Share

Bab 2

"NIELA!" Sebuah suara teriakan menghentikan pergerakan Niela.

Salah 1 kaki yang sempat naik pun kembali turun ke lantai. Tubuh kurus itu bergetar tak terkendali, akibat dari kombinasi hati kacau dan udara dingin yang menyapu kulit.

"Berhenti di sana!"

Niela menoleh mendapati Kindly berteriak dari seberang sana. 'Ah mereka sudah selesai rupanya'.

Entah definisi apa yang menggambarkan ekspresi wajah sang suami, apakah khawatir atau marah? Niela sulit membedakan. Apakah lelaki itu berteriak karena tak mau kehilangan atau ada alasan lain yang bisa membunuh batin Niela lebih kejam dari pada ini? Niela penasaran apa yang akan dilakukan pria itu.

"Jangan lakukan apapun, tunggu aku di sana!" Perintah Kindly kemudian berlari meninggalkan Alika yang tampak ikut shok.

Gadis itu hanya mematung saling tukar pandang dengan Niela. Jujur saja dia merasa tidak enak sebab Niela sudah berstatus sebagai istri sah Kindly. Tapi dia juga tidak rela melepas hubungan mereka begitu saja. Alika bingung harus berbuat apa. Ingin bicara tapi lidahnya canggung menyapa. Apa lagi dia tahu sudah jadi duri dalam pernikahan Niela.

Tap..tap..tap

Suara langkah kaki semakin mendekat. Kindly menarik kasar Niela dari pinggir balkon, menyeretnya lalu di hempaskan ke kasur.

"Apa kau gila hah?" Bentak Kindly. Amarah sudah sangat menguasainya, terbukti dari wajah yang memerah.

Niela hanya diam berpandangan kosong. Dia kira Kindly akan datang menenangkan tapi nyatanya lelaki itu tetaplah Kin yang pemarah dan kejam. Nyawa nya tidaklah sepenting itu bagi sang suami.

"Berhenti membuat masalah! Apa kau tidak merasa cukup sudah menghancurkan hidupku?" Tambahnya lagi tak mampu menahan emosi.

Namun kali ini Kindly berusaha tidak bermain tangan. Meski benci, dia bisa melihat kerapuhan Niela di balik sikap diamnya. Tapi lagi-lagi ada ego yang menahan rasa iba meski hanya sekedar berucap tenang.

"Kenapa?" Akhirnya suara Niela menyahut pelan dan bergetar. "Bukankah jika aku mati hidupmu tidak akan hancur lagi? Kenapa menghalangiku?" Niela sungguh ingin mendengar jawaban Kindly.

"Apa kau bodoh? Kita baru menikah. Aku bukan orang kecil sepertimu. Berita kematianmu akan mempengaruhi keluargaku. Aku tidak mau namaku hancur karena masalah yang kau buat." Ucap Kindly dengan kesal. Merasa bersalah? Agak mustahil manusia keras kepala itu mau mengaku.

'Oh jadi hanya masalah karirnya yah? Lucu sekali aku berharap hal lainnya tadi' batin sedih Niela. Jika tahu begini Niela menyesal mendengarkan suaminya untuk berhenti naik pagar pembatas. Seharusnya dia tetap terjun agar tidak mendapat hinaan lagi.

"Ap... Apa kamu tidak ada rasa khawatir sedikit saja terhadap bayi ini?" Tanya Niela memastikan sembari memegang perutnya. Dia memberanikan diri menatap mata sang suami.

"Dia ada karena kesalahan bukan keinginanku."

Bodoh seharusnya Niela tidak usah bertanya.

Kindly menutup pintu balkon dan menyimpan kuncinya.

"Behenti melakukan aneh-aneh lagi. Aku tidak mau buang waktu untuk pemakamanmu." Ucap Kindly sebelum hendak melangkah.

"Kin."

Kindly mebalikkan badan mendapati Niela yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.

Plak

Sebuah tamparan mendarat di pipi Kindly. Tidak sakit memang, tapi tentu saja seorang Kin tidak akan menerima perlakuan demikian. Wajahnya mengeras dengan bola api di matanya.

"Kamu pikir aku mau dihamili orang brengsek sepertimu? Kamu sendiri yang memaksaku waktu itu." Geram Niela meluapkan rasa dalam dada. Tak ada ketakutan di wajah baru itu.

"Jadi begini sifat aslimu?" Kindly terkekeh menyepelekan amarah Niela. Bukan menyerap makna perkataan Niela tapi lelaki itu malah fokus ke sikap kasar Niela yang baru dia lihat.

"Binatang pun masih punya hati melindungi pasangannya meskipun tanpa di didik." ucap Niela pelan.

Plak

Sebuah tamparan yang lebih kasar membalas pipi Niela hingga wanita yang tengah hamil itu jatuh terduduk ke lantai. Tangannya refleks menahan perut.

Kindly jongkok berhadapan lalu menarik kasar rambut Niela sampai mendongak.

"Ingat ini wanita jalang. Kau tak punya hak menuntut apa-apa di sini. Jangan bertingkah seolah kau adalah nyonya!" Tegasnya lalu menghempas kasar tubuh Niela.

Kindly menatap jijik Niela kemudian berlalu dari ruangan itu.

Bagai hantaman berlipat ganda, Niela tidak bisa berpikir jernih lagi. Kepalanya terasa pusing dengan argumen-argumen yang meronta di otak. Ingin sekali menghilang dari bumi ini.

'Kenapa aku harus menanggung kesalahan yang tidak kubuat?'

'Bukan aku yang meminta untuk dinikahi apa lagi kehamilan ini. Tapi seolah Kin hanya mau melampiaskan semuanya padaku dan menutup mata pada kebenaran yang sebenarnya dia tahu.'

Matanya terasa berat. Kelopak itu perlahan turun menutup cahaya. Gelap.

***

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Alika saat Kindly kembali ke kamarnya.

Tak ada jawaban. Kindly duduk menyandarkan tubuh dan kepalanya dengan mata terpejam. Pikirannya cukup kacau sekarang. Alika duduk di samping Kindly lalu menuangkan air ke gelas yang tersedia di meja.

"Ini minumlah." Ucapnya lembut. Gadis itu berharap semuanya akan baik-baik saja.

Kindly meletakkan gelas usai meminum semua isinya. Air dingin itu sedikit membantu meredakan emosi. Atau mungkin karena yang memberikan adalah Alika.

"Apa kalian bertengkar?" Tanya Alika lagi.

"Kapan kami tidak bertengkar? Sudahlah aku tidak mau membahas tentangnya lagi."

"Maaf, aku membuat kalian jadi lebih rumit." Kata Alika menunduk. Dia tentu sadar hubungan mereka bukanlah hal yang pantas. Sudah ada tembok besar yang menghalangi ke-2 nya bersama. Kecuali kalau Kindly dan Niela bercerai.

"Berhenti merasa bersalah. Kau korban juga di sini." Ucap Kindly sembari menggenggam tangan mulus Alika.

"Jika dia tidak muncul, seharusnya kau yang menjadi istriku sekarang." Lanjut Kindly lagi dengan sikap ramah dan senyum yang belum pernah Niela lihat.

"Tapi mau sampai kapan kita begini Kin? Rasanya sudah tidak ada harapan lagi untuk kita." Lirih Alika. Mata berembun itu menatap lurus pada Kindly.

"Beri aku waktu. Aku hanya perlu membuat mama benci wanita sialan itu."

Alika terdiam. Ada rasa tidak tega mendengar penuturan Kindly. Bagaimana pun Niela sedang mengandung anak Kindly. Harusnya wanita itu dapat perhatian lebih dari sang suami bukan seperti ini.

"Aku... Aku merasa jahat jika kau lakukan hal itu untukku."

"Dia yang jahat Alika. Dia menggodaku agar punya alasan kuat untuk menikah denganku. Dia hanya bertingkah jadi korban." Katanya meyakinkan Alika. "Apa kau mau merelakanku dengan wanita licik seperti itu?"

Alika sepontan menggeleng. Alasan ini yang membuat Alika tidak bisa melepaskan Kindly begitu saja. Kindly selalu berucap bahwa Niela bukan wanita yang baik.

"Terserah kamu saja. Tapi aku akan mundur jika sudah merasa harus."

"Tenanglah. Aku akan berusaha agar kita tetap bersama."

***

Malam hari pukul 8, Niela bangun merasakan sakit di bagian perut bawahnya. Tak ada yang tahu keadaan gadis malang di kamar gelap itu. Niela berusaha bangun perlahan menahan sakit yang kian menghantam. Semakin bergerak, semakin perih.

"Argh.. hhh.. sakit sekali." Gumannya.

Sadar tak akan ada yang mau bantu, Niela pun mencoba menolong diri sendiri. Tubuh lemah itu berjalan tertatih keluar kamar usai meraih ponsel dan tas salempangnya. Berpegangan pada tembok dan benda apa pun yang ada di sekitar menjadi pilihan agar bisa menjaga keseimbangan.

Tapi pusing di kepala mendera kencang ketika Niela mencapai anak tangga terakhir. Dia pun duduk di sana sembari menyembunyikan wajah di ke-2 lutut. Matanya terpejam menikmati kesakitan yang datang bertubi-tubi.

Kindly yang sedang duduk menikmati kopi di ruang keluarga beralih menatap Niela di ujung tangga. Layar ponsel yang tadinya di utak-atik terabaikan.

Seorang pelayan yang baru masuk setelah membuang sampah melirik Niela di sana. Pelayan itu berlari kecil mendekat untuk memeriksa keadaan Niela.

"Nak, kamu kenapa?" Ucapnya perhatian sembari mengusap rambut Niela.

Niela mengangkat kepalanya. Pelayan itu panik saat melihat wajah pucat Niela dan lebam di pipi kiri.

"To.. tolong antar aku ke rumah sakit." Pintanya memohon. Suaranya sangat pelan persis orang skarat.

"Ya ampun, tunggu di sini! Bibi pangilkan pak Jeri dulu." Katanya lalu buru-buru pergi meninggalkan Niela.

"Ssssh argh ku mohon jangan dulu." Lirihnya berharap rasa sakit itu bisa reda. Dia menggigit bibir keringnya guna menyalurkan rasa.

Kindly hanya diam menonton. Ada begitu banyak keraguan dalam dirinya untuk melangkah. Rasa tidak ingin di perdaya, dan gengsi yang tidak ingin diturunkan. Belum lagi rasa tidak percaya pada wanita itu.

"Ayo, ayo cepat!" Suara pelayan yang diikuti Jeri, supir keluarga Kindly.

"Langsung gendong saja!" Sekali lagi pelayan itu berucap panik.

Jeri pun mengangkat Niela yang terkulai lemas, tak punya daya lagi untuk sekedar membantah. Mereka melewati Kindly yang sedang sibuk dengan ponsel. Ah, orang-orang di sana sudah cukup tahu bagaimana tidak pedulinya sang tuan terhadap istrinnya sendiri. Hingga hal gawat seperti ini pun tidak perlu di laporkan.

Kindly meneguk kopinya sampai habis lalu meletak kasar gelasnya hingga mengahasilkan suara tamparan kaca.

Mata Kindly dan Niela sempat bertemu sebelum pelayan dan supirnya datang. Tak bertahan lama, wanita itu segera membuang muka dan memilih meringis sendirian.

"Dia bahkan tidak memohon padaku." Monolog Kindly.

'apa dia baik-baik saja?' lanjutnya dalam hati.

'Aku hancur. Aku lebih hancur darimu. Aku tidak baik-baik saja.' Ucapan hati Niela ketika saling menatap singkat dengan sang suami tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status