Home / Romansa / Pernikahan tanpa Bahagia / Bukti yang Tak Bisa Disangkal

Share

Bukti yang Tak Bisa Disangkal

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-09-18 15:05:16

Hujan turun deras malam itu. Aruna berdiri di balkon apartemen, tubuhnya gemetar meski dibalut sweater tipis. Air matanya bercampur dengan butiran hujan yang memercik ke wajahnya. Bayangan siang tadi masih segar: tatapan puas Melani, ucapan dingin Rafka, dan bisikan-bisikan karyawan yang melihatnya keluar dari kantor dengan wajah penuh luka.

Ia merasa dipermalukan, diremehkan, dan yang paling menyakitkan—ditinggalkan.

Namun di tengah sakit itu, ada satu hal yang terus berputar di kepalanya: Aku butuh kebenaran. Aku tidak bisa hanya bergantung pada kata-kata Rafka. Aku harus melihat dengan mataku sendiri.

---

Beberapa hari kemudian, Rafka berkata ia akan menghadiri jamuan makan malam dengan klien penting. Ia mengenakan jas terbaiknya, menyemprotkan parfum, lalu pergi dengan mobil hitam yang biasa menjemputnya.

Aruna hanya tersenyum kaku, pura-pura percaya. Namun begitu pintu apartemen tertutup, ia segera mengambil tas kecilnya. Tak lama, ia memanggil taksi dan mengikuti arah mobil suaminya dari kejauhan.

Hatinya berdebar kencang sepanjang perjalanan. “Tolong, Tuhan,” bisiknya dalam hati, “semoga aku salah.”

---

Mobil Rafka berhenti di sebuah restoran mewah di pusat kota. Aruna meminta sopir taksi menunggu agak jauh, lalu turun dengan hati-hati. Ia berjalan cepat, menyembunyikan wajahnya dengan syal.

Melalui jendela besar restoran itu, ia melihat pemandangan yang membuat lututnya lemas.

Rafka duduk di meja bundar, bukan bersama klien, melainkan bersama seorang wanita. Wanita itu mengenakan gaun merah menyala, rambutnya disanggul anggun, bibirnya melengkung dalam senyum penuh pesona.

Melani.

Mereka tertawa bersama. Melani menyentuh tangan Rafka dengan lembut, dan lelaki itu tidak menolak. Bahkan, matanya menatap Melani dengan sorot yang tak pernah lagi ia berikan pada Aruna.

Aruna menutup mulutnya, menahan isak agar tidak terdengar. Tubuhnya bergetar, kakinya hampir goyah. Ia ingin masuk, ingin berteriak, ingin menuntut penjelasan. Tapi bagian lain dari dirinya menolak—tak sanggup dipermalukan sekali lagi di depan umum.

Dengan langkah gontai, ia mundur perlahan, meninggalkan restoran itu.

---

Di dalam taksi, Aruna menangis tanpa suara. Sopir sesekali melirik lewat kaca spion, namun tak berani bertanya.

“Ke mana, Bu?” tanyanya pelan.

Aruna terdiam lama sebelum akhirnya berbisik, “Pulang saja.”

Tangannya menggenggam erat ponsel. Ia ingin menelepon Rafka, ingin berteriak menanyakan kenapa. Namun ia tahu, jawabannya mungkin hanya akan sama: ‘Kau cemburu buta.’

---

Sesampainya di apartemen, Aruna menutup pintu dengan tubuh lemah. Ia berjalan ke kamar, meraih bingkai foto pernikahan mereka. Wajahnya di foto itu tersenyum bahagia, penuh harapan.

“Kenapa, Raf?” isaknya lirih. “Kenapa kau hancurkan janji kita?”

Foto itu terjatuh ke lantai, kaca pelindungnya retak. Seperti hatinya.

---

Hari-hari berikutnya, Aruna berubah. Ia tak lagi menunggu Rafka pulang dengan setia di ruang tamu. Ia tak lagi menyiapkan sarapan dengan penuh semangat. Ia hanya melakukan semuanya sekadar kewajiban, tanpa hati.

Rafka menyadari perubahan itu. Suatu malam, ia menatap isterinya yang duduk termenung di sofa.

“Aruna, kenapa kau dingin padaku belakangan ini?” tanyanya.

Aruna menoleh, matanya merah. “Kenapa aku dingin? Kau sungguh tidak tahu alasannya?”

Rafka menghela napas kesal. “Kalau ini masih tentang Melani—”

“Masih tentang Melani?” suara Aruna meninggi. Air matanya jatuh lagi. “Aku melihatmu bersamanya di restoran, Raf! Kau tertawa, kau membiarkannya menyentuhmu, seolah-olah aku tidak pernah ada!”

Rafka terdiam, wajahnya menegang.

“Jangan bohong lagi padaku,” lanjut Aruna dengan suara pecah. “Aku tidak butuh alasan palsu. Aku butuh kebenaran!”

Namun yang ia dapatkan hanyalah keheningan.

Rafka menunduk, menutup wajah dengan tangannya. “Aruna... aku tidak pernah berniat menyakitimu. Tapi aku... aku bingung.”

“Bingung?” Aruna tercekat. “Kau bingung memilih antara istrimu dan wanita lain? Kau sadar betapa kejamnya kata-kata itu?”

Rafka tidak menjawab.

Dan bagi Aruna, itu sudah cukup.

---

Malam itu, ia berkemas. Bukan banyak, hanya beberapa pakaian dan barang pribadi yang bisa ia masukkan ke dalam koper kecil.

Rafka memandanginya dengan mata terbelalak. “Aruna! Apa yang kau lakukan?”

“Aku pergi,” jawab Aruna lirih.

“Kau tidak bisa begitu saja meninggalkan rumah ini!”

Aruna menatapnya tajam, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka. “Rumah ini sudah bukan milikku, Raf. Kau memberikannya pada orang lain.”

Rafka melangkah maju, mencoba meraih lengannya. “Aruna, dengarkan aku—”

Aruna menepis tangannya. “Aku sudah terlalu sering mendengarkanmu. Sekarang giliranku mendengarkan hatiku sendiri.”

Air mata jatuh deras dari wajahnya. Ia menarik koper, membuka pintu, dan melangkah keluar tanpa menoleh lagi.

---

Malam itu, ia menginap di apartemen sahabat lamanya, Dian. Wanita itu terkejut melihat Aruna datang dengan mata sembab.

“Aruna? Astaga, kau kenapa?”

Aruna terisak, lalu memeluk sahabatnya erat. “Aku sudah tidak sanggup lagi, Dian. Aku kehilangan dia... dan aku bahkan tidak tahu apakah aku masih punya rumah.”

Dian mengusap punggungnya, berusaha menenangkan. “Kau masih punya aku, Rin. Kau tidak sendirian.”

Di tengah tangisnya, untuk pertama kali setelah sekian lama, Aruna merasakan sedikit kelegaan. Ada seseorang yang masih berpihak padanya.

Namun ia tahu, badai yang sesungguhnya baru saja dimulai.

---

Keesokan harinya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nomor tak dikenal, namun ia tahu pasti siapa pengirimnya.

[Melani]: Jangan buang waktumu. Rafka sudah memilih.

Aruna menatap layar dengan tangan bergetar. Tubuhnya panas, hatinya perih.

Dan saat itu, ia tahu: jika ia terus diam, hidupnya akan sepenuhnya direbut.

Untuk pertama kalinya, Aruna berbisik pada dirinya sendiri:

“Aku tidak akan kalah. Tidak lagi.”

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Jejak Masa Lalu

    Perahu nelayan kecil itu menepi di sebuah teluk tersembunyi. Ombak berdebur pelan, seakan ikut menyembunyikan rahasia malam itu. Aruna bergegas melompat turun, membantu Rafka yang setengah pingsan, tubuhnya basah oleh darah dan keringat dingin.“Pegang aku, Rafka. Sedikit lagi,” ucap Aruna sambil menopang bahunya.Rafka hanya mengerang lirih, matanya redup. Napasnya tersengal, seakan setiap tarikan udara adalah perjuangan panjang.Surya turun terakhir, menatap sekeliling dengan waspada. “Ikuti aku. Tempat ini aman, setidaknya untuk sementara.”Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berbatu. Hutan kecil mengelilingi sisi teluk, dedaunan bergemerisik diterpa angin laut. Di kejauhan, lampu redup sebuah rumah panggung kayu tampak berdiri di antara pepohonan, sederhana tapi kokoh.Aruna merasakan detak jantungnya berpacu, bukan hanya karena kekhawatiran pada Rafka, tapi juga rasa takut akan rahasia yang akan ia temui.---Pintu rumah terbuka begitu mereka tiba. Seorang pria paruh baya mun

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Pengepungan di Dermaga

    Api dari gudang yang terbakar menjilat langit malam, memantulkan cahaya oranye ke permukaan laut yang berombak. Bau besi, garam, dan asap bercampur menjadi satu, membuat udara di pelabuhan terasa mencekik.Aruna memeluk Rafka erat-erat di balik kontainer berkarat. Bahu Rafka terus berdarah, wajahnya pucat, tapi matanya tetap menatap ke arah depan dengan keberanian yang nyaris gila.“Kau harus bertahan, Rafka. Jangan paksakan dirimu,” suara Aruna bergetar, air mata jatuh ke tangannya yang menekan luka pria itu.Rafka tersenyum samar, meski bibirnya berdarah. “Aku… sudah berjanji padamu. Aku tidak akan jatuh di sini.”Di samping mereka, Surya menodongkan pistol, mengintip celah kontainer. “Mereka mengepung kita dari dua sisi. Kalau kita tetap di sini, kita mati.”Aruna menoleh cepat. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”Surya menarik napas dalam. “Kita harus keluar lewat jalur perahu nelayan di sisi timur. Itu satu-satunya jalan.”Aruna terdiam. Jalur timur berarti mereka harus melewati

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Api dan Bayangan

    Hujan sudah mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk indera. Aruna masih berdiri di tepi sungai, tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak kencang ketika suara ledakan kedua menggema dari arah pelabuhan. Langit malam seakan memantulkan api merah yang menyala di kejauhan.“Rafka…” bisiknya dengan suara nyaris tak terdengar.Ia ingin berlari, tapi kakinya terasa kaku. Ketakutan menahan langkahnya, sekaligus rasa bersalah yang semakin menyesakkan dada.---Di gudang pelabuhan, api mulai merambat ke tiang-tiang kayu. Asap hitam pekat membuat pandangan kabur. Rafka tersungkur, darah menetes dari pelipisnya. Anak buah Adrian mengelilinginya, siap memberi pukulan terakhir.Namun sebelum tangan mereka terayun, sebuah suara berat menggema:“Berhenti.”Semua kepala menoleh. Dari balik pintu yang hangus, Surya muncul dengan langkah mantap. Parut di wajahnya semakin jelas diterangi cahaya api. Tangannya menggenggam senjata api tua, tapi sorot matanya jauh lebih berbahaya dari pelurunya.“L

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Janji yang Retak

    Hujan turun deras malam itu, menyelimuti kota dengan suara ritmis yang seolah menyembunyikan rahasia gelap di balik setiap tetesnya. Aruna berdiri di depan cermin kamarnya, wajahnya pucat, matanya sembab setelah semalaman tak tidur. Kata-kata Surya terus terngiang, menghantam hatinya tanpa henti: Melani… pengkhianat… ayahmu…Ia menggenggam liontin kecil di lehernya—satu-satunya warisan dari ibunya. “Apa benar semua ini, Bu?” bisiknya parau. “Atau aku hanya dipermainkan?”Pintu kamarnya diketuk. Suara lembut namun penuh beban terdengar.“Aruna, boleh aku masuk?”Itu suara Dira.Aruna cepat-cepat menyeka air matanya dan membuka pintu. Dira berdiri dengan jas setengah basah, rambutnya menempel karena hujan. Tatapannya langsung jatuh pada wajah Aruna yang tampak rapuh.“Kau menangis lagi,” ucapnya lirih.Aruna memaksakan senyum tipis. “Aku hanya lelah.”Dira masuk, lalu menutup pintu. Ia menatap Aruna dalam-dalam, seolah berusaha membaca isi hatinya. “Aku tahu sesuatu mengganggumu. Jangan

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Nama yang Tersembunyi

    Aruna menatap pria misterius itu, napasnya tercekat. Bayangan bulan di gudang tua membuat wajahnya tampak semakin suram, seolah keluar dari kisah kelam.“Apa maksudmu?” suara Aruna bergetar.Pria itu mendekat, lalu berhenti tepat di depan cahaya bulan. Wajahnya mulai jelas—parut tipis di pelipis kiri, sorot mata tajam, dan senyum getir yang samar.“Namaku Surya.” Ia menunduk sedikit. “Aku mantan tangan kanan ayahmu.”Aruna membelalak. “Itu… tidak mungkin. Ayah tidak pernah menyebutmu.”Surya tersenyum pahit. “Karena aku bagian yang tidak boleh disebut. Aku tahu rahasia yang bisa menghancurkan semua orang. Termasuk dia.”Aruna mundur selangkah. “Kau bilang tahu siapa yang menghancurkan keluargaku. Katakan sekarang.”Surya menatapnya tajam. “Itu bukan Rafka. Bukan pula hanya Adrian. Ada seseorang lain yang jauh lebih dekat denganmu.”Aruna menahan napas. “Siapa?”Suara Surya turun, nyaris seperti bisikan. “Melani.”Aruna terpaku, dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar.---Di temp

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Jejak yang Tersembunyi

    Matahari pagi menembus tirai kamar, namun Aruna masih duduk di meja belajarnya, menatap map hitam yang belum ia buka. Matanya sembab, tapi ada ketegasan baru yang jarang muncul sebelumnya.Ia menarik napas panjang, lalu membuka map itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada beberapa lembar dokumen: laporan keuangan perusahaan ayahnya, kontrak penjualan saham, dan tanda tangan yang mencurigakan.Matanya membelalak ketika melihat nama yang tertera di salah satu dokumen: Rafka Adinata.“Tidak mungkin…” bisiknya, bibirnya bergetar.Namun ada sesuatu yang aneh. Tanda tangan itu memang mirip Rafka, tapi ada detail kecil yang tidak cocok. Garis akhir tanda tangan tampak kaku, tidak natural.Aruna meraba kertas itu. “Ini bisa saja dipalsukan…”---Sementara itu, Rafka duduk di kantor pengacaranya. Wajahnya tegang, matanya menatap layar komputer yang menampilkan data transaksi lama.“Dokumen-dokumen itu beredar di luar,” kata pengacaranya. “Banyak yang percaya kau terlibat langsung dalam keban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status