Home / Romansa / Pernikahan tanpa Bahagia / Janji di Atas Pelaminan

Share

Pernikahan tanpa Bahagia
Pernikahan tanpa Bahagia
Author: Diko_13

Janji di Atas Pelaminan

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-09-18 14:54:39

Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ballroom hotel bintang lima itu. Lampu kristal berkilauan di atas kepala, bunga mawar putih menghiasi setiap sudut ruangan, dan aroma wangi segar melayang di udara. Semua mata tertuju pada pasangan pengantin yang berdiri di atas pelaminan: Aruna Prameswari dan Rafka Adiguna.

Aruna tersenyum, gaun putih yang membalut tubuhnya berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Tangannya menggenggam erat jemari Rafka, lelaki yang selama dua tahun terakhir mengisi hatinya dengan cinta dan perhatian. Matanya berkaca-kaca saat mendengar sumpah sakral yang baru saja diucapkan suaminya.

“Aku berjanji akan mencintaimu, menjagamu, dan setia padamu, sampai akhir hidupku,” kata Rafka dengan suara mantap.

Kalimat itu membuat dada Aruna bergetar. Ia percaya pada cinta. Ia percaya pada Rafka. Lelaki itu adalah rumah yang ia pilih, pelindung yang ia butuhkan, sekaligus masa depan yang selama ini ia impikan.

Namun, di balik keramaian pesta dan riuhnya doa restu, ada sepasang mata yang menatap dingin. Bu Kartika, ibu kandung Rafka, duduk di kursi utama barisan depan dengan ekspresi kaku. Tak ada senyum. Tak ada air mata haru. Hanya tatapan penuh perhitungan yang membuat Aruna merasa kecil di hari besarnya sendiri.

Ketika acara resepsi berakhir, para tamu mulai berangsur pulang. Aruna dan Rafka menyalami keluarga terdekat. Saat tiba giliran Bu Kartika, Aruna menunduk sopan, menyodorkan tangan.

“Terima kasih sudah hadir, Bu,” ucap Aruna lembut.

Bu Kartika menyambut tangannya sekilas, namun bibirnya melontarkan kalimat yang membuat hati Aruna tercekat.

“Semoga kau bisa membuktikan dirimu pantas menjadi istri Rafka. Jangan sampai anakku menyesal memilihmu.”

Aruna terdiam. Senyum di wajahnya nyaris pudar, tapi ia buru-buru menguatkan diri. Ia tahu, sejak awal, Bu Kartika tidak pernah menyukainya. Bagi mertua itu, Aruna hanyalah gadis sederhana dari keluarga biasa, tidak sebanding dengan status dan kekayaan keluarga Adiguna.

Malam pertama mereka sebagai pasangan sah seharusnya dipenuhi kebahagiaan, tetapi kalimat itu terus terngiang di kepala Aruna. Saat mereka berdua akhirnya tiba di apartemen mewah yang telah disiapkan Rafka, Aruna duduk di tepi ranjang dengan pikiran kacau.

Rafka, yang sibuk melepas dasinya, menyadari kegelisahan istrinya.

“Kenapa, Rin? Kau terlihat murung.”

Aruna menggeleng. “Tidak apa-apa.”

Rafka mendekat, mengangkat dagu Aruna lembut. “Jangan berbohong padaku di malam pertama kita. Katakan.”

Aruna menggigit bibirnya. “Aku... hanya merasa Ibu tidak menyukaiku.”

Rafka terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Itu benar. Ibu memang sulit menerima orang baru. Tapi percayalah, aku menikah denganmu karena aku yang memilih, bukan karena Ibu. Kau istriku, dan itu cukup.”

Aruna menatap mata suaminya, berusaha meyakini kata-kata itu. Namun di sudut hatinya, sebuah ketakutan kecil mulai tumbuh. Bagaimana jika suatu hari nanti, tatapan dingin Bu Kartika berubah menjadi sesuatu yang lebih buruk?

Hari-hari berikutnya, kehidupan pernikahan mereka dimulai. Awalnya, Aruna mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru, membiasakan diri dengan status sebagai istri seorang pengusaha muda yang sibuk. Ia menyiapkan sarapan, merapikan rumah, dan menanti kepulangan suaminya dengan penuh cinta.

Namun, Bu Kartika tidak pernah jauh. Hampir setiap hari, wanita itu menelepon atau datang langsung ke apartemen mereka. Awalnya untuk alasan sederhana: menanyakan kabar, memastikan Rafka makan dengan benar. Lama-lama, kunjungannya menjadi bentuk intervensi.

“Aruna, kau tidak bisa menyajikan sup seperti ini. Rafka alergi lada, apa kau tidak tahu?” tegur Bu Kartika suatu pagi, wajahnya masam saat melihat meja makan.

Aruna menunduk, wajahnya memerah. “Maaf, Bu... saya tidak tahu.”

Rafka baru saja turun dari kamar, mendengar ucapan itu. “Ibu, sudah cukup. Jangan terlalu keras pada Aruna.”

Namun Bu Kartika menatap tajam pada putranya. “Aku hanya tidak ingin kau sakit karena kecerobohan istrimu.”

Ucapan itu membuat Aruna merasa hancur. Ia berusaha keras menjadi isteri yang baik, tapi seolah apa pun yang ia lakukan selalu salah di mata mertua.

Malamnya, Aruna menangis diam-diam di kamar mandi. Ia menatap bayangan dirinya di cermin—mata sembab, wajah pucat, dan hati yang rapuh. “Aku tidak cukup baik... apa benar aku pantas untuknya?” gumamnya.

Ketika keluar, ia mendapati Rafka sudah duduk di ranjang, menatapnya penuh iba. Lelaki itu meraih tangannya, menggenggam erat.

“Aruna, jangan dengarkan Ibu. Kau cukup. Kau lebih dari cukup untukku.”

Aruna ingin percaya. Ia benar-benar ingin. Tapi setiap hari, tatapan dingin Bu Kartika dan kata-kata pedasnya seperti racun yang perlahan menggerogoti keyakinannya.

Beberapa minggu berlalu. Pernikahan mereka berjalan, namun Aruna mulai merasakan jarak yang perlahan tercipta. Rafka semakin sibuk dengan pekerjaannya. Pulangnya larut malam, terkadang tidak memberi kabar.

Suatu malam, Aruna menunggu di ruang tamu hingga jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Saat pintu terbuka, ia segera berdiri.

“Rafka, kau baru pulang. Kenapa tidak mengangkat teleponku?” tanyanya cemas.

Rafka melepas jasnya, wajah lelah. “Maaf, Rin. Aku sibuk rapat dengan klien.”

Aruna menelan kekecewaan. Ia hanya mengangguk, mencoba mengerti.

Namun, ketika Rafka masuk ke kamar mandi, ponselnya yang tertinggal di sofa bergetar. Sebuah pesan muncul di layar.

[Melani]: Senang sekali bertemu denganmu malam ini. Aku tak sabar menunggu kita bertemu lagi.

Darah Aruna serasa berhenti mengalir. Jemarinya bergetar saat menatap layar itu. Siapa Melani? Mengapa mengirim pesan seperti itu di tengah malam?

Jantungnya berdegup kencang, dadanya sesak. Malam yang seharusnya hanya disi rasa lelah berubah menjadi awal dari luka yang jauh lebih dalam.

Aruna memejamkan mata, air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia baru menyadari satu hal: janji setia yang diucapkan Rafka di pelaminan, mungkin tidak sekuat yang ia percayai selama ini.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak menikah, Aruna merasa benar-benar sendirian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Rumah yang Menyimpan Rahasia

    Pagi itu, langit tampak berwarna kelabu muda — tidak sepenuhnya suram, tapi cukup membuat udara terasa berat.Di Rumah Cahaya, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara air yang menetes dari talang terdengar seperti detak waktu yang berjalan dengan enggan.Laras baru saja membuka jendela ruang kerja ketika seseorang mengetuk pintu depan.Suara itu pelan tapi tegas — tiga ketukan, lalu diam.Ia mengira itu mungkin salah satu tamu baru, atau pengantar paket dari kota. Tapi ketika ia membuka pintu, dunia seolah berhenti sejenak.Di ambang pintu berdiri seorang perempuan dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel krem, wajahnya letih tapi matanya tajam.“Maaf,” katanya, suaranya tenang tapi bergetar di ujung. “Apakah ini Rumah Cahaya?”“Iya,” jawab Laras lembut. “Apa saya bisa membantu?”Perempuan itu tersenyum tipis. “Namaku Ayla. Aku datang… mencari seseorang.”Laras mengerutkan dahi. “Seseorang?”Ayla mengangguk. “Reza.”---Nama itu menggantung di udara, seperti angin dingi

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Ketika Langit Tak Lagi Abu-abu

    Pagi itu, Rumah Cahaya diselimuti kabut tipis.Aroma tanah basah dan daun yang baru disapu hujan masih tercium di udara. Burung-burung gereja berkicau di dahan mangga tua, dan dari dapur, terdengar bunyi lembut panci disentuh sendok kayu.Reza duduk di meja makan, menatap jendela besar yang terbuka sebagian.Cahaya pagi menyelinap pelan, menembus tirai putih, memantul di wajahnya yang tenang.Di depannya, secangkir kopi hangat mengepulkan aroma yang menenangkan — pahit dan manis, seperti hidup yang sedang berusaha ia pahami kembali.Laras keluar dari dapur membawa piring kecil berisi roti panggang dan potongan buah. Rambutnya dibiarkan terurai, masih sedikit basah setelah mandi. Di tangannya, ada sebuah amplop putih yang tampak usang.“Aku menemukan ini di antara buku catatan ibuku,” katanya pelan sambil duduk.Reza menatapnya. “Apa itu?”“Surat. Tapi tidak pernah dikirim.”Laras tersenyum tipis, seolah tak yakin apakah ia ingin membacanya atau tidak.---Amplop itu bertuliskan tinta

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Surat yang Tak Pernah Dikirim

    Malam itu, angin berembus dari laut membawa aroma asin yang lembut.Langit mendung, tapi di sela-sela awan, bulan berusaha menampakkan dirinya — redup, namun setia.Reza duduk di beranda Rumah Cahaya, kamera di pangkuannya, segelas kopi dingin di meja, dan setumpuk kertas tua di sampingnya.Ia baru saja membersihkan gudang kecil di belakang rumah sore tadi — tempat mereka menyimpan barang-barang yang “belum sanggup dibuang”.Di antara tumpukan bingkai kayu, potongan tripod rusak, dan album foto yang sudah menguning, ia menemukan sebuah kotak besi kecil yang tertutup debu. Di dalamnya ada sepucuk surat — kertasnya sudah pudar, lipatannya rapuh, dan di bagian atasnya tertulis:> “Untuk Ayah (tapi mungkin tidak akan pernah kukirim).”Reza menatap tulisan tangannya sendiri, nyaris tak percaya bahwa ia pernah menulis itu — mungkin dua puluh tahun lalu, ketika usia dan amarahnya sama-sama muda.Ia membuka perlahan, takut kertas itu hancur di tangannya.---> Ayah,Aku menulis ini bukan kare

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Surat dari Langit yang Tak Pernah Sampai

    Hari itu, hujan turun pelan, seperti rintik yang tak ingin mengganggu siapa pun.Laras duduk di meja kayu dekat jendela, di mana tetesan air menelusuri kaca seperti urat halus di tubuh bumi. Di hadapannya, secangkir teh melati mengepulkan aroma tenang.Rumah Cahaya masih lengang. Reza sedang keluar untuk memotret di desa sebelah, dan Surya tertidur di ruang baca.Hujan membuat waktu berjalan lebih lambat — cukup lambat untuk membuat Laras menyadari suara detak jam dinding yang biasanya ia abaikan.Lalu sesuatu di atas meja menarik perhatiannya:sebuah amplop berwarna krem, tanpa perangko, tanpa alamat, hanya satu tulisan kecil di depan:> “Untuk Laras.”Tulisan tangan itu lembut, nyaris gemetar, seolah ditulis dengan ragu atau dengan rasa yang terlalu dalam untuk dikatakan.Laras memandang amplop itu lama, jantungnya berdegup aneh.Ia membukanya perlahan.Di dalamnya ada selembar kertas berlipat dua, dan aroma samar lavender yang sudah pudar.---> “Laras,Mungkin kau tak mengenal nam

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Cahaya yang Tertinggal di Mata Reza

    Pagi itu laut tampak berbeda.Tidak ada ombak besar, tidak ada burung camar yang berkejaran di langit. Hanya air yang mengalun pelan, seperti napas panjang setelah tangis yang lama.Reza berdiri di depan jendela studionya, memandangi garis horizon yang tak pernah berubah, namun selalu membawa sesuatu yang baru untuk dirasakan.Mira sudah pergi dua hari yang lalu, meninggalkan secangkir teh yang masih disimpan Laras di rak kayu — seolah kenangan bisa diawetkan seperti aroma daun mint yang menggantung di udara.Ia memutar kamera di tangannya.Lensa itu sudah berdebu.Selama beberapa bulan terakhir, Reza tak lagi memotret manusia. Ia lebih memilih benda-benda sunyi: piring yang pecah di dapur, kain basah di tali jemuran, kursi yang tak pernah digunakan.Baginya, setiap benda memiliki suara yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata.Namun pagi itu, ada dorongan aneh yang membuatnya ingin keluar — bukan untuk mencari gambar, tapi untuk mendengar kembali diam yang lain.---Ia menuruni t

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Tamu Pertama Rumah Cahaya

    Angin laut membawa aroma asin pagi itu, menyusup pelan melalui jendela kayu yang belum sempat ditutup sempurna.Laras baru saja selesai menyeduh teh ketika suara langkah kaki terdengar dari arah gerbang.Langkah yang ragu, terhenti dua kali sebelum akhirnya benar-benar mendekat.Ia menoleh, dan di antara kabut tipis yang menggantung di jalan setapak, tampak sosok perempuan muda — mengenakan mantel krem yang basah di ujungnya, dengan koper kecil di tangan kanan dan wajah yang tampak letih, seperti seseorang yang sudah berjalan terlalu jauh tanpa tahu ke mana sebenarnya akan tiba.“Selamat pagi,” sapa Laras, lembut.Perempuan itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Apakah ini… Rumah Cahaya?”“Ya. Silakan masuk.”Perempuan itu tersenyum tipis, tapi matanya tetap memendam sesuatu yang tak bisa disembunyikan — semacam bayangan yang menolak pergi meski pagi sudah datang.Namanya, seperti yang kemudian ia sebutkan di dapur kecil mereka, adalah Mira.---Mira datang tanpa reservasi, tanpa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status