"Mas, hari ini sibuk nggak?" tanya Viona pada Damar. Damar yang sedang menonton televisi, atau tepatnya ditonton oleh televisi, langsung menoleh pada Viona. Damar memang menyalakan televisi, tapi matanya terpaku pada layar ponsel.
"Memangnya kenapa?" tanya Damar.
"Mumpung hari libur, temani aku belanja bulanan ya?" pinta Viona.
"Lho memangnya sudah habis?"
"Tinggal dikit, Mas, kan sudah hampir satu bulan," kata Viona lagi.
"Pergi sendiri, bisa kan? Aku lagi ada kerjaan. Nanti kalau belanja yang banyak sekalian, jadi awet," jawab Damar.
"Biar lebih awet lagi, belanja terus nggak usah digunakan, disimpan saja untuk pajangan. Pasti awet," kata Viona dalam hati.
"Oh, ya sudah." Viona pun berjalan menuju ke kamar, kemudian berganti pakaian. Sebenarnya hatinya sangat kecewa, ia berharap Damar mau menemaninya. Sekalian quality time bersama suaminya, siapa tahu hubungan mereka menjadi hangat. Tapi selalu alasan pekerjaan yang ia kemukakan.
"Hari libur kok masih ngurusin kerjaan. Bilang saja nggak mau menemani aku." Viona hanya menggerundel saja.
Viona keluar dari kamar, dan melihat Damar masih asyik dengan ponselnya.
"Mas, aku pergi dulu," pamit Viona.
"Ya," jawab Damar tanpa menoleh sedikitpun.
Viona hanya bisa menarik nafas panjang, ada kekecewaan di hatinya. Kemudian ia keluar dari rumah dengan mengendarai motornya. Tujuannya hanya belanja di minimarket. Tapi di perjalanan ia berpikir, kalau hanya belanja di minimarket, pasti cepat selesai. Terus nanti di rumah ngapain? Di rumah dicuekin terus.
"Lebih baik aku ke mall saja, refreshing. Sekalian belanja di sana saja," kata Viona dalam hati.
Viona melajukan motornya ke arah mall, jalanan masih agak lengang karena memang masih pagi. Sampai di mall, juga masih belum terlalu ramai. Masih leluasa untuk memilih barang.
Viona menuju ke gerai pakaian. Ia ingin membeli pakaian, kebetulan kemarin habis gajian. Setelah memilih pakaian, akhirnya dapat satu. Kemudian ia antri ke kasir. Selanjutnya Viona hanya berkeliling mall saja.
Viona melangkah ke lantai bawah, untuk berbelanja bulanan di Hypermart. Terakhir ia berbelanja, masih ditemani suaminya. Saat itu Damar tampak perhatian dengannya, membuat Viona merasa menjadi istri yang bahagia. Viona pun yakin jika rumah tangganya nanti akan selalu bahagia. Tapi ternyata semua hanya mimpi.
"Ah, ngapain mikirin dia? Membuat bad mood saja," kata Viona dalam hati. Ia melanjutkan memilih barang-barang. Cukup lama berkeliling, melihat pernak-pernik peralatan dapur. Kemudian ia memilih buah dan menimbangnya. Setelah keranjang belanja penuh, ia segera menuju ke kasir.
Sampai dirumah, mobil Damar masih ada. Berarti ia tidak pergi. Setelah memasukkan motor, Viona segera meletakkan barang belanjaan diatas meja dapur. Ia mau berganti pakaian dulu, baru membereskan belanjaan.
"Kok lama pulangnya? Kemana saja?" tanya Damar yang baru keluar dari kamarnya.
"Aku kan belanja, tadi sudah pamit sama Mas." Viona menjawab pertanyaan Damar.
"Itu kok ada kantong mall, kamu ke mall ya?" selidik Damar.
"Iya, Mas. Belanja sekalian refreshing."
"Biasanya kamu belanja bulanan nggak ke mall, tumben hari ini ke mall."
"Tadinya aku mau ke minimarket saja, tapi setelah aku pikir-pikir, lebih baik ke mall. Kalau ke minimarket kan hanya sebentar saja. Nanti di rumah juga ngapain. Makanya ke mall untuk refreshing."
"Memangnya kamu di rumah stress ya, kok perlu refreshing juga." Damar mencecarnya dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan.
"Sekali-kali kan nggak apa-apa, Mas."
"Tapi kamu bohong sama aku? Katanya ke minimarket malah ke mall."
"Aku minta maaf." Viona mengalah, ia tidak mau berdebat. Takut nanti akan keluar kata-kata yang menyakitkan.
Viona pun melangkah masuk ke kamar.
"Mau kemana kamu?" seru Damar.
"Ke kamar, Mas. Ganti pakaian. Apa Mas mau lihat?" ledek Viona.
"Kayak kurang kerjaan saja," gumam Damar.
Viona tersenyum mendengar jawaban dari Damar. Ia segera masuk ke kamar dengan membawa kantong belanja tadi yang berisi pakaian. Selanjutnya berganti pakaian dan kemudian keluar kamar lagi. Ia melangkah ke dapur untuk membereskan belanjaannya.
"Kamu ke mall sama siapa?" tanya Damar, ternyata Damar masih ada di ruang keluarga.
"Sendirian." Viona menjawab dengan singkat.
"Nggak sama teman atau siapa, gitu?" selidik Damar.
Viona mengernyitkan dahinya.
"Mas kenapa sih, kok nanyanya seperti itu? Aku hanya sendirian, tadi Mas diajak nggak mau." Viona mulai kesal, seperti diinterogasi.
"Aku ada banyak kerjaan," kilah Damar.
"Ya sudah, lagipula tadi Mas ngizinin aku pergi. Kok ribet amat sih Mas," kata Viona dengan emosi.
"Ribet katamu? Kamu itu sudah berbohong sama aku." Damar juga kesal.
"Aku kan sudah jujur, tapi Mas sepertinya nggak percaya sama aku, suudzon saja. Kalau memang Mas curiga aku pergi dengan orang lain, seharusnya Mas nggak ngizinin aku pergi. Atau Mas yang menemani aku pergi jadi nggak cemburu kayak gini."
"Siapa juga yang cemburu sama kamu." Damar memalingkan wajahnya.
"Kalau nggak cemburu, ngapain Mas mengintrogasi aku seperti itu? Bilang cemburu saja kok gengsi, Mas."
"Aku nggak cemburu." Damar mulai merah mukanya.
Viona tersenyum melihat ekspresi Damar.
"Cemburu juga nggak apa-apa kok, Mas. Manusiawi," ledek Viona.
Damar tampak kesal karena diledek Viona.
"Kamu itu istriku, aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu padamu," kilah Damar.
Viona sudah selesai menyusun belanjaan. Kemudian ia berjalan mendekati Damar.
"Mas, aku memang istrimu. Tapi perlakuan Mas padaku nggak menunjukkan kalau Mas punya istri dan peduli dengan istrinya."
"Apa maksudmu?" tanya Damar dengan gelagapan.
"Aku disini hanya sebagai pajangan, bukan istri. Istilah lainnya istri diatas kertas, sekedar status saja. Boro-boro diajak jalan atau menemani belanja. Di rumah saja aku nggak pernah dianggap." Viona berkata sambil menatap Damar.
"Aku kan pernah bilang, kita saling mengenal satu sama lain dulu. Nanti seiring berjalannya waktu, kita akan semakin dekat." Damar berusaha menjelaskan.
"O ya? Mengenal satu sama lain? Mas terlalu sibuk dengan diri Mas sendiri. Aku merasakan indahnya pernikahan nggak sampai satu Minggu. Semakin kesini, Mas semakin cuek dan tidak peduli. Ditanya sedikit, jawabannya panjang lebar, nyelekit lagi. Bagaimana mau mengenal kalau Mas sendiri menjauh. Mas itu bukan mencoba membuka hati untukku, tapi sengaja menutup pintu hati Mas untukku."
Damar terdiam, mencoba mencerna apa yang diucapkan oleh Viona. Viona pun masuk ke dalam kamar, meninggalkan Damar yang masih terbengong-bengong mendengarkan kata-kata Viona. Di dalam kamar, Viona masih tampak kesal. Ia pun membaringkan tubuhnya. Ia tersadar kalau tasnya masih ada di meja makan. Ia pun keluar lagi. Damar sudah tidak ada disana. Segera ia mengambil tasnya yang berisi dompet dan ponsel.
Ceklek! Pintu kamar Damar terbuka. Tampak ia sudah berpakaian rapi seperti mau pergi. Viona cuek saja, ia segera membuka pintu kamarnya.
"Vio," panggil Damar. Viona menghentikan langkah kakinya.
"Aku mau pergi," kata Damar.
"Ya," jawab Viona kemudian masuk ke kamarnya.
"Vio!" panggil Damar.
"Ya Mas? Ada apa?" tanya Viona sambil membalikkan badannya.
"Aku mau pergi."
"Iya, silahkan."
"Kamu nggak nanya kemana aku mau pergi?" tanya Damar.
Viona menggelengkan kepalanya.
"Kalau aku pergi dengan perempuan lain, gimana?" goda Damar.
"Terserah, itu urusan Mas. Mas sendiri yang bilang sama aku, kalau aku tidak boleh mengekang, Mas. Mas mau pergi kemana, sama siapa, terserah."
"Kamu nggak peduli sama aku?"
"Memangnya Mas peduli sama aku, sama perasaanku? Enggak kan? Buat apa aku peduli, kalau kepedulianku nggak dihargai, malah bikin kecewa dan sakit hati." Viona melanjutkan langkah kakinya.
Damar menarik tangan Viona, mau tidak mau tubuh Viona pun mendekat ke arah Damar dan jatuh dalam pelukan Damar. Damar memeluk pinggang Viona.
"Aku mau mengajakmu keluar." Damar berkata sambil menatap Viona.
Viona menggelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Damar.
"Mas terpaksa kan mengajakku keluar? Berarti Mas nggak ikhlas. Lagipula aku sedang bad mood malas mau keluar lagi."
"Aku tahu cara untuk menaikan mood. Kamu butuh mood booster." Damar berkata sambil tersenyum simpul. Viona keheranan menatap senyuman Damar.
Damar segera mencium bibir Viona, Viona kaget, ia tidak siap dengan tindakan Damar.
"Mau lagi?" tanya Damar.
Belum sempat Viona menjawab, Damar mencium bibir Viona dengan lembut, menggigit bibir bawah Viona. Mau tidak mau mulut Viona pun terbuka. Damar langsung melumat bibir Viona. Akhirnya Viona mengimbangi permainan Damar.
"Eh malah asyik pacaran disini, sampai-sampai lupa sama anaknya sendiri." Mama Laras berkata sambil tersenyum menggoda Damar dan Viona."Mama?" Viona tersipu malu."Apa sih yang kalian bicarakan? Masa depan?" tanya Adel dengan penasaran."Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Hanya membuatkan kopi lagi untuk Mas Damar. Soalnya kopi yang aku buat tadi sudah dingin karena Mas Damar ketiduran." Viona menjelaskan. Damar hanya tersenyum."Ayo kita kesana saja, nggak enak ngobrol di dapur," ajak Viona. Mereka pun menuju ke ruang keluarga."Mumpung ada kalian berdua disini. Apakah ada kemungkinan kalian untuk rujuk? Ingat lho, ada Arka yang membutuhkan kalian berdua." Mama Laras mulai berbicara."Sepertinya memang kita yang harus bergerak, Ma. Kalau menunggu mereka berdua, kelamaan. Terus terang kami sangat menginginkan rujuknya kalian berdua. Apalagi ada pengikat di antara kalian yaitu Arka." Tanpa basa basi, Adel langsung bertanya pada Viona. Viona menjadi salah tingkah. "Ini kesempatanku untuk m
"Arka, Arka," gumam Viona. Damar bingung harus berbuat apa."Arka, Arka." Viona mengigau lagi. Damar memegang dahi Viona, ternyata Viona demam.Damar mencari-cari tas Viona. Biasanya Viona selalu membawa obat-obatan di tasnya. Tas Viona ada di bawah tempat tidur Arka. Dengan perlahan ia membuka tas tersebut. Ternyata benar, di dalam tas Viona ada beberapa obat, seperti Paracetamol juga asam mefenamat.Setelah mengambil Paracetamol dan air mineral, Damar pun mengambil mendekati Viona lagi. "Viona," panggil Damar dengan pelan. Perlahan Viona membuka matanya."Mas, jangan ambil Arka dariku. Aku janji akan merawat dia dengan baik." Tiba-tiba Viona langsung berkata seperti itu sambil menangis. Damar hanya bisa bengong mendengar ucapan Viona.*Aku mohon, Mas." Tangis Viona semakin menjadi-jadi."Vio, tidak ada yang mau mengambil Arka darimu. Aku juga tidak, aku percaya kalau kamu merawat Arka dengan baik." Damar berusaha meyakinkan Viona."Tapi tadi Mas memaksaku menyerahkan Arka." Viona m
"Arka kenapa?" Viona mengelus-elus kepala Arka. Arka masih saja menangis."Arka kenapa, Nak? Bilang sama Bunda, apa yang Arka inginkan?" Suara Viona bergetar, menahan sesak di dada. Sebenarnya ia ingin menangis, tapi tetap berusaha untuk tidak menangis. Jangan sampai menangis di depan Arka."Tangan sakit." Suara Arka sangat lemah. Viona melihat ke tangan Arka, tampak agak membengkak. Viona sangat kaget, kemudian ia melihat ke arah botol infus dan mengamatinya. Ternyata infusnya tidak menetes, Viona menjadi semakin ketakutan. Ia segera memencet bel.Tak lama kemudian masuklah seorang perawat."Ada yang bisa dibantu, Bu?" Perawat itu bertanya dengan sopan."Infusnya kok nggak menetes ya?" tanya Viona. Perawat itu segera memeriksa botol infus dan saluran infus yang menempel ke tangan Arka."Apa adik ini banyak bergerak, Bu?""Enggak, tadi habis saya gendong ke kamar mandi karena mau buang air kecil."Perawat itu tersenyum."Lihatlah tangan adik ini, mungkin tadi waktu bergerak jarumnya
"Arka sangat dekat dengan ayahnya, apa nggak sebaiknya kalian rujuk saja. Kalau misalnya Damar mengajakmu rujuk, apa kamu mau?" Deg! Jantung Viona berdebar-debar. Pipinya merona tersipu malu."Nggak tahu, Mbak. Lagipula nggak mungkin Mas Damar mengajakku rujuk. Dia kan sudah mau menikah?" sahut Viona, ia pun menyibukkan diri dengan kegiatan menggoreng nugget tadi. Malu kalau sampai ketahuan ia merona.Viona memang masih mencintai Damar, walaupun ia tahu kalau Damar tidak mencintainya. Susah untuk menghilangkan rasa itu, tapi untuk berharap kembali bersama, sepertinya jauh panggang dari api."Siapa bilang? Hubungan Damar dan Jihan sudah selesai.""Bukankah mereka sudah tunangan?" tanya Viona untuk meyakinkan berita itu."Iya, tapi nyatanya nggak bisa dilanjutkan lagi.""Kasihan Mas Damar, pasti sangat kecewa berpisah dengan orang yang dicintainya." Ada rasa perih di hati ketika mengucapkan itu."Kamu tahu, mereka putus gara-gara kamu." Ucapan Adel tak khayal membuat Viona tampak sanga
Semua menjadi panik karena tidak menemukan sosok Arka. Mereka tadi asyik membahas tentang ide rujuknya Damar dan Viona. Damar beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan, takutnya Arka keluar. Mama Laras mencari ke dapur, siapa tahu Arkq sedang bermain bersama Lina. Tapi ternyata Lina tidak ada. Mama Laras pun menuju ke ruang keluarga, tempat mereka berkumpul dan bermain bersama Arka tadi."Ketemu nggak?" tanya Damar dengan panik. Tentu saja ia sangat panik melihat Arka menghilang dari pandangan mereka berempat.Semua menggelengkan kepalanya masing-masing. "Papa, bagaimana ini? Aku nggak tahu harus ngomong apa sama Viona." Damar sangat kebingungan. "Tenang, pasti Arka ketemu." Pak Yuda berusaha menenangkan Damar."Lina, kamu melihat Arka?" tanya Damar ketika melihat Lina berjalan menuju ke arah mereka"Arka? Ada kok." Lina menjawab dengan tenang tampak santai."Dimana?" tanya Damar, wajahnya langsung ceria."Saya bawa ke kamar Mas Damar. Arka sedang tidur.""Kok bisa?" Damar masih
"Ayah!" Terdengar teriakan bahagia dari seorang anak kecil yang bernama Arka. Tampak Viona berdiri di samping Arka. Arka langsung memeluk ayahnya, kemudian menarik tangan ayahnya untuk masuk ke dalam.Damar tampak ragu, ia pun melirik ke arah Viona. Viona mengangguk kecil, menandakan kalau ia menyetujui tindakan Arka. Damar dan Arka masuk ke dalam, disusul Viona yang selesai menutup pintu. Dari saat mengetuk pintu tadi sampai sekarang, jantung Damar masih berdetak dengan kencang, ia tampak canggung berhadapan dengan Viona. "Maafkan aku, Mas. Seharusnya aku tidak merepotkan Mas pagi-pagi seperti ini," kata Viona dengan pelan ketika mereka bertiga duduk di sofa."Nggak apa-apa. Aku akan selalu melakukan apapun permintaan Arka. Ini aku bawakan sarapan untukmu." Damar menyerahkan bungkusan yang tadi ia bawa. Ia masih berusaha untuk menetralisir suasana hatinya. Entah kenapa, melihat Viona hari ini membuat Damar merasa sangat bahagia. Mungkin karena ia diizinkan mengajak Arka jalan-jalan.