Home / Romansa / Pernikahan tanpa Bahagia / Pertemuan yang Tak Terhindarkan

Share

Pertemuan yang Tak Terhindarkan

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-09-18 15:01:24

Pagi itu, matahari bersinar terang di balik tirai tipis apartemen. Namun bagi Aruna, sinarnya terasa redup. Matanya sembab setelah semalaman menangis. Sapu tangan merah muda itu masih tergeletak di meja, seolah menjadi saksi bisu bahwa rumah tangganya sedang terancam.

Ia menatap benda itu lama, sebelum akhirnya menggenggam erat. Aku harus tahu kebenarannya. Aku tidak bisa terus dibutakan.

---

Hari itu, Rafka berangkat lebih awal dari biasanya. “Ada meeting penting,” katanya singkat, sebelum pergi terburu-buru. Aruna hanya mengangguk, menahan diri agar tidak bertanya lebih banyak.

Namun ketika pintu tertutup, sebuah keberanian muncul dalam dirinya. Ia mengambil ponsel, menelusuri daftar kontak Rafka yang pernah ia lihat sekilas. Nama itu ada di sana: Melani.

Dengan jantung berdegup kencang, Aruna menyimpan nomor itu. Ia tidak berniat menelepon. Tidak. Ia ingin melihat sendiri siapa wanita itu.

---

Siang harinya, Aruna memberanikan diri mendatangi kantor tempat Rafka bekerja. Gedung tinggi berlapis kaca berdiri angkuh di pusat kota. Suasananya megah, dengan orang-orang bersetelan rapi lalu lalang. Aruna melangkah masuk dengan langkah ragu, gaun sederhananya terasa kontras dengan gemerlap para karyawan berpenampilan modis.

Ia menuju meja resepsionis. “Permisi, saya mencari Melani. Dia bagian dari tim marketing, bukan?”

Resepsionis menatapnya sebentar, lalu tersenyum. “Oh, Bu Melani ada di lantai 12. Apakah Anda sudah punya janji?”

Aruna menggenggam tasnya erat. “Belum. Tapi tolong sampaikan, Aruna ingin menemuinya.”

---

Lift berhenti di lantai 12. Aruna melangkah keluar, disambut pemandangan kantor yang modern. Karyawan-karyawan sibuk mengetik, beberapa menoleh sebentar ke arah wanita sederhana yang tiba-tiba muncul di antara mereka.

Dan di sana, duduk di meja besar dekat jendela, seorang wanita berdiri saat mendengar namanya dipanggil.

Melani.

Cantik. Itu kesan pertama Aruna. Rambut hitam panjang tergerai sempuerna, wajahnya tegas namun menawan, bibir merahnya melengkung membentuk senyum yang terasa menusuk. Busana kantornya elegan, penuh percaya diri.

“Oh... jadi ini Aruna,” ucap Melani begitu Aruna mendekat. Nada suaranya terdengar sopan, namun matanya menyimpan sesuatu yang lain.

Aruna berusaha tenang. “Ya. Aku ingin berbicara sebentar.”

Melani menoleh ke rekan-rekannya. “Aku izin sebentar.” Ia lalu melangkah anggun ke ruang kecil di samping kantor, memberi isyarat agar Aruna mengikutinya.

---

Ruang itu sepi, hanya ada meja bundar dan dua kursi. Begitu pintu tertutup, Melani bersandar santai, menatap Aruna dari atas ke bawah.

“Jadi, istri sah itu akhirnya muncul,” katanya dengan senyum tipis.

Aruna menarik napas panjang. “Aku ingin tahu... apa sebenarnya hubunganmu dengan Rafka?”

Melani terkekeh kecil. “Pertanyaan yang menarik. Tapi bukankah kau seharusnya sudah tahu jawabannya?”

“Jawab saja.” Suara Aruna bergetar, tapi matanya tajam.

Melani mendekat, menatap langsung ke wajah Aruna. “Rafka pria luar biasa. Tampan, cerdas, sukses. Dan dia... terlalu berharga untuk disia-siakan oleh wanita yang tidak bisa mengimbanginya.”

Aruna terdiam, tangannya mengepal di pangkuan.

“Sejak pertama kali aku bekerja dengannya,” lanjut Melani, “aku tahu dia berbeda. Kau tahu, bukan? Seorang pria butuh perempuan yang bisa mendukung kariernya, berdiri sejajar dengannya. Kau... hanya istri rumah tangga biasa. Apa yang bisa kau berikan padanya selain air mata?”

Air mata Aruna sudah menggenang, tapi ia menahan agar tidak jatuh. “Aku memberinya cinta. Itu cukup.”

Melani tersenyum sinis. “Cinta? Oh, sayang. Cinta tidak membayar tagihan. Cinta tidak mengangkat reputasi. Cinta tidak menandatangani kontrak bisnis miliaran rupiah.”

Aruna terhuyung oleh kata-kata itu. Tapi sebelum ia bisa membalas, pintu ruang kecil itu terbuka mendadak.

Rafka berdiri di ambang pintu. Wajahnya terkejut saat melihat dua wanita itu dalam satu ruangan.

“Aruna? Apa yang kau lakukan di sini?”

Aruna bangkit, tubuhnya gemetar. “Aku ingin jawaban, Rafka. Siapa sebenarnya Melani bagimu?”

Suasana hening. Melani melipat tangan, tersenyum puas. “Ya, Rafka. Katakan padanya. Siapa aku bagimu?”

Rafka memejamkan mata, menghela napas berat. “Melani hanya rekan kerja. Tidak lebih.”

Aruna menatapnya lekat-lekat. “Kalau hanya rekan kerja, mengapa ada sapu tangannya di saku jasmu? Mengapa dia berani menelepon ke rumah, mengatakan dia merindukanmu?”

Wajah Rafka menegang. “Aruna, sudah cukup. Kau mempermalukan diriku di tempat kerja.”

Aruna terbelalak. “Mempermalukanmu? Aku hanya ingin kebenaran!”

“Cukup!” suara Rafka meninggi, membuat beberapa orang di luar ruangan menoleh penasaran.

Aruna terdiam, hatinya remuk. Di matanya, Rafka tidak lagi menjadi pria yang dulu berjanji akan menjaganya.

Melani tersenyum tipis, lalu melangkah mendekat pada Rafka. “Aku keluar dulu. Kalian berdua butuh waktu.” Ia melangkah anggun meninggalkan ruangan, namun sebelum menutup pintu, ia menoleh pada Aruna. “Kau seharusnya belajar melepaskan, sebelum terlambat.”

Pintu menutup.

Aruna berdiri kaku, air mata jatuh membasahi pipinya. “Rafka... katakan padaku, aku ini siapa untukmu sekarang?”

Rafka menunduk, menghindari tatapan isterinya. “Aruna, aku lelah. Aku hanya ingin ketenangan. Jangan membuat segalanya semakin sulit.”

Kata-kata itu menghantam Aruna lebih keras daripada pukulan.

Dengan langkah gontai, ia keluar dari ruangan, melewati tatapan karyawan yang berbisik-bisik. Harga dirinya hancur, cintanya terkoyak.

Dan saat pintu lift menutup, Aruna tahu satu hal: rumah tangganya sudah berada di tepi jurang.

Namun ia belum tahu, jurang itu akan segera runtuh lebih cepat daripada yang ia bayangkan.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Rumah yang Menyimpan Rahasia

    Pagi itu, langit tampak berwarna kelabu muda — tidak sepenuhnya suram, tapi cukup membuat udara terasa berat.Di Rumah Cahaya, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara air yang menetes dari talang terdengar seperti detak waktu yang berjalan dengan enggan.Laras baru saja membuka jendela ruang kerja ketika seseorang mengetuk pintu depan.Suara itu pelan tapi tegas — tiga ketukan, lalu diam.Ia mengira itu mungkin salah satu tamu baru, atau pengantar paket dari kota. Tapi ketika ia membuka pintu, dunia seolah berhenti sejenak.Di ambang pintu berdiri seorang perempuan dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel krem, wajahnya letih tapi matanya tajam.“Maaf,” katanya, suaranya tenang tapi bergetar di ujung. “Apakah ini Rumah Cahaya?”“Iya,” jawab Laras lembut. “Apa saya bisa membantu?”Perempuan itu tersenyum tipis. “Namaku Ayla. Aku datang… mencari seseorang.”Laras mengerutkan dahi. “Seseorang?”Ayla mengangguk. “Reza.”---Nama itu menggantung di udara, seperti angin dingi

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Ketika Langit Tak Lagi Abu-abu

    Pagi itu, Rumah Cahaya diselimuti kabut tipis.Aroma tanah basah dan daun yang baru disapu hujan masih tercium di udara. Burung-burung gereja berkicau di dahan mangga tua, dan dari dapur, terdengar bunyi lembut panci disentuh sendok kayu.Reza duduk di meja makan, menatap jendela besar yang terbuka sebagian.Cahaya pagi menyelinap pelan, menembus tirai putih, memantul di wajahnya yang tenang.Di depannya, secangkir kopi hangat mengepulkan aroma yang menenangkan — pahit dan manis, seperti hidup yang sedang berusaha ia pahami kembali.Laras keluar dari dapur membawa piring kecil berisi roti panggang dan potongan buah. Rambutnya dibiarkan terurai, masih sedikit basah setelah mandi. Di tangannya, ada sebuah amplop putih yang tampak usang.“Aku menemukan ini di antara buku catatan ibuku,” katanya pelan sambil duduk.Reza menatapnya. “Apa itu?”“Surat. Tapi tidak pernah dikirim.”Laras tersenyum tipis, seolah tak yakin apakah ia ingin membacanya atau tidak.---Amplop itu bertuliskan tinta

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Surat yang Tak Pernah Dikirim

    Malam itu, angin berembus dari laut membawa aroma asin yang lembut.Langit mendung, tapi di sela-sela awan, bulan berusaha menampakkan dirinya — redup, namun setia.Reza duduk di beranda Rumah Cahaya, kamera di pangkuannya, segelas kopi dingin di meja, dan setumpuk kertas tua di sampingnya.Ia baru saja membersihkan gudang kecil di belakang rumah sore tadi — tempat mereka menyimpan barang-barang yang “belum sanggup dibuang”.Di antara tumpukan bingkai kayu, potongan tripod rusak, dan album foto yang sudah menguning, ia menemukan sebuah kotak besi kecil yang tertutup debu. Di dalamnya ada sepucuk surat — kertasnya sudah pudar, lipatannya rapuh, dan di bagian atasnya tertulis:> “Untuk Ayah (tapi mungkin tidak akan pernah kukirim).”Reza menatap tulisan tangannya sendiri, nyaris tak percaya bahwa ia pernah menulis itu — mungkin dua puluh tahun lalu, ketika usia dan amarahnya sama-sama muda.Ia membuka perlahan, takut kertas itu hancur di tangannya.---> Ayah,Aku menulis ini bukan kare

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Surat dari Langit yang Tak Pernah Sampai

    Hari itu, hujan turun pelan, seperti rintik yang tak ingin mengganggu siapa pun.Laras duduk di meja kayu dekat jendela, di mana tetesan air menelusuri kaca seperti urat halus di tubuh bumi. Di hadapannya, secangkir teh melati mengepulkan aroma tenang.Rumah Cahaya masih lengang. Reza sedang keluar untuk memotret di desa sebelah, dan Surya tertidur di ruang baca.Hujan membuat waktu berjalan lebih lambat — cukup lambat untuk membuat Laras menyadari suara detak jam dinding yang biasanya ia abaikan.Lalu sesuatu di atas meja menarik perhatiannya:sebuah amplop berwarna krem, tanpa perangko, tanpa alamat, hanya satu tulisan kecil di depan:> “Untuk Laras.”Tulisan tangan itu lembut, nyaris gemetar, seolah ditulis dengan ragu atau dengan rasa yang terlalu dalam untuk dikatakan.Laras memandang amplop itu lama, jantungnya berdegup aneh.Ia membukanya perlahan.Di dalamnya ada selembar kertas berlipat dua, dan aroma samar lavender yang sudah pudar.---> “Laras,Mungkin kau tak mengenal nam

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Cahaya yang Tertinggal di Mata Reza

    Pagi itu laut tampak berbeda.Tidak ada ombak besar, tidak ada burung camar yang berkejaran di langit. Hanya air yang mengalun pelan, seperti napas panjang setelah tangis yang lama.Reza berdiri di depan jendela studionya, memandangi garis horizon yang tak pernah berubah, namun selalu membawa sesuatu yang baru untuk dirasakan.Mira sudah pergi dua hari yang lalu, meninggalkan secangkir teh yang masih disimpan Laras di rak kayu — seolah kenangan bisa diawetkan seperti aroma daun mint yang menggantung di udara.Ia memutar kamera di tangannya.Lensa itu sudah berdebu.Selama beberapa bulan terakhir, Reza tak lagi memotret manusia. Ia lebih memilih benda-benda sunyi: piring yang pecah di dapur, kain basah di tali jemuran, kursi yang tak pernah digunakan.Baginya, setiap benda memiliki suara yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata.Namun pagi itu, ada dorongan aneh yang membuatnya ingin keluar — bukan untuk mencari gambar, tapi untuk mendengar kembali diam yang lain.---Ia menuruni t

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Tamu Pertama Rumah Cahaya

    Angin laut membawa aroma asin pagi itu, menyusup pelan melalui jendela kayu yang belum sempat ditutup sempurna.Laras baru saja selesai menyeduh teh ketika suara langkah kaki terdengar dari arah gerbang.Langkah yang ragu, terhenti dua kali sebelum akhirnya benar-benar mendekat.Ia menoleh, dan di antara kabut tipis yang menggantung di jalan setapak, tampak sosok perempuan muda — mengenakan mantel krem yang basah di ujungnya, dengan koper kecil di tangan kanan dan wajah yang tampak letih, seperti seseorang yang sudah berjalan terlalu jauh tanpa tahu ke mana sebenarnya akan tiba.“Selamat pagi,” sapa Laras, lembut.Perempuan itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Apakah ini… Rumah Cahaya?”“Ya. Silakan masuk.”Perempuan itu tersenyum tipis, tapi matanya tetap memendam sesuatu yang tak bisa disembunyikan — semacam bayangan yang menolak pergi meski pagi sudah datang.Namanya, seperti yang kemudian ia sebutkan di dapur kecil mereka, adalah Mira.---Mira datang tanpa reservasi, tanpa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status