Home / Romansa / Pernikahan tanpa Bahagia / Bayangan yang Mengusik

Share

Bayangan yang Mengusik

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-09-18 14:57:38

Aruna tidak bisa tidur malam itu. Pesan singkat yang muncul di layar ponsel suaminya masih berputar-putar di kepalanya.

[Melani]: Senang sekali bertemu denganmu malam ini. Aku tak sabar menunggu kita bertemu lagi.

Matanya panas, dadanya sesak. Ia ingin bertanya, ingin menuntut jawaban. Tapi saat Rafka keluar dari kamar mandi, wajahnya tampak begitu lelah. Rambutnya masih basah, kemejanya digantung sembarangan.

“Kenapa belum tidur?” tanya Rafka sambil mengeringkan rambut.

Aruna menelan ludah, menyembunyikan kegelisahannya. “Aku... hanya menunggumu.”

Rafka tersenyum kecil, lalu berbaring di sisi ranjang. “Besok aku harus rapat pagi. Tidurlah, Rin.”

Ia menutup mata begitu saja, seolah dunia berhenti di situ. Sementara Aruna menatap punggungnya, hatinya penuh tanya.

Siapa Melani?

---

Pagi berikutnya, Bu Kartika datang tanpa kabar, seperti biasanya. Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan ketika pintu apartemen terbuka.

“Rafka masih tidur?” tanya Bu Kartika dingin.

“Sudah berangkat, Bu. Ada rapat pagi,” jawab Aruna sopan.

Bu Kartika menatap meja makan. “Ini apa? Nasi goreng? Kau pikir menantuku hanya butuh makanan murahan begini? Rafka terbiasa sarapan sehat sejak kecil. Apa kau tidak tahu?”

Aruna menunduk. “Saya akan perbaiki lain kali, Bu.”

“Tentu saja harus,” desis Bu Kartika. “Kalau kau tidak bisa merawatnya dengan baik, banyak wanita lain yang bisa.”

Kalimat itu menohok langsung ke hati Aruna. Ia menggenggam erat ujung celemeknya, mencoba menahan air mata.

Apakah maksud Ibu... Melani?

---

Hari itu, Aruna berusaha menyibukkan diri. Ia membersihkan apartemen, mencuci pakaian, bahkan memangkas bunga di balkon. Tapi semakin ia mencoba melupakan pesan itu, semakin kuat bayangan Melani di kepalanya.

Sore hari, saat sedang melipat pakaian, telepon rumah berdering. Aruna mengangkatnya.

“Halo?”

“Ini rumah Rafka?” suara seorang wanita terdengar lembut, namun asing.

“Ya, saya istrinya. Dengan siapa saya bicara?”

Sejenak hening. Lalu suara itu berkata pelan, nyaris mengejek.

“Oh... jadi kau istrinya. Perkenalkan, aku Melani. Rekan kerja Rafka. Sampaikan padanya, aku menunggu balasannya.”

Klik. Telepon ditutup begitu saja.

Aruna terpaku. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup kencang. Itu bukan sekadar rekan kerja. Nada suara itu... terlalu intim, terlalu berani.

Ia terduduk di kursi, wajahnya pucat. Mengapa wanita itu menelepon ke rumah? Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?

---

Malamnya, Aruna mencoba menguatkan diri. Ia ingin bertanya langsung. Saat Rafka pulang, ia menyambut dengan hati-hati.

“Kau lelah?” tanyanya sambil mengambil jas suaminya.

“Seperti biasa,” jawab Rafka singkat. Ia duduk di sofa, membuka laptop.

Aruna menatapnya ragu. “Raf... aku ingin bertanya sesuatu.”

“Hm?” Lelaki itu tidak menoleh, matanya tetap pada layar.

“Siapa Melani?”

Suasana mendadak sunyi. Rafka terhenti mengetik, lalu menatap istrinya.

“Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?”

“Aku... mendapat telepon. Katanya dia rekan kerjamu.” Suara Aruna bergetar. “Tapi cara bicaranya... tidak seperti rekan biasa.”

Rafka menarik napas panjang. “Melani memang rekan kerjaku. Dia bagian dari tim marketing. Jangan berpikir macam-macam, Rin.”

“Tapi—”

“Sudah!” Suaranya meninggi, membuat Arruna terdiam. “Aku lelah seharian bekerja. Jangan tambah bebanku dengan cemburu buta.”

Air mata Aruna jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia hanya ingin kejelasan, tapi justru disalahkan.

Rafka menutup laptop dengan kasar, lalu masuk ke kamar tanpa menoleh.

Aruna terduduk di sofa, tangisnya pecah. Untuk pertama kalinya, ia merasa suaminya lebih memilih membela orang lain daripada dirinya.

---

Keesokan harinya, Aruna memberanikan diri menemui Bu Kartika di rumah besar keluarga Adiguna. Ia berharap mendapat nasihat, atau setidaknya pengertian.

Namun yang ia terima justru jauh dari harapan.

“Melani? Tentu saja Ibu tahu,” kata Bu Kartika sambil menyesap tehnya tenang. “Dia putri sahabat lama keluarga kami. Cantik, berpendidikkan, dan berasal dari keluarga terpandang. Jauh lebih cocok untuk Rafka daripada... kau.”

Aruna menatap mertuanya dengan mata terbelalak. “Bu... jadi Ibu memang menginginkan dia untuk Rafka?”

Bu Kartika menatap dingin. “Kalau kau benar-benar mencintai Rafka, kau seharusnya tahu yang terbaik untuknya. Dan yang terbaik bukanlah kau.”

Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada tamparan. Aruna pulang dengan hati hancur, langkahnya gontai.

Di perjalanan, pikirannya kalut. Apa benar aku hanya penghalang? Apa benar aku tidak pantas di sisinya?

---

Malam itu, saat Aruna membuka lemari untuk mengambil jas kerja Rafka, sebuah parfum asing menyengat hidungnya. Harum yang manis, feminin, bukan miliknya.

Tangannya bergetar saat menemukan sehelai sapu tangan sutra terselip di saku jas. Warna merah muda, dengan huruf kecil bordir di sudutnya: M.

Air mata langsung membasahi pipinya.

Ketika Rafka keluar dari kamar mandi, ia mendapati Aruna berdiri dengan sapu tangan itu di tangan.

“Apa ini?” tanya Aruna dengan suara bergetar.

Rafka menatap sebentar, wajahnya berubah kaku. “Itu... mungkin punya klien. Tidak penting.”

“Tidak penting?” Aruna menahan tangis. “Kalau tidak penting, kenapa ada di saku jas kerjamu?”

Rafka menghela napas kasar. “Rin, berhentilah berlebihan! Aku bilang itu tidak ada apa-apa. Percayalah padaku.”

“Bagaimana aku bisa percaya, jika bukti seperti ini ada di depan mataku?”

Suasana tegang memenuhi ruangan. Rafka memijit pelipisnya, frustrasi. “Aku tidak punya waktu untuk ini. Jika kau tidak percaya padaku, terserah.”

Ia berbalik, meninggalkan Aruna yang terisak dengan sapu tangan merah muda itu di genggaman.

Dan malam itu, untuk kedua kalinya, Aruna merasa suaminya bukan lagi miliknya sepenuhnya.

---

Namun yang paling menyakitkan adalah pagi berikutnya.

Saat Aruna menyiapkan sarapan, telepon rumah kembali berdering. Dengan ragu, ia mengangkat.

“Halo?”

Kali ini suara itu terdengar jelas, manis, dan penuh tantangan.

“Halo, Bu Aruna. Ini Melani. Bisakah kau sampaikan pada suamimu... aku merindukannya?”

Klik. Telepon ditutup.

Piring di tangan Aruna terjatuh dan pecah di lantai. Tubuhnya bergetar, air mata menetes tanpa henti.

Ia kini tahu, bayangan yang mengusik rumah tangganya bukan sekadar ilusi. Melani nyata, hadir, dan berani.

Dan pertanyaannya hanya satu:

Apakah Rafka akan memilihnya... atau memilih wanita lain itu?

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Rumah yang Menyimpan Rahasia

    Pagi itu, langit tampak berwarna kelabu muda — tidak sepenuhnya suram, tapi cukup membuat udara terasa berat.Di Rumah Cahaya, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara air yang menetes dari talang terdengar seperti detak waktu yang berjalan dengan enggan.Laras baru saja membuka jendela ruang kerja ketika seseorang mengetuk pintu depan.Suara itu pelan tapi tegas — tiga ketukan, lalu diam.Ia mengira itu mungkin salah satu tamu baru, atau pengantar paket dari kota. Tapi ketika ia membuka pintu, dunia seolah berhenti sejenak.Di ambang pintu berdiri seorang perempuan dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel krem, wajahnya letih tapi matanya tajam.“Maaf,” katanya, suaranya tenang tapi bergetar di ujung. “Apakah ini Rumah Cahaya?”“Iya,” jawab Laras lembut. “Apa saya bisa membantu?”Perempuan itu tersenyum tipis. “Namaku Ayla. Aku datang… mencari seseorang.”Laras mengerutkan dahi. “Seseorang?”Ayla mengangguk. “Reza.”---Nama itu menggantung di udara, seperti angin dingi

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Ketika Langit Tak Lagi Abu-abu

    Pagi itu, Rumah Cahaya diselimuti kabut tipis.Aroma tanah basah dan daun yang baru disapu hujan masih tercium di udara. Burung-burung gereja berkicau di dahan mangga tua, dan dari dapur, terdengar bunyi lembut panci disentuh sendok kayu.Reza duduk di meja makan, menatap jendela besar yang terbuka sebagian.Cahaya pagi menyelinap pelan, menembus tirai putih, memantul di wajahnya yang tenang.Di depannya, secangkir kopi hangat mengepulkan aroma yang menenangkan — pahit dan manis, seperti hidup yang sedang berusaha ia pahami kembali.Laras keluar dari dapur membawa piring kecil berisi roti panggang dan potongan buah. Rambutnya dibiarkan terurai, masih sedikit basah setelah mandi. Di tangannya, ada sebuah amplop putih yang tampak usang.“Aku menemukan ini di antara buku catatan ibuku,” katanya pelan sambil duduk.Reza menatapnya. “Apa itu?”“Surat. Tapi tidak pernah dikirim.”Laras tersenyum tipis, seolah tak yakin apakah ia ingin membacanya atau tidak.---Amplop itu bertuliskan tinta

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Surat yang Tak Pernah Dikirim

    Malam itu, angin berembus dari laut membawa aroma asin yang lembut.Langit mendung, tapi di sela-sela awan, bulan berusaha menampakkan dirinya — redup, namun setia.Reza duduk di beranda Rumah Cahaya, kamera di pangkuannya, segelas kopi dingin di meja, dan setumpuk kertas tua di sampingnya.Ia baru saja membersihkan gudang kecil di belakang rumah sore tadi — tempat mereka menyimpan barang-barang yang “belum sanggup dibuang”.Di antara tumpukan bingkai kayu, potongan tripod rusak, dan album foto yang sudah menguning, ia menemukan sebuah kotak besi kecil yang tertutup debu. Di dalamnya ada sepucuk surat — kertasnya sudah pudar, lipatannya rapuh, dan di bagian atasnya tertulis:> “Untuk Ayah (tapi mungkin tidak akan pernah kukirim).”Reza menatap tulisan tangannya sendiri, nyaris tak percaya bahwa ia pernah menulis itu — mungkin dua puluh tahun lalu, ketika usia dan amarahnya sama-sama muda.Ia membuka perlahan, takut kertas itu hancur di tangannya.---> Ayah,Aku menulis ini bukan kare

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Surat dari Langit yang Tak Pernah Sampai

    Hari itu, hujan turun pelan, seperti rintik yang tak ingin mengganggu siapa pun.Laras duduk di meja kayu dekat jendela, di mana tetesan air menelusuri kaca seperti urat halus di tubuh bumi. Di hadapannya, secangkir teh melati mengepulkan aroma tenang.Rumah Cahaya masih lengang. Reza sedang keluar untuk memotret di desa sebelah, dan Surya tertidur di ruang baca.Hujan membuat waktu berjalan lebih lambat — cukup lambat untuk membuat Laras menyadari suara detak jam dinding yang biasanya ia abaikan.Lalu sesuatu di atas meja menarik perhatiannya:sebuah amplop berwarna krem, tanpa perangko, tanpa alamat, hanya satu tulisan kecil di depan:> “Untuk Laras.”Tulisan tangan itu lembut, nyaris gemetar, seolah ditulis dengan ragu atau dengan rasa yang terlalu dalam untuk dikatakan.Laras memandang amplop itu lama, jantungnya berdegup aneh.Ia membukanya perlahan.Di dalamnya ada selembar kertas berlipat dua, dan aroma samar lavender yang sudah pudar.---> “Laras,Mungkin kau tak mengenal nam

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Cahaya yang Tertinggal di Mata Reza

    Pagi itu laut tampak berbeda.Tidak ada ombak besar, tidak ada burung camar yang berkejaran di langit. Hanya air yang mengalun pelan, seperti napas panjang setelah tangis yang lama.Reza berdiri di depan jendela studionya, memandangi garis horizon yang tak pernah berubah, namun selalu membawa sesuatu yang baru untuk dirasakan.Mira sudah pergi dua hari yang lalu, meninggalkan secangkir teh yang masih disimpan Laras di rak kayu — seolah kenangan bisa diawetkan seperti aroma daun mint yang menggantung di udara.Ia memutar kamera di tangannya.Lensa itu sudah berdebu.Selama beberapa bulan terakhir, Reza tak lagi memotret manusia. Ia lebih memilih benda-benda sunyi: piring yang pecah di dapur, kain basah di tali jemuran, kursi yang tak pernah digunakan.Baginya, setiap benda memiliki suara yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata.Namun pagi itu, ada dorongan aneh yang membuatnya ingin keluar — bukan untuk mencari gambar, tapi untuk mendengar kembali diam yang lain.---Ia menuruni t

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Tamu Pertama Rumah Cahaya

    Angin laut membawa aroma asin pagi itu, menyusup pelan melalui jendela kayu yang belum sempat ditutup sempurna.Laras baru saja selesai menyeduh teh ketika suara langkah kaki terdengar dari arah gerbang.Langkah yang ragu, terhenti dua kali sebelum akhirnya benar-benar mendekat.Ia menoleh, dan di antara kabut tipis yang menggantung di jalan setapak, tampak sosok perempuan muda — mengenakan mantel krem yang basah di ujungnya, dengan koper kecil di tangan kanan dan wajah yang tampak letih, seperti seseorang yang sudah berjalan terlalu jauh tanpa tahu ke mana sebenarnya akan tiba.“Selamat pagi,” sapa Laras, lembut.Perempuan itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Apakah ini… Rumah Cahaya?”“Ya. Silakan masuk.”Perempuan itu tersenyum tipis, tapi matanya tetap memendam sesuatu yang tak bisa disembunyikan — semacam bayangan yang menolak pergi meski pagi sudah datang.Namanya, seperti yang kemudian ia sebutkan di dapur kecil mereka, adalah Mira.---Mira datang tanpa reservasi, tanpa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status