Aruna tidak bisa tidur malam itu. Pesan singkat yang muncul di layar ponsel suaminya masih berputar-putar di kepalanya.
[Melani]: Senang sekali bertemu denganmu malam ini. Aku tak sabar menunggu kita bertemu lagi. Matanya panas, dadanya sesak. Ia ingin bertanya, ingin menuntut jawaban. Tapi saat Rafka keluar dari kamar mandi, wajahnya tampak begitu lelah. Rambutnya masih basah, kemejanya digantung sembarangan. “Kenapa belum tidur?” tanya Rafka sambil mengeringkan rambut. Aruna menelan ludah, menyembunyikan kegelisahannya. “Aku... hanya menunggumu.” Rafka tersenyum kecil, lalu berbaring di sisi ranjang. “Besok aku harus rapat pagi. Tidurlah, Rin.” Ia menutup mata begitu saja, seolah dunia berhenti di situ. Sementara Aruna menatap punggungnya, hatinya penuh tanya. Siapa Melani? --- Pagi berikutnya, Bu Kartika datang tanpa kabar, seperti biasanya. Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan ketika pintu apartemen terbuka. “Rafka masih tidur?” tanya Bu Kartika dingin. “Sudah berangkat, Bu. Ada rapat pagi,” jawab Aruna sopan. Bu Kartika menatap meja makan. “Ini apa? Nasi goreng? Kau pikir menantuku hanya butuh makanan murahan begini? Rafka terbiasa sarapan sehat sejak kecil. Apa kau tidak tahu?” Aruna menunduk. “Saya akan perbaiki lain kali, Bu.” “Tentu saja harus,” desis Bu Kartika. “Kalau kau tidak bisa merawatnya dengan baik, banyak wanita lain yang bisa.” Kalimat itu menohok langsung ke hati Aruna. Ia menggenggam erat ujung celemeknya, mencoba menahan air mata. Apakah maksud Ibu... Melani? --- Hari itu, Aruna berusaha menyibukkan diri. Ia membersihkan apartemen, mencuci pakaian, bahkan memangkas bunga di balkon. Tapi semakin ia mencoba melupakan pesan itu, semakin kuat bayangan Melani di kepalanya. Sore hari, saat sedang melipat pakaian, telepon rumah berdering. Aruna mengangkatnya. “Halo?” “Ini rumah Rafka?” suara seorang wanita terdengar lembut, namun asing. “Ya, saya istrinya. Dengan siapa saya bicara?” Sejenak hening. Lalu suara itu berkata pelan, nyaris mengejek. “Oh... jadi kau istrinya. Perkenalkan, aku Melani. Rekan kerja Rafka. Sampaikan padanya, aku menunggu balasannya.” Klik. Telepon ditutup begitu saja. Aruna terpaku. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup kencang. Itu bukan sekadar rekan kerja. Nada suara itu... terlalu intim, terlalu berani. Ia terduduk di kursi, wajahnya pucat. Mengapa wanita itu menelepon ke rumah? Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? --- Malamnya, Aruna mencoba menguatkan diri. Ia ingin bertanya langsung. Saat Rafka pulang, ia menyambut dengan hati-hati. “Kau lelah?” tanyanya sambil mengambil jas suaminya. “Seperti biasa,” jawab Rafka singkat. Ia duduk di sofa, membuka laptop. Aruna menatapnya ragu. “Raf... aku ingin bertanya sesuatu.” “Hm?” Lelaki itu tidak menoleh, matanya tetap pada layar. “Siapa Melani?” Suasana mendadak sunyi. Rafka terhenti mengetik, lalu menatap istrinya. “Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?” “Aku... mendapat telepon. Katanya dia rekan kerjamu.” Suara Aruna bergetar. “Tapi cara bicaranya... tidak seperti rekan biasa.” Rafka menarik napas panjang. “Melani memang rekan kerjaku. Dia bagian dari tim marketing. Jangan berpikir macam-macam, Rin.” “Tapi—” “Sudah!” Suaranya meninggi, membuat Arruna terdiam. “Aku lelah seharian bekerja. Jangan tambah bebanku dengan cemburu buta.” Air mata Aruna jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia hanya ingin kejelasan, tapi justru disalahkan. Rafka menutup laptop dengan kasar, lalu masuk ke kamar tanpa menoleh. Aruna terduduk di sofa, tangisnya pecah. Untuk pertama kalinya, ia merasa suaminya lebih memilih membela orang lain daripada dirinya. --- Keesokan harinya, Aruna memberanikan diri menemui Bu Kartika di rumah besar keluarga Adiguna. Ia berharap mendapat nasihat, atau setidaknya pengertian. Namun yang ia terima justru jauh dari harapan. “Melani? Tentu saja Ibu tahu,” kata Bu Kartika sambil menyesap tehnya tenang. “Dia putri sahabat lama keluarga kami. Cantik, berpendidikkan, dan berasal dari keluarga terpandang. Jauh lebih cocok untuk Rafka daripada... kau.” Aruna menatap mertuanya dengan mata terbelalak. “Bu... jadi Ibu memang menginginkan dia untuk Rafka?” Bu Kartika menatap dingin. “Kalau kau benar-benar mencintai Rafka, kau seharusnya tahu yang terbaik untuknya. Dan yang terbaik bukanlah kau.” Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada tamparan. Aruna pulang dengan hati hancur, langkahnya gontai. Di perjalanan, pikirannya kalut. Apa benar aku hanya penghalang? Apa benar aku tidak pantas di sisinya? --- Malam itu, saat Aruna membuka lemari untuk mengambil jas kerja Rafka, sebuah parfum asing menyengat hidungnya. Harum yang manis, feminin, bukan miliknya. Tangannya bergetar saat menemukan sehelai sapu tangan sutra terselip di saku jas. Warna merah muda, dengan huruf kecil bordir di sudutnya: M. Air mata langsung membasahi pipinya. Ketika Rafka keluar dari kamar mandi, ia mendapati Aruna berdiri dengan sapu tangan itu di tangan. “Apa ini?” tanya Aruna dengan suara bergetar. Rafka menatap sebentar, wajahnya berubah kaku. “Itu... mungkin punya klien. Tidak penting.” “Tidak penting?” Aruna menahan tangis. “Kalau tidak penting, kenapa ada di saku jas kerjamu?” Rafka menghela napas kasar. “Rin, berhentilah berlebihan! Aku bilang itu tidak ada apa-apa. Percayalah padaku.” “Bagaimana aku bisa percaya, jika bukti seperti ini ada di depan mataku?” Suasana tegang memenuhi ruangan. Rafka memijit pelipisnya, frustrasi. “Aku tidak punya waktu untuk ini. Jika kau tidak percaya padaku, terserah.” Ia berbalik, meninggalkan Aruna yang terisak dengan sapu tangan merah muda itu di genggaman. Dan malam itu, untuk kedua kalinya, Aruna merasa suaminya bukan lagi miliknya sepenuhnya. --- Namun yang paling menyakitkan adalah pagi berikutnya. Saat Aruna menyiapkan sarapan, telepon rumah kembali berdering. Dengan ragu, ia mengangkat. “Halo?” Kali ini suara itu terdengar jelas, manis, dan penuh tantangan. “Halo, Bu Aruna. Ini Melani. Bisakah kau sampaikan pada suamimu... aku merindukannya?” Klik. Telepon ditutup. Piring di tangan Aruna terjatuh dan pecah di lantai. Tubuhnya bergetar, air mata menetes tanpa henti. Ia kini tahu, bayangan yang mengusik rumah tangganya bukan sekadar ilusi. Melani nyata, hadir, dan berani. Dan pertanyaannya hanya satu: Apakah Rafka akan memilihnya... atau memilih wanita lain itu? ---Perahu nelayan kecil itu menepi di sebuah teluk tersembunyi. Ombak berdebur pelan, seakan ikut menyembunyikan rahasia malam itu. Aruna bergegas melompat turun, membantu Rafka yang setengah pingsan, tubuhnya basah oleh darah dan keringat dingin.“Pegang aku, Rafka. Sedikit lagi,” ucap Aruna sambil menopang bahunya.Rafka hanya mengerang lirih, matanya redup. Napasnya tersengal, seakan setiap tarikan udara adalah perjuangan panjang.Surya turun terakhir, menatap sekeliling dengan waspada. “Ikuti aku. Tempat ini aman, setidaknya untuk sementara.”Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berbatu. Hutan kecil mengelilingi sisi teluk, dedaunan bergemerisik diterpa angin laut. Di kejauhan, lampu redup sebuah rumah panggung kayu tampak berdiri di antara pepohonan, sederhana tapi kokoh.Aruna merasakan detak jantungnya berpacu, bukan hanya karena kekhawatiran pada Rafka, tapi juga rasa takut akan rahasia yang akan ia temui.---Pintu rumah terbuka begitu mereka tiba. Seorang pria paruh baya mun
Api dari gudang yang terbakar menjilat langit malam, memantulkan cahaya oranye ke permukaan laut yang berombak. Bau besi, garam, dan asap bercampur menjadi satu, membuat udara di pelabuhan terasa mencekik.Aruna memeluk Rafka erat-erat di balik kontainer berkarat. Bahu Rafka terus berdarah, wajahnya pucat, tapi matanya tetap menatap ke arah depan dengan keberanian yang nyaris gila.“Kau harus bertahan, Rafka. Jangan paksakan dirimu,” suara Aruna bergetar, air mata jatuh ke tangannya yang menekan luka pria itu.Rafka tersenyum samar, meski bibirnya berdarah. “Aku… sudah berjanji padamu. Aku tidak akan jatuh di sini.”Di samping mereka, Surya menodongkan pistol, mengintip celah kontainer. “Mereka mengepung kita dari dua sisi. Kalau kita tetap di sini, kita mati.”Aruna menoleh cepat. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”Surya menarik napas dalam. “Kita harus keluar lewat jalur perahu nelayan di sisi timur. Itu satu-satunya jalan.”Aruna terdiam. Jalur timur berarti mereka harus melewati
Hujan sudah mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk indera. Aruna masih berdiri di tepi sungai, tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak kencang ketika suara ledakan kedua menggema dari arah pelabuhan. Langit malam seakan memantulkan api merah yang menyala di kejauhan.“Rafka…” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar.Ia ingin berlari, tapi kakinya terasa kaku. Ketakutan menahan langkahnya, sekaligus rasa bersalah yang semakin menyesakkan dada.---Di gudang pelabuhan, api mulai merambat ke tiang-tiang kayu. Asap hitam pekat membuat pandangan kabur. Rafka tersungkur, darah menetes dari pelipisnya. Anak buah Adrian mengelilinginya, siap memberi pukulan terakhir.Namun sebelum tangan mereka terayun, sebuah suara berat menggema:“Berhenti.”Semua kepala menoleh. Dari balik pintu yang hangus, Surya muncul dengan langkah mantap. Parut di wajahnya semakin jelas diterangi cahaya api. Tangannya menggenggam senjata api tua, tapi sorot matanya jauh lebih berbahaya dari pelurunya.“L
Hujan turun deras malam itu, menyelimuti kota dengan suara ritmis yang seolah menyembunyikan rahasia gelap di balik setiap tetesnya. Aruna berdiri di depan cermin kamarnya, wajahnya pucat, matanya sembab setelah semalaman tak tidur. Kata-kata Surya terus terngiang, menghantam hatinya tanpa henti: Melani… pengkhianat… ayahmu…Ia menggenggam liontin kecil di lehernya—satu-satunya warisan dari ibunya. “Apa benar semua ini, Bu?” bisiknya parau. “Atau aku hanya dipermainkan?”Pintu kamarnya diketuk. Suara lembut namun penuh beban terdengar.“Aruna, boleh aku masuk?”Itu suara Dira.Aruna cepat-cepat menyeka air matanya dan membuka pintu. Dira berdiri dengan jas setengah basah, rambutnya menempel karena hujan. Tatapannya langsung jatuh pada wajah Aruna yang tampak rapuh.“Kau menangis lagi,” ucapnya lirih.Aruna memaksakan senyum tipis. “Aku hanya lelah.”Dira masuk, lalu menutup pintu. Ia menatap Aruna dalam-dalam, seolah berusaha membaca isi hatinya. “Aku tahu sesuatu mengganggumu. Jangan
Aruna menatap pria misterius itu, napasnya tercekat. Bayangan bulan di gudang tua membuat wajahnya tampak semakin suram, seolah keluar dari kisah kelam.“Apa maksudmu?” suara Aruna bergetar.Pria itu mendekat, lalu berhenti tepat di depan cahaya bulan. Wajahnya mulai jelas—parut tipis di pelipis kiri, sorot mata tajam, dan senyum getir yang samar.“Namaku Surya.” Ia menunduk sedikit. “Aku mantan tangan kanan ayahmu.”Aruna membelalak. “Itu… tidak mungkin. Ayah tidak pernah menyebutmu.”Surya tersenyum pahit. “Karena aku bagian yang tidak boleh disebut. Aku tahu rahasia yang bisa menghancurkan semua orang. Termasuk dia.”Aruna mundur selangkah. “Kau bilang tahu siapa yang menghancurkan keluargaku. Katakan sekarang.”Surya menatapnya tajam. “Itu bukan Rafka. Bukan pula hanya Adrian. Ada seseorang lain yang jauh lebih dekat denganmu.”Aruna menahan napas. “Siapa?”Suara Surya turun, nyaris seperti bisikan. “Melani.”Aruna terpaku, dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar.---Di temp
Matahari pagi menembus tirai kamar, namun Aruna masih duduk di meja belajarnya, menatap map hitam yang belum ia buka. Matanya sembab, tapi ada ketegasan baru yang jarang muncul sebelumnya.Ia menarik napas panjang, lalu membuka map itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen: laporan keuangan perusahaan ayahnya, kontrak penjualan saham, dan tanda tangan yang mencurigakan.Matanya membelalak ketika melihat nama yang tertera di salah satu dokumen: Rafka Adinata.“Tidak mungkin…” bisiknya, bibirnya bergetar.Namun ada sesuatu yang aneh. Tanda tangan itu memang mirip Rafka, tapi ada detail kecil yang tidak cocok. Garis akhir tanda tangan tampak kaku, tidak natural.Aruna meraba kertas itu. “Ini bisa saja dipalsukan…”---Sementara itu, Rafka duduk di kantor pengacaranya. Wajahnya tegang, matanya menatap layar komputer yang menampilkan data transaksi lama.“Dokumen-dokumen itu beredar di luar,” kata pengacaranya. “Banyak yang percaya kau terlibat langsung dalam keban