Mag-log inHujan turun deras malam itu. Aruna berdiri di balkon apartemen, tubuhnya gemetar meski dibalut sweater tipis. Air matanya bercampur dengan butiran hujan yang memercik ke wajahnya. Bayangan siang tadi masih segar: tatapan puas Melani, ucapan dingin Rafka, dan bisikan-bisikan karyawan yang melihatnya keluar dari kantor dengan wajah penuh luka.
Ia merasa dipermalukan, diremehkan, dan yang paling menyakitkan—ditinggalkan. Namun di tengah sakit itu, ada satu hal yang terus berputar di kepalanya: Aku butuh kebenaran. Aku tidak bisa hanya bergantung pada kata-kata Rafka. Aku harus melihat dengan mataku sendiri. --- Beberapa hari kemudian, Rafka berkata ia akan menghadiri jamuan makan malam dengan klien penting. Ia mengenakan jas terbaiknya, menyemprotkan parfum, lalu pergi dengan mobil hitam yang biasa menjemputnya. Aruna hanya tersenyum kaku, pura-pura percaya. Namun begitu pintu apartemen tertutup, ia segera mengambil tas kecilnya. Tak lama, ia memanggil taksi dan mengikuti arah mobil suaminya dari kejauhan. Hatinya berdebar kencang sepanjang perjalanan. “Tolong, Tuhan,” bisiknya dalam hati, “semoga aku salah.” --- Mobil Rafka berhenti di sebuah restoran mewah di pusat kota. Aruna meminta sopir taksi menunggu agak jauh, lalu turun dengan hati-hati. Ia berjalan cepat, menyembunyikan wajahnya dengan syal. Melalui jendela besar restoran itu, ia melihat pemandangan yang membuat lututnya lemas. Rafka duduk di meja bundar, bukan bersama klien, melainkan bersama seorang wanita. Wanita itu mengenakan gaun merah menyala, rambutnya disanggul anggun, bibirnya melengkung dalam senyum penuh pesona. Melani. Mereka tertawa bersama. Melani menyentuh tangan Rafka dengan lembut, dan lelaki itu tidak menolak. Bahkan, matanya menatap Melani dengan sorot yang tak pernah lagi ia berikan pada Aruna. Aruna menutup mulutnya, menahan isak agar tidak terdengar. Tubuhnya bergetar, kakinya hampir goyah. Ia ingin masuk, ingin berteriak, ingin menuntut penjelasan. Tapi bagian lain dari dirinya menolak—tak sanggup dipermalukan sekali lagi di depan umum. Dengan langkah gontai, ia mundur perlahan, meninggalkan restoran itu. --- Di dalam taksi, Aruna menangis tanpa suara. Sopir sesekali melirik lewat kaca spion, namun tak berani bertanya. “Ke mana, Bu?” tanyanya pelan. Aruna terdiam lama sebelum akhirnya berbisik, “Pulang saja.” Tangannya menggenggam erat ponsel. Ia ingin menelepon Rafka, ingin berteriak menanyakan kenapa. Namun ia tahu, jawabannya mungkin hanya akan sama: ‘Kau cemburu buta.’ --- Sesampainya di apartemen, Aruna menutup pintu dengan tubuh lemah. Ia berjalan ke kamar, meraih bingkai foto pernikahan mereka. Wajahnya di foto itu tersenyum bahagia, penuh harapan. “Kenapa, Raf?” isaknya lirih. “Kenapa kau hancurkan janji kita?” Foto itu terjatuh ke lantai, kaca pelindungnya retak. Seperti hatinya. --- Hari-hari berikutnya, Aruna berubah. Ia tak lagi menunggu Rafka pulang dengan setia di ruang tamu. Ia tak lagi menyiapkan sarapan dengan penuh semangat. Ia hanya melakukan semuanya sekadar kewajiban, tanpa hati. Rafka menyadari perubahan itu. Suatu malam, ia menatap isterinya yang duduk termenung di sofa. “Aruna, kenapa kau dingin padaku belakangan ini?” tanyanya. Aruna menoleh, matanya merah. “Kenapa aku dingin? Kau sungguh tidak tahu alasannya?” Rafka menghela napas kesal. “Kalau ini masih tentang Melani—” “Masih tentang Melani?” suara Aruna meninggi. Air matanya jatuh lagi. “Aku melihatmu bersamanya di restoran, Raf! Kau tertawa, kau membiarkannya menyentuhmu, seolah-olah aku tidak pernah ada!” Rafka terdiam, wajahnya menegang. “Jangan bohong lagi padaku,” lanjut Aruna dengan suara pecah. “Aku tidak butuh alasan palsu. Aku butuh kebenaran!” Namun yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Rafka menunduk, menutup wajah dengan tangannya. “Aruna... aku tidak pernah berniat menyakitimu. Tapi aku... aku bingung.” “Bingung?” Aruna tercekat. “Kau bingung memilih antara istrimu dan wanita lain? Kau sadar betapa kejamnya kata-kata itu?” Rafka tidak menjawab. Dan bagi Aruna, itu sudah cukup. --- Malam itu, ia berkemas. Bukan banyak, hanya beberapa pakaian dan barang pribadi yang bisa ia masukkan ke dalam koper kecil. Rafka memandanginya dengan mata terbelalak. “Aruna! Apa yang kau lakukan?” “Aku pergi,” jawab Aruna lirih. “Kau tidak bisa begitu saja meninggalkan rumah ini!” Aruna menatapnya tajam, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka. “Rumah ini sudah bukan milikku, Raf. Kau memberikannya pada orang lain.” Rafka melangkah maju, mencoba meraih lengannya. “Aruna, dengarkan aku—” Aruna menepis tangannya. “Aku sudah terlalu sering mendengarkanmu. Sekarang giliranku mendengarkan hatiku sendiri.” Air mata jatuh deras dari wajahnya. Ia menarik koper, membuka pintu, dan melangkah keluar tanpa menoleh lagi. --- Malam itu, ia menginap di apartemen sahabat lamanya, Dian. Wanita itu terkejut melihat Aruna datang dengan mata sembab. “Aruna? Astaga, kau kenapa?” Aruna terisak, lalu memeluk sahabatnya erat. “Aku sudah tidak sanggup lagi, Dian. Aku kehilangan dia... dan aku bahkan tidak tahu apakah aku masih punya rumah.” Dian mengusap punggungnya, berusaha menenangkan. “Kau masih punya aku, Rin. Kau tidak sendirian.” Di tengah tangisnya, untuk pertama kali setelah sekian lama, Aruna merasakan sedikit kelegaan. Ada seseorang yang masih berpihak padanya. Namun ia tahu, badai yang sesungguhnya baru saja dimulai. --- Keesokan harinya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nomor tak dikenal, namun ia tahu pasti siapa pengirimnya. [Melani]: Jangan buang waktumu. Rafka sudah memilih. Aruna menatap layar dengan tangan bergetar. Tubuhnya panas, hatinya perih. Dan saat itu, ia tahu: jika ia terus diam, hidupnya akan sepenuhnya direbut. Untuk pertama kalinya, Aruna berbisik pada dirinya sendiri: “Aku tidak akan kalah. Tidak lagi.” ---Pagi itu, langit tampak berwarna kelabu muda — tidak sepenuhnya suram, tapi cukup membuat udara terasa berat.Di Rumah Cahaya, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara air yang menetes dari talang terdengar seperti detak waktu yang berjalan dengan enggan.Laras baru saja membuka jendela ruang kerja ketika seseorang mengetuk pintu depan.Suara itu pelan tapi tegas — tiga ketukan, lalu diam.Ia mengira itu mungkin salah satu tamu baru, atau pengantar paket dari kota. Tapi ketika ia membuka pintu, dunia seolah berhenti sejenak.Di ambang pintu berdiri seorang perempuan dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel krem, wajahnya letih tapi matanya tajam.“Maaf,” katanya, suaranya tenang tapi bergetar di ujung. “Apakah ini Rumah Cahaya?”“Iya,” jawab Laras lembut. “Apa saya bisa membantu?”Perempuan itu tersenyum tipis. “Namaku Ayla. Aku datang… mencari seseorang.”Laras mengerutkan dahi. “Seseorang?”Ayla mengangguk. “Reza.”---Nama itu menggantung di udara, seperti angin dingi
Pagi itu, Rumah Cahaya diselimuti kabut tipis.Aroma tanah basah dan daun yang baru disapu hujan masih tercium di udara. Burung-burung gereja berkicau di dahan mangga tua, dan dari dapur, terdengar bunyi lembut panci disentuh sendok kayu.Reza duduk di meja makan, menatap jendela besar yang terbuka sebagian.Cahaya pagi menyelinap pelan, menembus tirai putih, memantul di wajahnya yang tenang.Di depannya, secangkir kopi hangat mengepulkan aroma yang menenangkan — pahit dan manis, seperti hidup yang sedang berusaha ia pahami kembali.Laras keluar dari dapur membawa piring kecil berisi roti panggang dan potongan buah. Rambutnya dibiarkan terurai, masih sedikit basah setelah mandi. Di tangannya, ada sebuah amplop putih yang tampak usang.“Aku menemukan ini di antara buku catatan ibuku,” katanya pelan sambil duduk.Reza menatapnya. “Apa itu?”“Surat. Tapi tidak pernah dikirim.”Laras tersenyum tipis, seolah tak yakin apakah ia ingin membacanya atau tidak.---Amplop itu bertuliskan tinta
Malam itu, angin berembus dari laut membawa aroma asin yang lembut.Langit mendung, tapi di sela-sela awan, bulan berusaha menampakkan dirinya — redup, namun setia.Reza duduk di beranda Rumah Cahaya, kamera di pangkuannya, segelas kopi dingin di meja, dan setumpuk kertas tua di sampingnya.Ia baru saja membersihkan gudang kecil di belakang rumah sore tadi — tempat mereka menyimpan barang-barang yang “belum sanggup dibuang”.Di antara tumpukan bingkai kayu, potongan tripod rusak, dan album foto yang sudah menguning, ia menemukan sebuah kotak besi kecil yang tertutup debu. Di dalamnya ada sepucuk surat — kertasnya sudah pudar, lipatannya rapuh, dan di bagian atasnya tertulis:> “Untuk Ayah (tapi mungkin tidak akan pernah kukirim).”Reza menatap tulisan tangannya sendiri, nyaris tak percaya bahwa ia pernah menulis itu — mungkin dua puluh tahun lalu, ketika usia dan amarahnya sama-sama muda.Ia membuka perlahan, takut kertas itu hancur di tangannya.---> Ayah,Aku menulis ini bukan kare
Hari itu, hujan turun pelan, seperti rintik yang tak ingin mengganggu siapa pun.Laras duduk di meja kayu dekat jendela, di mana tetesan air menelusuri kaca seperti urat halus di tubuh bumi. Di hadapannya, secangkir teh melati mengepulkan aroma tenang.Rumah Cahaya masih lengang. Reza sedang keluar untuk memotret di desa sebelah, dan Surya tertidur di ruang baca.Hujan membuat waktu berjalan lebih lambat — cukup lambat untuk membuat Laras menyadari suara detak jam dinding yang biasanya ia abaikan.Lalu sesuatu di atas meja menarik perhatiannya:sebuah amplop berwarna krem, tanpa perangko, tanpa alamat, hanya satu tulisan kecil di depan:> “Untuk Laras.”Tulisan tangan itu lembut, nyaris gemetar, seolah ditulis dengan ragu atau dengan rasa yang terlalu dalam untuk dikatakan.Laras memandang amplop itu lama, jantungnya berdegup aneh.Ia membukanya perlahan.Di dalamnya ada selembar kertas berlipat dua, dan aroma samar lavender yang sudah pudar.---> “Laras,Mungkin kau tak mengenal nam
Pagi itu laut tampak berbeda.Tidak ada ombak besar, tidak ada burung camar yang berkejaran di langit. Hanya air yang mengalun pelan, seperti napas panjang setelah tangis yang lama.Reza berdiri di depan jendela studionya, memandangi garis horizon yang tak pernah berubah, namun selalu membawa sesuatu yang baru untuk dirasakan.Mira sudah pergi dua hari yang lalu, meninggalkan secangkir teh yang masih disimpan Laras di rak kayu — seolah kenangan bisa diawetkan seperti aroma daun mint yang menggantung di udara.Ia memutar kamera di tangannya.Lensa itu sudah berdebu.Selama beberapa bulan terakhir, Reza tak lagi memotret manusia. Ia lebih memilih benda-benda sunyi: piring yang pecah di dapur, kain basah di tali jemuran, kursi yang tak pernah digunakan.Baginya, setiap benda memiliki suara yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata.Namun pagi itu, ada dorongan aneh yang membuatnya ingin keluar — bukan untuk mencari gambar, tapi untuk mendengar kembali diam yang lain.---Ia menuruni t
Angin laut membawa aroma asin pagi itu, menyusup pelan melalui jendela kayu yang belum sempat ditutup sempurna.Laras baru saja selesai menyeduh teh ketika suara langkah kaki terdengar dari arah gerbang.Langkah yang ragu, terhenti dua kali sebelum akhirnya benar-benar mendekat.Ia menoleh, dan di antara kabut tipis yang menggantung di jalan setapak, tampak sosok perempuan muda — mengenakan mantel krem yang basah di ujungnya, dengan koper kecil di tangan kanan dan wajah yang tampak letih, seperti seseorang yang sudah berjalan terlalu jauh tanpa tahu ke mana sebenarnya akan tiba.“Selamat pagi,” sapa Laras, lembut.Perempuan itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Apakah ini… Rumah Cahaya?”“Ya. Silakan masuk.”Perempuan itu tersenyum tipis, tapi matanya tetap memendam sesuatu yang tak bisa disembunyikan — semacam bayangan yang menolak pergi meski pagi sudah datang.Namanya, seperti yang kemudian ia sebutkan di dapur kecil mereka, adalah Mira.---Mira datang tanpa reservasi, tanpa t







