Lebih dari tiga puluh menit jari Asha menari-nari di atas permukaan gawai sepuluh inch yang menampilkan berbagai resep makanan lezat. Malam ini Asha ingin menebus rasa bersalahnya yang membuat sandwich keasinan tadi pagi. Asha sudah terlebih dahulu memilih beberapa menu, meski belum memutuskan makanan apa yang akan dia masak untuk makan malam nanti. Meski tak yakin, Asha ingin Harris saja yang menentukan. Kikuk memang, mengirim pesan singkat saat keduanya masih betah bermasalah. Istriku 'Pilih mana?'Asha melampirkan photo rendang dan iga bakar. Mas Harrisku 'Apa saja boleh. Makanan yang lebih mudah di masak lebih baik, supaya kamu gak repot.' "Modus banget!" ketus Asha pada angin yang berhembus di dapur rumahnya. Asha menimbang-nimbang sendiri setelah tak mendapatkan jawaban pasti dari Harris. *** 'Ting tong!' Asha melirik jam dinding dua kali di ruang televisi untuk memastikan jika dia tidak salah lihat. Jam yang masih mengarah angka tujuh bukan delapan. Artinya, bukan wakt
Asha yang malang. Sudah tiga kali pagi, dia di paksa berdiri di kakinya yang rapuh. Kelopak matanya saja masih menyisakan tanda merah. Menyiapkan segala keperluan Harris atas nama kewajiban yang tak bisa ia tinggalkan tanpa alasan. Apalagi Asha tahu betul jika Harris terbiasa akan dirinya. Kasihan katanya. Lagipula banyak yang lebih menderita darinya. Begitu pikirannya menguatkan batin yang tersiksa. Meski di balik ibanya Asha pada Harris ada kata-kata iblis yang terngiang-ngiang di telinganya. Kenapa tak kau tinggalkan saja suamimu itu Sha? Buah hati yang banyak menyelamatkan pernikahan saja tak pernah ia harapkan. Lalu untuk apa bertahan dengan pernikahan yang di bangun hanya demi kesenangan semata? Bertubi-tubi kepalanya di tempa mantra-mantra negatif yang entah muncul dari mana. Isi kepala Asha sudah sangat penuh hingga nyaris meledak. Sejak kejadian Mariana menghubungi suaminya, Asha tidak bisa benar-benar berpikir positif. Semua energinya terkuras untuk menerka-nerka siapa sosok
Hari yang di tunggu-tunggu pun tiba. Libur akhir pekan yang akan di habiskan Harris dan Asha bertemu dengan seseorang yang membuat hubungan kedunya merenggang beberapa hari terakhir.Harris memacu mobil sedan putihnya masuk jalan tol yang memberi petunjuk arah Kota Bandung. Asha memicingkan mata, dia bahkan mengucek matanya beberapa kali agar ia yakin bahwa Harris tengah membawanya ke Kota Bandung. "Mas Harris kita akan ke Bandung?" tanya Asha di iringi anggukan Harris dengan cepat. "Kok Mas Harris gak bilang kita akan ke Bandung?" tanya Asha lagi. "Kan kamu gak tanya!" jawab Harris datar. Asha hanya bisa mendengus kasar dengan jawaban Harris.Asha lupa jika Harris memang bukan orang yang rajin dalam hal bicara."Kalau saja aku tahu akan ke Bandung, aku bisa bekal baju ganti. Mas Harris juga gak ada baju ganti kan?" tambah Asha. Harris menggelengkan kepala mengamini pertanyaan Asha. Asha berdecak. "Kenapa kasih kabar aja
Asha masih linglung setelah bertemu dengan ibu sambung Harris. Asha hanya mengenal Harris tiga bulan saja sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Hal itulah yang membuat Asha tak tahu banyak tentang latar belakang suaminya itu. Selain itu, Harris memang sudah pendiam dari dulu. Asha memandangi Harris yang tengah sibuk berkendara membelah jalanan Kota Bandung yang cukup padat. Sebenarnya Asha sedang menunggu Harris untuk bercerita lebih lanjut tentang pertemuan singkat mereka dengan Mariana atau pun cerita sambungan dari status Mariana. Tetapi kemudian Asha ingat jika Harris itu seperti gitar yang hanya akan berbunyi jika di petik. "Mas Harris gak pernah cerita sama aku, kalau Mas Harris punya ibu sambung kayak Mbak Mariana." ujar Asha mengelus lengan kiri Harris yang bebas di sisinya. "Kan kamu gak tanya!" jawab Harris datar. Baru saja membuka topik, Asha sudah di paksa untuk tidak mendelik, "Kan Mas Harr
Harris menghentikan langkahnya tepat di sebuah toko baju yang cukup terkenal dengan kualitas barangnya yang bagus."Mas Harris mau beli baju?" tanya Asha saat Harris meliarkan pandangannya di toko tersebut. "Kamu gak mau beli baju?" tanya Harris retorik.Asha terkekeh. "Kalau Mas Harris maksa aku juga mau." "Saya gak maksa kok. saya cuman tanya." kata Harris meralat."Mas Harris emang kayak kertas ya, lempeng banget!" sindir Asha gemas. Harris mengulum senyum melihat ekspresi Asha."Kamu bisa pilihkan untuk saya juga." ujar Harris saat tangan Asha sudah sibuk bekerja di tumpukan baju bertanda diskon."Jangan lupa beli dalaman juga." pesan Harris lirih di telinga Asha. Asha pun mengangguk pelan.Asha sudah tentu paham ukuran pakaian yang biasa di pakai Harris.Harris kembali meliarkan pandangannya lalu berujar, "Saya mau ke toilet. Nanti s
Harris sudah keluar dari kamar mandi berbalut jubah mandi dan handuk kecil yang menggantung di lehernya. Kedua benda itu sudah tersedia di kamar hotel secara cuma-cuma. Berewok tipis yang biasa menghiasi permukaan wajah hingga ke lehernya kini sudah bersih tak bersisa. Harris memang rutin mencukurnya setiap sebulan sekali. Di saat yang sama Asha terduduk di tepi ranjang menatap Harris lekat meski jarak mereka tidak dekat. Tangan Asha bersidekap di dada dengan kaki yang di silang sebelah. Asha tengah dongkol sebenarnya, saat topik-topik serius yang di bahas Asha lebih sering buntu dari perhatian Harris. Topik yang sengaja di angkat Asha seperti menguap begitu saja. Dan malam itu jelas bukan yang pertama Harris abai. "Mas Harris mau sampai kapan berdiri di sana?" tanya Asha membuyarkan suasana hening di antara keduanya. "Aku mau mandi." tambah Asha di iringi gerakan Harris menyingkir dari ambang pintu kamar mandi. "K
Asha dan Harris terlentang menatap langit-langit dengan tubuh polos yang basah dengan keringat dimana-mana. Tangan kanan Asha meraih selimut dan meletakannya sembarang di atas tubuhnya.Sementara Harris mulai turun dari tempat tidur meraih pintu lemari es mini di samping lemari besar dekat pintu keluar. Harris mengambil satu kaleng kopi dingin siap minum dan satu kaleng teh beraroma melati. Harris kembali berjalan menuju tempat tidur dimana Asha masih betah merebah. "Makasih ya Mas." ujar Asha saat Harris meletakan satu kaleng teh kaleng itu di atas nakas di samping Asha. Harris tak membalas ucapan 'terima kasih' dari Asha. Rupanya nyawa Harris sudah kembali kehidupan nyata. Membawa Harris kembali ke mode datar yang menyebalkan.Harris sempat memakai celana dalamnya sebelum dia duduk di kursi sofa menikmati sekaleng kopi dingin di tangannya. Suasana panas yang sempat menguasai ruangan itu mulai memudar menjadi sepi beberapa saat. Harri
Akhir pekan sudah selesai. Kini waktunya Asha dan Harris kembali pada rutinitas mereka sebagai suami dan istri di Ibu Kota Jakarta. Kembali pada rutinitas pagi yang padat namun teratur dan terjadwal setiap harinya. "Aku lagi gak mood buat masak Mas. Jadi pagi ini aku siapin roti panggang saja, nanti tinggal oles selai." ujar Asha mengulurkan satu piring yang di isi lima buah roti panggang yang warnanya sudah kecoklatan. Tampak begitu renyah saat di gigit. Tak lupa, secangkir kopi hitam tanpa gula yang masih begitu panas. Harris sudah duduk mantap di depan meja makan, tangannya meraih beberapa toples yang berisi macam-macam selai. Harris mengoleskan selai kacang di atas dua buah roti panggangnya dan melahapnya. Lalu Harris mengoleskan dua buah roti panggangya dengan selai coklat pun melahapnya dengan cepat. Roti panggang terakhirnya, hanya Harris oles dengan unsalted butter. Harris memang tak pernah ada masalah dengan makanan. Dia selalu melahap semua makanan y