Share

Terasa Hambar

Viona sibuk di dapur untuk membuatkan sarapan suaminya. Setelah azan subuh ia sudah sibuk mengurus rumah mereka. 

"Kopinya, Mas," kata Viona ketika melihat Damar keluar dari kamarnya.

"O iya, terima kasih." Damar berjalan menuju ke meja makan. Ia mengambil kopi itu dan membawanya ke ruang keluarga. Viona mengikuti Damar sambil membawa kue yang kemarin dibawakan oleh ibunya. Untuk oleh-oleh.

"Ayo duduk sini sekalian," ajak Damar.

"Sebentar, Mas, aku ambil minumanku dulu," kata Viona sambil berjalan menuju dapur.

"Gimana tidurnya? Nyenyak?" tanya Damar ketika Viona sudah duduk di dekatnya.

"Alhamdulillah, Mas."

"Masih teringat mantan?" tanya Damar sambil menatap Viona.

Viona kaget mendengar pertanyaan Damar. Ia pun berusaha untuk tersenyum.

"Kita sama, sama-sama dikhianati. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Marcia, kekasihku menikah dengan orang lain. Orang yang menghamilinya."

Viona menatap Damar, terlihat sorot mata yang sedih. Sedih yang dapat ia rasakan karena memang mereka berdua sama. Sama-sama dikhianati.

"Nggak usah mengasihaniku, kalau dirimu saja juga butuh dikasihani," kata Damar sambil tertawa.

Viona pun ikut tertawa.

"Aku nggak bisa menjanjikanmu apa-apa, tapi aku akan berusaha menjagamu dengan sepenuh hatiku." Damar berkata sambil menatap Viona.

"Terima kasih, Mas."

"Jam berapa kita akan ke kostmu?" tanya Damar.

"Jam delapan saja ya? Enak pagi. Lagipula barangku nggak banyak kok."

"Oke."

***

Damar melihat sekeliling kamar kost Viona, ia tampak heran dengan kondisi kamar kost istrinya.

"Kenapa, Mas?" tanya Viona.

"Kamar kostmu tampak sederhana sekali."

"Sesuai dengan dana yang kumiliki, Mas." Viona berkata sambil tersenyum.

"Kenapa nggak minta uang sama orang tuamu, kamu kan anak tunggal, pasti diberi, minta berapapun," kata Damar dengan penuh keheranan.

"Aku tidak mau merepotkan mereka. Aku yang memutuskan untuk pergi dari rumah, jadi aku harus bertanggung jawab atas diriku sendiri." Viona menjawab sibuk tersenyum.

"Kamu termasuk nekat ya? Keluar dari rumah hanya karena patah hati," kekeh Damar. Viona ikut tertawa.

"Sesama orang yang patah hati tidak boleh saling meledek," ucap Viona sambil menyusun barang-barang yang mau dibawa. Sebelum pulang kemarin, ia sudah mengepak barang, jadi sekarang hanya tinggal sisanya. 

Damar terkekeh mendengar kata-kata Viona. 

"Sudah selesai, Mas," kata Viona.

"Hanya segini barangnya?" tanya Damar dengan heran.

"Iya, Mas. Aku kan baru enam bulan disini, belum sempat beli apa-apa. Lagipula ngapain beli barang banyak, repot kalau mau pindahan," jawab Viona. 

Damar pun memasukkan barang-barang ke dalam mobil. 

"Mas, pulangnya naik mobil, aku naik motor," kata Viona.

"Memangnya kamu ada motor?" Damar celingukan mencari motor yg dimaksud oleh Viona.

"Ada dong. Hasil dari keringatku sendiri. Motor seken, sih." Viona menunjukkan motornya. 

Damar pun melihat motor yang ditunjuk oleh Viona. Kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan tampak menelpon seseorang. Terdengar Damar menyebutkan alamat kost Viona.

"Kenapa Mas?" tanya Viona.

"Kita pulang naik mobil. Biar Joni yang bawa motor," sahut Damar.

Tak lama kemudian datang seseorang yang naik ojek.

"Pak Damar," sapa laki-laki itu.

"Eh Joni! Kenalkan, ini istriku, Viona." Damar memperkenalkan Viona, Viona pun tersenyum.

"Saya Joni, Bu," kata Joni.

"Viona," ucap Viona.

"Jon, bawa motor ini ke rumahku ya? Kalau aku belum pulang, taruh saja di depan rumah, terus kuncinya dilemparkan lewat jendela yang terbuka." Damar memberikan arahan pada orang yg dipanggil Jon tadi.

"Iya, Pak." Jon menerima kunci yang diberikan oleh Viona.

Setelah berpamitan pada penghuni kost, mereka pun pulang. Mampir ke rumah makan untuk makan siang.

"Halo Damar?" sapa seorang perempuan cantik.

"Eh, halo Monica," jawab Damar.

"Kayaknya sudah move on nih," kata Monica sambil melirik ke arah Viona. Viona pun tersenyum.

"Alhamdulillah. Oya kenalin, ini istriku, Viona." Damar memperkenalkan Viona.

"Viona."

"Monica."

"Sudah lama menikahnya?" tanya Monica pada Damar.

"Belum ada satu Minggu." Damar menjawab pertanyaan Monica.

"Wah, berarti masih fresh. Pasti sudah unboxing." Monica berkata sambil tersenyum menggoda.

"Tentu dong." Damar menjawab dengan tegas.

"Selamat ya? Semoga kalian selalu berbahagia," kata Monica.

"Terima kasih."

"Aku duluan ya?" pamit Monica.

Damar dan Viona mengangguk.

"Siapa dia, Mas?" tanya Viona.

"Temannya Marcia."

"Ooo."

"Makan yuk," ajak Damar, karena makanan yang mereka pesan sudah datang.

***

"Vio, mana nomor rekeningmu?" tanya Damar ketika mereka selesai makan malam.

"Untuk apa, Mas?" tanya Viona.

"Mau transfer uang buat kamu?"

Viona mengernyitkan dahi.

"Aku ini suamimu, aku juga harus memberi nafkah padamu. Sudah nggak jamannya ngasih uang cash."

"Sebentar ya Mas, aku menyelesaikan ini dulu," sahut Viona.

Viona pun membereskan sisa mereka makan tadi. Setelah selesai, Viona duduk di sebelah Damar dan kemudian mengirimkan nomor rekening. 

"Coba cek di rekening kamu. Ada mbanking, kan?" tanya Damar.

"Ada," jawab Viona. Kemudian mengecek rekeningnya.

"Ini, Mas yang ngirim ya?" tanya Viona.

Damar mengangguk.

"Banyak sekali, Mas."

"Cukup untuk sebulan, kan?"

"Lebih dari cukup. Terima kasih, ya, Mas," kata Viona.

"Sama-sama. Aku mau pergi ya, mau bertemu dengan teman-teman. Aku bawa kunci rumah, kalau ngantuk tidur saja, nggak usah nungguin aku." Damar beranjak dari duduknya.

"Iya, Mas. Pulang jam berapa?" tanya Viona.

"Belum tahu, makanya kamu nggak usah nungguin aku." Damar pun melangkah keluar dari rumah. 

Tinggallah Viona sendirian di rumah. Sebenarnya ia takut di rumah sendirian, apalagi ini bukan rumah yang biasa ia tempati. Baru beberapa malam ia tidur di rumah ini. Akhirnya ia masuk ke kamar dan tak lupa mengunci pintu kamarnya. 

Ia mencoba untuk memejamkan mata, tapi pikiran-pikiran buruk menghampirinya. Mungkin karena ia takut, ia tidak bisa memejamkan mata.

***

"Tadi malam pulang jam berapa, Mas?" tanya Viona pada pagi harinya. Ia meletakkan segelas kopi untuk suaminya.

"Jam satu, kenapa?" kata Damar sambil menyeruput kopi.

"Nggak apa-apa, hanya nanya aja." Viona menjawab dengan pelan.

"Kamu itu memang istriku, tapi kamu nggak berhak melarangku berkumpul dengan teman-temanku. Aku tidak mau dikekang, aku juga nggak akan mengekang kamu. Kamu mau pergi dengan temanmu, aku nggak akan melarang. Yang penting kamu tetap tahu batasannya karena kamu sudah bersuami." Damar berkata dengan menatap Viona.

Viona terdiam, hatinya terasa sakit. Ia hanya bertanya saja untuk menunjukkan kepeduliannya, tapi jawaban Damar sangat menyakitkan hatinya. 

"Mungkin aku yang terlalu perasa, baperan," kata Viona dalam hati. Akhirnya ia menyibukkan diri dengan mengerjakan yang lain. Setelah membuatkan sarapan untuk Damar, ia pun menawari Damar untuk makan.

"Mas, sarapan yuk," ajak Viona.

"Nanti saja. Kalau kamu mau sarapan, sarapan duluan saja." Damar menjawab sambil mata tetap menatap ponselnya.

Akhirnya Viona kembali ke kamarnya. Ia bingung mau melakukan apa. Semua pekerjaan rumah sudah ia selesaikan. Ia merebahkan diri sambil membuka ponselnya. Ia hanya browsing, tapi pikirannya tetap mengingat kejadian tadi. Mungkin bagi orang itu hanya masalah sepele dan tidak usah dimasukkan ke dalam hati. Tapi bagi Viona, ini tetap menyakitkan, ketika kepedulian tidak dihargai sama sekali.

"Vio," panggil Damar dari luar. Viona segera beranjak dari tempat tidur. Kemudian membuka pintu.

"Lagi ngapain?" tanya Damar.

"Merapikan isi lemari, Mas." Tentu saja ia berbohong, kalau berkata jujur pasti Damar akan ngomel lagi.

"Oh kirain tidur. Jangan tidur pagi, nggak bagus untuk kesehatan. Aku mau pergi ke rumah teman," pamit Damar.

"Iya, Mas." Ia menjawab ala kadarnya saja. Tidak mau bertanya, takut nanti malah dibilangin kepo atau yang lainnya. Akhirnya ia di rumah sendirian lagi, seperti tadi malam.

***

"Vio, kamu cerita apa dengan Mama?" tanya Damar ketika pulang dari rumah temannya. Damar baru pulang menjelang magrib. Entah apa yang dilakukan bersama temannya. Viona berjanji tidak akan bertanya-tanya tentang kegiatan suaminya.

"Cerita apa, Mas? Aku nggak cerita apa-apa dengan Mama."

Memang tadi siang, mama mertuanya datang ke rumah. Katanya pengen bertemu dengan Viona. Mereka ngobrol-ngobrol, sambil menunggu Damar pulang. Sampai siang Damar nggak pulang-pulang akhirnya mamanya Damar pulang.

"Jangan menceritakan hal buruk tentang rumah tangga kita. Kita masih baru, masih dalam tahap belajar saling mengenal."

"Iya, Mas."

Belum ada seminggu mereka menikah, tapi Viona sudah merasakan bahwa kehidupan rumah tangganya terasa hambar. Hanya dua hari saja, Damar penuh perhatian dengannya, hari-hari berikutnya Damar hanya bicara seperlunya saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status