Pagi itu, matahari bersinar terang di balik tirai tipis apartemen. Namun bagi Aruna, sinarnya terasa redup. Matanya sembab setelah semalaman menangis. Sapu tangan merah muda itu masih tergeletak di meja, seolah menjadi saksi bisu bahwa rumah tangganya sedang terancam.
Ia menatap benda itu lama, sebelum akhirnya menggenggam erat. Aku harus tahu kebenarannya. Aku tidak bisa terus dibutakan. --- Hari itu, Rafka berangkat lebih awal dari biasanya. “Ada meeting penting,” katanya singkat, sebelum pergi terburu-buru. Aruna hanya mengangguk, menahan diri agar tidak bertanya lebih banyak. Namun ketika pintu tertutup, sebuah keberanian muncul dalam dirinya. Ia mengambil ponsel, menelusuri daftar kontak Rafka yang pernah ia lihat sekilas. Nama itu ada di sana: Melani. Dengan jantung berdegup kencang, Aruna menyimpan nomor itu. Ia tidak berniat menelepon. Tidak. Ia ingin melihat sendiri siapa wanita itu. --- Siang harinya, Aruna memberanikan diri mendatangi kantor tempat Rafka bekerja. Gedung tinggi berlapis kaca berdiri angkuh di pusat kota. Suasananya megah, dengan orang-orang bersetelan rapi lalu lalang. Aruna melangkah masuk dengan langkah ragu, gaun sederhananya terasa kontras dengan gemerlap para karyawan berpenampilan modis. Ia menuju meja resepsionis. “Permisi, saya mencari Melani. Dia bagian dari tim marketing, bukan?” Resepsionis menatapnya sebentar, lalu tersenyum. “Oh, Bu Melani ada di lantai 12. Apakah Anda sudah punya janji?” Aruna menggenggam tasnya erat. “Belum. Tapi tolong sampaikan, Aruna ingin menemuinya.” --- Lift berhenti di lantai 12. Aruna melangkah keluar, disambut pemandangan kantor yang modern. Karyawan-karyawan sibuk mengetik, beberapa menoleh sebentar ke arah wanita sederhana yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Dan di sana, duduk di meja besar dekat jendela, seorang wanita berdiri saat mendengar namanya dipanggil. Melani. Cantik. Itu kesan pertama Aruna. Rambut hitam panjang tergerai sempuerna, wajahnya tegas namun menawan, bibir merahnya melengkung membentuk senyum yang terasa menusuk. Busana kantornya elegan, penuh percaya diri. “Oh... jadi ini Aruna,” ucap Melani begitu Aruna mendekat. Nada suaranya terdengar sopan, namun matanya menyimpan sesuatu yang lain. Aruna berusaha tenang. “Ya. Aku ingin berbicara sebentar.” Melani menoleh ke rekan-rekannya. “Aku izin sebentar.” Ia lalu melangkah anggun ke ruang kecil di samping kantor, memberi isyarat agar Aruna mengikutinya. --- Ruang itu sepi, hanya ada meja bundar dan dua kursi. Begitu pintu tertutup, Melani bersandar santai, menatap Aruna dari atas ke bawah. “Jadi, istri sah itu akhirnya muncul,” katanya dengan senyum tipis. Aruna menarik napas panjang. “Aku ingin tahu... apa sebenarnya hubunganmu dengan Rafka?” Melani terkekeh kecil. “Pertanyaan yang menarik. Tapi bukankah kau seharusnya sudah tahu jawabannya?” “Jawab saja.” Suara Aruna bergetar, tapi matanya tajam. Melani mendekat, menatap langsung ke wajah Aruna. “Rafka pria luar biasa. Tampan, cerdas, sukses. Dan dia... terlalu berharga untuk disia-siakan oleh wanita yang tidak bisa mengimbanginya.” Aruna terdiam, tangannya mengepal di pangkuan. “Sejak pertama kali aku bekerja dengannya,” lanjut Melani, “aku tahu dia berbeda. Kau tahu, bukan? Seorang pria butuh perempuan yang bisa mendukung kariernya, berdiri sejajar dengannya. Kau... hanya istri rumah tangga biasa. Apa yang bisa kau berikan padanya selain air mata?” Air mata Aruna sudah menggenang, tapi ia menahan agar tidak jatuh. “Aku memberinya cinta. Itu cukup.” Melani tersenyum sinis. “Cinta? Oh, sayang. Cinta tidak membayar tagihan. Cinta tidak mengangkat reputasi. Cinta tidak menandatangani kontrak bisnis miliaran rupiah.” Aruna terhuyung oleh kata-kata itu. Tapi sebelum ia bisa membalas, pintu ruang kecil itu terbuka mendadak. Rafka berdiri di ambang pintu. Wajahnya terkejut saat melihat dua wanita itu dalam satu ruangan. “Aruna? Apa yang kau lakukan di sini?” Aruna bangkit, tubuhnya gemetar. “Aku ingin jawaban, Rafka. Siapa sebenarnya Melani bagimu?” Suasana hening. Melani melipat tangan, tersenyum puas. “Ya, Rafka. Katakan padanya. Siapa aku bagimu?” Rafka memejamkan mata, menghela napas berat. “Melani hanya rekan kerja. Tidak lebih.” Aruna menatapnya lekat-lekat. “Kalau hanya rekan kerja, mengapa ada sapu tangannya di saku jasmu? Mengapa dia berani menelepon ke rumah, mengatakan dia merindukanmu?” Wajah Rafka menegang. “Aruna, sudah cukup. Kau mempermalukan diriku di tempat kerja.” Aruna terbelalak. “Mempermalukanmu? Aku hanya ingin kebenaran!” “Cukup!” suara Rafka meninggi, membuat beberapa orang di luar ruangan menoleh penasaran. Aruna terdiam, hatinya remuk. Di matanya, Rafka tidak lagi menjadi pria yang dulu berjanji akan menjaganya. Melani tersenyum tipis, lalu melangkah mendekat pada Rafka. “Aku keluar dulu. Kalian berdua butuh waktu.” Ia melangkah anggun meninggalkan ruangan, namun sebelum menutup pintu, ia menoleh pada Aruna. “Kau seharusnya belajar melepaskan, sebelum terlambat.” Pintu menutup. Aruna berdiri kaku, air mata jatuh membasahi pipinya. “Rafka... katakan padaku, aku ini siapa untukmu sekarang?” Rafka menunduk, menghindari tatapan isterinya. “Aruna, aku lelah. Aku hanya ingin ketenangan. Jangan membuat segalanya semakin sulit.” Kata-kata itu menghantam Aruna lebih keras daripada pukulan. Dengan langkah gontai, ia keluar dari ruangan, melewati tatapan karyawan yang berbisik-bisik. Harga dirinya hancur, cintanya terkoyak. Dan saat pintu lift menutup, Aruna tahu satu hal: rumah tangganya sudah berada di tepi jurang. Namun ia belum tahu, jurang itu akan segera runtuh lebih cepat daripada yang ia bayangkan. ---Perahu nelayan kecil itu menepi di sebuah teluk tersembunyi. Ombak berdebur pelan, seakan ikut menyembunyikan rahasia malam itu. Aruna bergegas melompat turun, membantu Rafka yang setengah pingsan, tubuhnya basah oleh darah dan keringat dingin.“Pegang aku, Rafka. Sedikit lagi,” ucap Aruna sambil menopang bahunya.Rafka hanya mengerang lirih, matanya redup. Napasnya tersengal, seakan setiap tarikan udara adalah perjuangan panjang.Surya turun terakhir, menatap sekeliling dengan waspada. “Ikuti aku. Tempat ini aman, setidaknya untuk sementara.”Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berbatu. Hutan kecil mengelilingi sisi teluk, dedaunan bergemerisik diterpa angin laut. Di kejauhan, lampu redup sebuah rumah panggung kayu tampak berdiri di antara pepohonan, sederhana tapi kokoh.Aruna merasakan detak jantungnya berpacu, bukan hanya karena kekhawatiran pada Rafka, tapi juga rasa takut akan rahasia yang akan ia temui.---Pintu rumah terbuka begitu mereka tiba. Seorang pria paruh baya mun
Api dari gudang yang terbakar menjilat langit malam, memantulkan cahaya oranye ke permukaan laut yang berombak. Bau besi, garam, dan asap bercampur menjadi satu, membuat udara di pelabuhan terasa mencekik.Aruna memeluk Rafka erat-erat di balik kontainer berkarat. Bahu Rafka terus berdarah, wajahnya pucat, tapi matanya tetap menatap ke arah depan dengan keberanian yang nyaris gila.“Kau harus bertahan, Rafka. Jangan paksakan dirimu,” suara Aruna bergetar, air mata jatuh ke tangannya yang menekan luka pria itu.Rafka tersenyum samar, meski bibirnya berdarah. “Aku… sudah berjanji padamu. Aku tidak akan jatuh di sini.”Di samping mereka, Surya menodongkan pistol, mengintip celah kontainer. “Mereka mengepung kita dari dua sisi. Kalau kita tetap di sini, kita mati.”Aruna menoleh cepat. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”Surya menarik napas dalam. “Kita harus keluar lewat jalur perahu nelayan di sisi timur. Itu satu-satunya jalan.”Aruna terdiam. Jalur timur berarti mereka harus melewati
Hujan sudah mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk indera. Aruna masih berdiri di tepi sungai, tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak kencang ketika suara ledakan kedua menggema dari arah pelabuhan. Langit malam seakan memantulkan api merah yang menyala di kejauhan.“Rafka…” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar.Ia ingin berlari, tapi kakinya terasa kaku. Ketakutan menahan langkahnya, sekaligus rasa bersalah yang semakin menyesakkan dada.---Di gudang pelabuhan, api mulai merambat ke tiang-tiang kayu. Asap hitam pekat membuat pandangan kabur. Rafka tersungkur, darah menetes dari pelipisnya. Anak buah Adrian mengelilinginya, siap memberi pukulan terakhir.Namun sebelum tangan mereka terayun, sebuah suara berat menggema:“Berhenti.”Semua kepala menoleh. Dari balik pintu yang hangus, Surya muncul dengan langkah mantap. Parut di wajahnya semakin jelas diterangi cahaya api. Tangannya menggenggam senjata api tua, tapi sorot matanya jauh lebih berbahaya dari pelurunya.“L
Hujan turun deras malam itu, menyelimuti kota dengan suara ritmis yang seolah menyembunyikan rahasia gelap di balik setiap tetesnya. Aruna berdiri di depan cermin kamarnya, wajahnya pucat, matanya sembab setelah semalaman tak tidur. Kata-kata Surya terus terngiang, menghantam hatinya tanpa henti: Melani… pengkhianat… ayahmu…Ia menggenggam liontin kecil di lehernya—satu-satunya warisan dari ibunya. “Apa benar semua ini, Bu?” bisiknya parau. “Atau aku hanya dipermainkan?”Pintu kamarnya diketuk. Suara lembut namun penuh beban terdengar.“Aruna, boleh aku masuk?”Itu suara Dira.Aruna cepat-cepat menyeka air matanya dan membuka pintu. Dira berdiri dengan jas setengah basah, rambutnya menempel karena hujan. Tatapannya langsung jatuh pada wajah Aruna yang tampak rapuh.“Kau menangis lagi,” ucapnya lirih.Aruna memaksakan senyum tipis. “Aku hanya lelah.”Dira masuk, lalu menutup pintu. Ia menatap Aruna dalam-dalam, seolah berusaha membaca isi hatinya. “Aku tahu sesuatu mengganggumu. Jangan
Aruna menatap pria misterius itu, napasnya tercekat. Bayangan bulan di gudang tua membuat wajahnya tampak semakin suram, seolah keluar dari kisah kelam.“Apa maksudmu?” suara Aruna bergetar.Pria itu mendekat, lalu berhenti tepat di depan cahaya bulan. Wajahnya mulai jelas—parut tipis di pelipis kiri, sorot mata tajam, dan senyum getir yang samar.“Namaku Surya.” Ia menunduk sedikit. “Aku mantan tangan kanan ayahmu.”Aruna membelalak. “Itu… tidak mungkin. Ayah tidak pernah menyebutmu.”Surya tersenyum pahit. “Karena aku bagian yang tidak boleh disebut. Aku tahu rahasia yang bisa menghancurkan semua orang. Termasuk dia.”Aruna mundur selangkah. “Kau bilang tahu siapa yang menghancurkan keluargaku. Katakan sekarang.”Surya menatapnya tajam. “Itu bukan Rafka. Bukan pula hanya Adrian. Ada seseorang lain yang jauh lebih dekat denganmu.”Aruna menahan napas. “Siapa?”Suara Surya turun, nyaris seperti bisikan. “Melani.”Aruna terpaku, dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar.---Di temp
Matahari pagi menembus tirai kamar, namun Aruna masih duduk di meja belajarnya, menatap map hitam yang belum ia buka. Matanya sembab, tapi ada ketegasan baru yang jarang muncul sebelumnya.Ia menarik napas panjang, lalu membuka map itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen: laporan keuangan perusahaan ayahnya, kontrak penjualan saham, dan tanda tangan yang mencurigakan.Matanya membelalak ketika melihat nama yang tertera di salah satu dokumen: Rafka Adinata.“Tidak mungkin…” bisiknya, bibirnya bergetar.Namun ada sesuatu yang aneh. Tanda tangan itu memang mirip Rafka, tapi ada detail kecil yang tidak cocok. Garis akhir tanda tangan tampak kaku, tidak natural.Aruna meraba kertas itu. “Ini bisa saja dipalsukan…”---Sementara itu, Rafka duduk di kantor pengacaranya. Wajahnya tegang, matanya menatap layar komputer yang menampilkan data transaksi lama.“Dokumen-dokumen itu beredar di luar,” kata pengacaranya. “Banyak yang percaya kau terlibat langsung dalam keban