingati istrinya agar tidak lagi memasang ekspresi begitu. Hati Niela sakit tak terkira lagi. Sebenci itu Kindly padanya sampai sekedar mengekspresikan hati pun di larang.

Niela melihat versi lain Kindly di hari itu. Versi yang tidak sudi Kindly terapkan pada dirinya. Ingin rasanya pergi ke suatu tempat tak berpenghuni. Meneriakkan segala kepedihan tanpa diketahui siapa pun. Lagi pula siapa yang mau berempati jika mereka tahu sekalipun.

Seperti pagi tadi, mereka pulang dalam keheningan. Bagai orang asing baru bertemu.

"Aku mau bekerja." Suara Niela di tengah keterdiaman.

Kindly yang sibuk membaca tabletnya mengalihkan atensi pada Niela. Masih diam beberapa detik lalu bicara.

"Posisimu sudah ada yang menggantikan."

"Bukan di kantormu."

"Terserah."

Hanya itu. Kindly tak mau ambil pusing dengan kehidupan pribadi Niela. Mereka punya urusan masing-masing. Pernikahan mereka hanya formalitas tanpa menjalankan arti suami istri sesungguhnya.

Niela menghubungi Harell usai mandi sembari membuka map berisi ijazah dan surat-surat keperluan untuk berkas lamaran kerja.

"Jadi kamu setuju?" Ucap Harell sekali lagi memastikan pendengarannya tidak salah. Berkas di meja seketika terabaikan. Dia tak peduli pada pena yang menggelinding jatuh ke lantai. Atensinya fokus pada si penelpon sembari bersandar ke kursi kebanggaannya yang di putar menghadap jendela kaca. Cukup indah melihat pemandangan lampu setiap rumah dan gedung dari tempatnya sekarang.

"Umn iya kak. Masih berlaku kan?"

"Tentu. Datang saja besok ke alamat yang kuberi waktu lalu" katanya mengetuk-ngetuk jari. "Atau mau ku jemput?"

"Ah tidak perlu kak." Tolak Niela halus. "Itu tidak jauh dari sini kok."

"Hahaha... Aku hanya bercanda. Mana mungkin juga suamimu mengijinkan."

Niela tersenyum getir sembari meremas ponsel. Tak mengijinkan? Lebih tepatnya tak peduli.

"Niel?" Panggil Harell lembut.

"Oh maaf kak, Niel sementara mempersiapkan berkasnya." Bohongnya. Tidak sepenuhnya bohong juga karena di depannya memang ada berkas-berkas itu, tapi bukan itu alasannya tak menyahut tadi.

"Tidak usah bawa berkas. Cukup bawa dirimu saja. Ingat aku yang melamarmu bekerja di sini." Kata Harell di selipkan gurauan.

Niela tersenyum mendengar calon bos-nya barusan. Harell belum berubah, masih sama seperti dulu.

"Niel yang tidak enak kak."

"Ha ha ha... Baiklah terserah kamu saja. Yang penting datang dalam keadaan sehat."

Kalimat itu. Kalimat yang Niela ingin dengar dari suaminya. Perhatian yang didambakan setiap istri.

"Iya, pasti kak."

"Beritahu aku jika perlu apa-apa."

"I..iya kak. Nanti balas chat Niel kalau ada yang mau di tanya-tanya yah."

"Siap junior."

Lagi senyum manis melengkung di bibir Niela. Senyum bahagia yang sudah hilang semenjak malam sial kala itu. Semua masalah terlupakan sejenak. Panggilan itu pun berakhir ketika Niel mengeluh baterai ponselnya hampir habis.

Setelah meletakkan ponsel, mata Harell menatap lurus layar komputer di hadapannya. Aura hangat tadi menguap entah ke mana terganti wajah datar. Dia meneliti setiap tulisan di layar.

"Kindly, apa yang kau lakukan pada Niel-ku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status