Share

Rooftop

Keesokan harinya, Morgan berangkat ke sekolah seperti biasa. Diabaikannya tatapan menyelidik para guru di koridor sekolah dan terus melangkah ke arah kelas yang akan diajar.

Hanya saja, langkahnya tiba-tiba terhenti, ketika ia tak sengaja melihat seorang murid yang berada di rooftop gedung seberang.

Matanya mendelik, tatkala ia menyadari bahwa murid tersebut adalah Ayra.

"Ayra? Mau ngapain dia?" gumam Morgan, yang masih penasaran dengan apa yang akan Ayra lakukan di atas rooftop.

Dengan setengah sadar, Morgan melangkah naik ke tangga untuk segera menyusul Ayra. Ia merasa ada yang aneh dengan gelagat Ayra.

Langkahnya ia percepat, karena ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan Ayra.

Sampai akhirnya ia pun sudah sampai di atas rooftop. Setelah membuka paksa pintu yang sedikit sulit dibuka, pandangan Morgan pun tertuju pada Ayra yang sudah naik ke pembatas rooftop dengan membelakanginya.

Morgan mendelik. "Astaga, Ayra! Kamu ngapain di situ?" pekiknya.

Ayra menoleh untuk memastikan orang yang menghalangi niatnya. Setelah menyadari bahwa itu adalah Morgan, Ayra pun kembali menghadap ke arah langit.

"Jangan-jangan kamu mau bunuh diri ya?" tanya Morgan dengan nada bicara yang sangat takut.

Tak ada respon apa pun dari Ayra. Ia hanya bisa diam, sembari sesekali mengusap air matanya yang baru saja mengalir.

"Jangan seperti itu, Ayra! Semua bisa kita bicarain baik-baik!" pekik Morgan, berusaha untuk menghalangi niat buruk Ayra.

"Gak ada yang bisa dibicarain, Pak Morgan. Daripada harus menanggung malu, lebih baik saya mengakhiri hidup saya," ujar Ayra, sontak membuat Morgan mendelik kaget mendengarnya.

"Apa yang kamu bicarakan, sih? Walaupun saya gak melakukan apa pun sama kamu, saya juga ga bisa lihat kamu menderita begitu! Jangan bodoh, Ayra!"

Ayra menggeleng kecil. "Selamat tinggal, Pak Morgan. Tenang aja, saya gak akan menuntut Bapak di hadapan Tuhan. Bapak gak salah, cuma saya yang malu menghadapi semua ini," ujarnya lalu melangkah sedikit demi sedikit ke arah depan.

Kaki Morgan gemetar, karena Ayra semakin dekat saja dengan maut. Tinggal beberapa langkah lagi, sampai Ayra kehilangan nyawanya.

"Ayra, tunggu!"

Morgan berlarian ke arah Ayra, berusaha untuk menangkapnya. Namun mendengar teriakan dan langkah Morgan, Ayra segera melompat dari atas gedung tersebut.

"Ayra!!" teriak Morgan.

Kring!

Suara alarm membangunkan pria itu dari tidurnya.

Seketika saja, dia menghela napasnya kala menyadari keadaan sekelilingnya. 

"Cuma mimpi," gumam Morgan, yang lalu meremas rambutnya sakitnya terasa nyata mimpi tersebut.

Sejenak dia terdiam untuk menenangkan diri. Ia pun melirik ke arah jam dinding, dan ternyata sudah pukul 6 pagi.

"Sudah jam segini?"

Morgan sontak bangkit dari ranjang tidurnya, lalu segera bersiap untuk menuju ke sekolah tempat ia mengajar. Ia tidak ingin terlambat, karena selama ini ia berusaha membangun citra baik di hadapan semua orang.

Berbeda dengan Morgan yang sedang terburu-buru bersiap, Ayra masih saja meringkuk di atas ranjang tidurnya.

Kejadian semalam membuatnya tak bisa tidur, sehingga membuat kepalanya terasa berat.

Handphone-nya berdering. Sudah sejak tadi ia mendengar dering handphone-nya, tetapi ia tak menghiraukannya. Hidupnya terasa hampa, karena mood-nya sedang tidak baik-baik saja.

"Gimana nih? Gimana bisa gue dapet bukti, kalau gue gak ngelakuin apa pun sama Pak Morgan? Gak ada siapa pun di sana, yang bisa bantu gue buat bicara," gumam Ayra, dengan nada yang sudah terdengar sangat putus asa.

"Duh ...."

Ayra menendang-nendang udara, karena ia merasa sangat kesal dengan keadaan ini. Ia bahkan tidak berani melihat handphone-nya, karena tidak bisa menjelaskan tentang kejadian ini dengan kekasihnya.

Padahal sejak semalam, kekasihnya selalu menghubunginya. Namun Ayra yang sedang kalut, tidak ingin menerima sambungan telepon darinya.

Setelah beberapa saat, handphone tersebut kembali berdering. Ayra merasa sangat kesal, karena ia sudah sangat terganggu dengan dering handphone-nya sendiri.

"Kenapa dia berisik banget, sih?" pekik Ayra, yang malah menjadi kesal dengan kekasihnya yang sedari tadi menghubunginya.

Dengan perasaan yang kesal, Ayra pun menerima sambungan telepon dari kekasihnya tersebut.

"Halo, Ayra?" teriak Ilham, kekasih Ayra.

"Kenapa?" tanya Ayra dengan sedikit ketus.

"Kamu ke mana aja, sih? Aku telepon kamu dari semalem, kenapa kamu gak angkat sama sekali? Kamu gak apa-apa, 'kan?"

Pertanyaan Ilham membuat Ayra merasa sangat malu. Bohong jika ia berkata bahwa tidak terjadi apa pun dengannya. Namun, Ayra tidak bisa berkata jujur di hadapan Ilham untuk saat ini.

"Aku gak apa-apa," jawab Ayra singkat.

"Terus, kenapa kamu gak angkat telepon dari aku?" tanya Ilham.

"Bukannya aku gak mau angkat telepon kamu, tapi mood aku lagi ancur. Aku gak bisa ngapa-ngapain dari semalem," jawab Ayra, berusaha untuk memberitahukan sedikit kepada kekasihnya itu.

"Kamu kenapa, Ra? Mau ketemu habis pulang sekolah?" tanya Ilham.

Tak ada salahnya jika ia bertemu dengan Ilham sepulang sekolah. Ia merasa mood-nya akan baik, ketika melupakannya sejenak.

"Ya udah, tunggu aku di gerbang sekolah nanti sore. Aku mau langsung jalan aja."

"Gak mandi dulu?" tanya Ilham heran.

"Gak."

"Tumben? Biasanya kamu jaga penampilan banget. Kamu juga gak mau pakai baju sekolah kalau jalan sama aku," ujar Ilham penasaran dengan keadaan Ayra saat ini.

"Aku lagi gak mood."

Dengan sangat mudahnya, Ayra mengatakan hal tersebut. Ia tidak ingin membuat semuanya menjadi rumit, karena ia yang sedang kehilangan mood-nya.

"Ya udah, nanti aku jemput setelah pulang kantor."

"Oke."

Mereka pun menyudahi sambungan telepon mereka, dan Ayra pun tertidur saking lelahnya ia semalaman tidak beristirahat.

Sementara itu, Morgan sudah sampai di sekolah tempat ia mengajar. Karena rasa penasarannya, ia pun menuju ke arah ruang kontrol dan CCTV.

Sepanjang jalan menuju ke arah sekolah, Morgan selalu memikirkan tentang hal ini. Ia ingin sekali memeriksa rekaman CCTV, sore hari sebelum ia memasuki ruangan tersebut.

Karena sudah sampai di depan ruangan kontrol, Morgan pun segera memasuki ruangan tersebut.

"Um, permisi," ujar Morgan, yang kini sudah memasuki ruangan kontrol tersebut.

Di hadapannya kita ada dua orang petugas yang ia kenal. Salah satunya adalah Lidya, rekan guru yang merupakan kepala bagian teknik di sekolah ini. Lidya juga adalah orang yang sangat menyukai Morgan, karena baginya Morgan adalah pria yang sangat perfect.

"Pagi, Pak Morgan!" sapa Lidya, dengan penuh semangat menyambut kedatangan Morgan ke hadapannya.

Morgan tersenyum kecil. "Pagi, Bu Lidya. Sedang apa?"

"Biasa, sedang kontrol saja."

Morgan mengangguk kecil mendengarnya. "Baiklah. Sebenarnya saya datang ke sini untuk melakukan sesuatu. Apa Bu Lidya bisa membantu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status