Share

Pernikahan Tersembunyi Guru Dingin
Pernikahan Tersembunyi Guru Dingin
Penulis: Mystic-SJ

Saya Tidak Bersalah!

"Bagaimana bisa terjadi hal yang memalukan seperti ini, hah? Seorang guru, tapi tidak berpendidikan! Berkelakuan layaknya binatang!" bentak Darmawan, Ayah dari gadis bernama Ayra.

Suasana di ruang pertemuan sekolah ini sangatlah mencekam. Kedua orang tua Ayra tidak terima dengan perlakuan tak senonoh seorang guru, yang bertugas di sekolah tempat Ayra menimba ilmu.

Sudah ada kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kedua orang tua Ayra, Morgan dan juga Ayra di sana. Mereka mengadili perilaku Morgan yang tak senonoh, yang dilakukan terhadap putri mereka.

Morgan memandang bingung ke arah mereka, karena kejadian ini tidak seperti yang mereka pikirkan.

"Maaf Tuan Darmawan, kejadian ini bukan seperti yang Anda pikirkan. Ini semua murni kesalahpahaman saja," ujar Morgan, yang berusaha berkilah di hadapan mereka.

"Alah, mana ada maling yang mengaku mencuri?" sambar Ibu Viona, yang tak lain adalah Ibu dari Ayra.

Melihat suasana yang sangat menegangkan, kepala dan juga wakil kepala sekolah berusaha untuk menenangkan mereka.

"Tenang dulu Tuan dan Nyonya, jangan sampai memperkeruh keadaan," ujar kepala sekolah dengan wibawanya.

Darmawan mendelik kesal. "Apanya yang tenang dulu? Kalau menyangkut tentang anak, mana bisa tenang sih Pak kepsek?"

Memang benar apa yang Ayah Ayra katakan. Mereka para orang tua pastinya akan sangat tidak tenang, jika mengetahui permasalahan yang menyangkut anak mereka.

Apalagi Ayra yang sedari tadi hanya menangis, karena sudah terlalu takut dengan kejadian yang menimpanya ini. Walaupun apa yang mereka pikirkan tidaklah benar, tetapi Ayra sudah tidak bisa membela diri saking takutnya ia melihat kondisi amarah kedua orang tuanya.

"Tetap saja Tuan Darmawan, Nyonya Viona, kita harus bertanya tentang kejadian yang sebenarnya pada Pak Morgan dan juga Ayra. Kita tidak bisa menghakimi secara sepihak," tukas kepala sekolah.

"Kejadian yang sebenarnya itu apa maksudnya Pak kepsek?" tanya sinis Darmawan, yang lalu menarik lengan tangan Ayra dan menunjukkan bekas kecupan di leher Ayra. "Anda lihat tanda merah ini! Ini sudah bukti kalau staf Anda melakukan hal yang tidak senonoh dengan putri saya!" sambungnya.

Morgan memandangnya dengan tegas. "Itu bukan perlakuan saya, Tuan Darmawan! Itu karena saya mau membantu Ayra! Ini semua tidak seperti yang Anda pikirkan!" ujarnya berusaha menangkis serangan Ayah dari Ayra.

Darmawan memandang sinis ke arah Morgan. "Apa kamu punya bukti atau saksi, tentang apa yang sebenarnya terjadi?"

Pertanyaan itu sangat membuat hati Morgan gelisah. Pasalnya, ia memang tidak memiliki bukti atau saksi tentang kejadian yang sebenarnya. Ditambah lagi Ayra yang terus menangis, membuat keadaan semakin runyam jadinya.

"Percuma saja saya mengelak. Itu semua tidak akan pernah mematahkan tuduhan mereka terhadap saya. Harusnya ada bukti atau saksi tentang kejadian ini," batin Morgan, yang sudah terpojok dengan permasalahan ini.

Morgan memandang sinis ke arah Ayra. "Setidaknya bicara sedikit, kek! Kenapa dia malah nangis begitu?" gerutunya kesal dalam hati.

"Kamu tidak punya bukti apa pun, bukan? Jadi, apa saya salah berpikiran negatif tentang hal ini? Apalagi ada tanda merah seperti kecupan, dan kamu yang saat itu sedang menerkam Ayra!" bentak Darmawan.

Tak ada yang bisa membantah apa yang Darmawan tuduhkan. Semua hanya diam, termasuk Morgan.

Wakil kepala sekolah berdeham. "Jadi, apa yang akan Anda lakukan selanjutnya, Tuan Darmawan?"

"Hanya ada dua pilihan, Pak wakil. Guru itu harus menyerahkan diri ke kantor polisi, atau menikahi putri saya secepatnya!"

Semua orang tercengang mendengarnya.

"Apa?" pekik Morgan, tak percaya dengan apa yang Ayah Ayra katakan.

Mereka tercengang, karena mendengar ucapan Darmawan yang kurang masuk akal. Ayra masih sangatlah muda, bahkan masih tergolong di bawah umur. Mereka tidak yakin, akan bisa menyetujuinya atau tidak.

"Apa Anda yakin, Tuan Darmawan? Ayra baru berusia 15 tahun. Apakah Anda sepenuhnya akan menyerahkan putri Anda kepada Pak Morgan?" tanya wakil kepala sekolah.

"Semua itu terpaksa saya lakukan. Saya tidak mau menanggung malu, kalau nanti Ayra sampai hamil besar dan akan ketahuan oleh semua orang. Lebih baik mereka dinikahkan di awal, untuk berjaga-jaga ke depannya!" ujar Darmawan menjelaskan.

Ayra mendelik tak terima. "Aku gak mau nikah, Pah! Aku gak mau nikah!" bantahnya.

"Ayra, ini semua Papa lakukan untuk kamu! Kamu harus menerimanya, kalau masih mau menganggap Papa dan Mama sebagai orang tua kamu! Harga diri Papa terluka, saat tau kamu diperlakukan tidak senonoh seperti ini! Jadi, dia harus bertanggung jawab dengan semua ini!" ujar Darmawan.

"Tapi kita gak ngapa-ngapain, Pah! Kenapa Papa malah maksa begitu, sih?" bantah Ayra lagi, bersikeras untuk menolak pernikahan ini.

Darmawan menghela napasnya dengan panjang. Ia memandang sinis ke arah Ayra dan Morgan.

"Kalian dengar apa yang saya katakan ini. Kalian tidak akan menikah atau guru itu tidak akan masuk penjara, jika kalian memiliki satu bukti atau saksi. Saya akan memberikan kalian waktu untuk mencari bukti atau saksi selama tiga hari. Jika kalian tidak bisa membuktikan apa pun, lebih baik kalian memutuskan salah satunya!" ujar Darmawan, berusaha untuk memberikan sedikit kelonggaran untuk hal ini.

Karena mendengar ucapan Darmawan yang lumayan masuk akal, kepala dan wakil kepala sekolah pun menyetujuinya.

"Ya, mungkin memang benar apa yang dikatakan Tuan Darmawan. Semua hal harus berdasarkan bukti dan saksi. Jika tidak ada, kemungkinan membela diri akan sulit. Jadi, kalian berusahalah selama tiga hari ke depan, untuk mencari bukti yang akan membebaskan kalian dari permasalahan ini," ucap kepala sekolah menengahi mereka.

Terlihat wajah kekecewaan dan rasa kesal yang dalam di hati Morgan. Niat hati ingin menolong Ayra, ia malah jadi tertimpa masalah sebesar ini.

"Ayra, tinggallah di asrama selama tiga hari ini. Papa gak sudi melihat kamu tinggal di rumah, sebelum permasalahan ini selesai!" ujar Darmawan, yang sangat berat diterima Viona.

"Pah, Ayra harus tetap di rumah," tolak Viona.

"Enggak, Mah. Biarkan dia merenungi semua kesalahannya di sini. Papa gak mau lihat dia menangis seperti ini di rumah kita. Rumah kita tempat kebahagiaan, dan bukan tempat untuk meratapi nasib!"

"Tapi, Pah--"

"Gak ada kata tapi! Ayo kita pulang sekarang!" bentak Darmawan, yang langsung pergi sambil menarik lengan tangan Viona dari sana.

Melihat kepergian orang tuanya, Ayra merasa sangat sedih. Ia tidak menyangka, nasibnya akan menjadi seperti ini hanya dalam hitungan jam saja.

Kepala sekolah memandang ke arah Morgan yang sedang menunduk. Ia merasa Morgan harus menerima semuanya, karena Morgan yang untuk sementara ini tidak bisa menunjukkan bukti apa pun.

"Pak Morgan, masih ada waktu tiga hari ke depan. Anda bisa berusaha mencari bukti, dan jangan berpikir untuk melarikan diri dari masalah ini," ucap kepala sekolah.

Morgan menghela napasnya dengan panjang. "Saya akan berusaha membuktikan, bahwa saya tidak bersalah!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status