Share

Saatnya Bangkit

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-09-18 15:08:10

Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela kecil apartemen Dian. Aruna membuka mata dengan kepala yang berat, wajahnya masih sembab setelah malam panjang penuh tangis. Namun ketika ia duduk di tepi ranjang, ada sesuatu yang berbeda.

Bukan lagi hanya rasa sakit. Ada kemarahan. Ada tekad.

Kalau aku terus menangis, mereka akan menang. Rafka akan terus bersama Melani, seolah-olah aku tidak pernah berarti. Tidak. Aku harus bangkit.

---

Dian masuk membawa secangkir teh hangat. “Kau baik-baik saja?” tanyanya lembut.

Aruna tersenyum tipis. “Aku tidak baik-baik saja, tapi aku akan mencoba untuk baik.”

Sahabatnya duduk di samping, menggenggam tangannya. “Kau tidak harus menghadapi ini sendirian. Jika kau butuh tempat tinggal lama, kau bisa tinggal di sini.”

Aruna mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Dian. Tapi aku tidak bisa selamanya bergantung padamu. Aku harus belajar berdiri sendiri.”

Dian menatapnya lama, lalu tersenyum. “Itulah Aruna yang kukenal. Yang dulu selalu berani mengejar mimpinya sebelum menikah dengan Rafka.”

Ucapan itu menusuk. Aruna sadar, ia memang pernah punya mimpi. Sebelum menikah, ia ingin melanjutkan kuliah, membuka butik kecil, dan hidup mandiri. Tapi semua itu ia tinggalkan demi menemani Rafka membangun karier.

Kini, ketika Rafka berkhianat, ia hanya punya satu pilihan: kembali menemukan dirinya sendiri.

---

Hari-hari berikutnya, Aruna mulai berubah. Ia membantu Dian di toko bunga miliknya. Awalnya hanya sekadar mengisi waktu, tapi perlahan Aruna menemukan ketenangan saat tangannya sibuk merangkai bunga.

“Bakatmu tidak hilang,” puji Dian suatu sore. “Lihat, kombinasi warnanya indah sekali.”

Aruna tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ada kebahagiaan sederhana dalam bekerja, dalam merasakan dirinya masih berguna.

Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Suatu sore, ketika ia sedang membereskan bunga-bunga di etalase, pintu toko terbuka. Seorang pria masuk dengan langkah tenang, tubuh tinggi tegap, wajahnya teduh namun tegas.

“Selamat sore,” ucapnya. Suaranya dalam, membuat Aruna spontan menoleh.

Pria itu mengenakan kemeja biru muda, dasinya longgar, seolah baru pulang kerja. “Aku butuh buket bunga untuk acara perusahaan besok.”

Dian yang sedang di belakang memberi isyarat agar Aruna melayani. Dengan gugup, Aruna mendekat. “Oh... tentu. Bunga seperti apa yang Anda inginkan?”

Pria itu tersenyum tipis. “Yang sederhana, tapi elegan. Seperti... dirimu.”

Aruna tertegun. Pipinya merona. “Maksud Anda?”

Pria itu terkekeh kecil. “Maaf, maksudku... seperti yang kau rangkai tadi. Aku lihat dari luar, indah sekali.”

Aruna menunduk, pura-pura sibuk memilih bunga. Hatinya berdebar, sessuatu yang sudah lama tak ia rasakan.

Pria itu memperhatikan dengan seksama, lalu mengulurkan tangan. “Namaku Dira.”

Aruna ragu sejenak sebelum menjabat tangannya. “Aruna.”

“Nama yang cantik,” gumam Dira.

---

Malam itu, Aruna merenung. Pertemuan singkat dengan Dira menimbulkan perasaan aneh. Bukan cinta, bukan juga ketertarikan instan. Tapi ada rasa dihargai, rasa diperhatikan. Sesuatu yang sudah lama tak ia dapatkan dari Rafka.

Namun segera ia menepis pikiran itu. Aku baru saja keluar dari neraka rumah tangga. Aku tidak boleh gegabah. Fokusku sekarang adalah diriku sendiri.

---

Beberapa hari kemudian, pesan dari nomor tak dikenal kembali masuk.

[Melani]: Jangan berusaha mengambil kembali yang sudah jadi milikku. Kau hanya akan terluka lebih dalam.

Aruna menatap layar ponsel dengan tangan bergetar. Kali ini bukan air mata yang jatuh, melainkan senyum tipis penuh tekad.

Ia membalas untuk pertama kalinya.

[Aruna]: Kau salah. Aku bukan lagi wanita yang akan diam saat dirampas. Jika kau pikir aku akan menyerah, kau salah besar.

Jantungnya berdebar setelah menekan tombol kirim. Ada rasa takut, tapi juga lega. Untuk pertama kali, ia melawan.

---

Malamnya, Raffka menelepon. Suaranya berat, terdengar frustasi. “Aruna, pulanglah. Kita bisa bicarakan ini baik-baik.”

Aruna terdiam lama sebelum menjawab, “Baik-baik? Kau menyebut mengkhianati janji pernikahan itu hal baik-baik, Raf?”

“Aruna, aku masih mencintaimu,” ucap Rafka lirih.

Hati Aruna bergetar. Ia ingin percaya, tapi bayangan Rafka tertawa bersama Melani kembali menghantam.

“Kalau kau mencintaiku,” jawab Aruna dengan suara bergetar, “kau tidak akan pernah menyakitiku seperti ini.”

Klik. Ia menutup telepon, lalu menangis lagi. Tapi kali ini bukan tangis kelemahan, melainkan pelepasan.

---

Keesokan harinya, Dira kembali datang ke toko bunga. Ia tersenyum hangat ketika melihat Aruna. “Aku harap kau yang merangkai bungaku lagi.”

Aruna sedikit tersipu, tapi menyanggupi. Saat ia sibuk bekerja, Dira berkata pelan, “Kau terlihat lelah. Apakah kau baik-baik saja?”

Aruna menoleh, terkejut oleh perhatian itu. “Aku... aku sedang melalui masa sulit.”

Dira tidak bertanya lebih jauh, hanya berkata, “Kadang, luka terdalam justru mengajarkan kita cara menjadi lebih kuat.”

Kata-kata itu sederhana, tapi menancap dalam hati Aruna.

---

Malam itu, ia menatap cermin. Wajahnya masih sayu, tapi ada cahaya baru di matanya. Cahaya keberanian.

Ia berbisik pada bayangan dirinya sendiri:

“Mulai sekarang, aku akan hidup untuk diriku. Bukan untuk Rafka. Bukan untuk Melani. Tapi untuk Aruna.”

Dan itulah awal kebangkitan seorang wanita yang pernah jatuh ke jurang, namun kini belajar terbang dengan sayapnya sendiri.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Rumah yang Menyimpan Rahasia

    Pagi itu, langit tampak berwarna kelabu muda — tidak sepenuhnya suram, tapi cukup membuat udara terasa berat.Di Rumah Cahaya, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara air yang menetes dari talang terdengar seperti detak waktu yang berjalan dengan enggan.Laras baru saja membuka jendela ruang kerja ketika seseorang mengetuk pintu depan.Suara itu pelan tapi tegas — tiga ketukan, lalu diam.Ia mengira itu mungkin salah satu tamu baru, atau pengantar paket dari kota. Tapi ketika ia membuka pintu, dunia seolah berhenti sejenak.Di ambang pintu berdiri seorang perempuan dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel krem, wajahnya letih tapi matanya tajam.“Maaf,” katanya, suaranya tenang tapi bergetar di ujung. “Apakah ini Rumah Cahaya?”“Iya,” jawab Laras lembut. “Apa saya bisa membantu?”Perempuan itu tersenyum tipis. “Namaku Ayla. Aku datang… mencari seseorang.”Laras mengerutkan dahi. “Seseorang?”Ayla mengangguk. “Reza.”---Nama itu menggantung di udara, seperti angin dingi

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Ketika Langit Tak Lagi Abu-abu

    Pagi itu, Rumah Cahaya diselimuti kabut tipis.Aroma tanah basah dan daun yang baru disapu hujan masih tercium di udara. Burung-burung gereja berkicau di dahan mangga tua, dan dari dapur, terdengar bunyi lembut panci disentuh sendok kayu.Reza duduk di meja makan, menatap jendela besar yang terbuka sebagian.Cahaya pagi menyelinap pelan, menembus tirai putih, memantul di wajahnya yang tenang.Di depannya, secangkir kopi hangat mengepulkan aroma yang menenangkan — pahit dan manis, seperti hidup yang sedang berusaha ia pahami kembali.Laras keluar dari dapur membawa piring kecil berisi roti panggang dan potongan buah. Rambutnya dibiarkan terurai, masih sedikit basah setelah mandi. Di tangannya, ada sebuah amplop putih yang tampak usang.“Aku menemukan ini di antara buku catatan ibuku,” katanya pelan sambil duduk.Reza menatapnya. “Apa itu?”“Surat. Tapi tidak pernah dikirim.”Laras tersenyum tipis, seolah tak yakin apakah ia ingin membacanya atau tidak.---Amplop itu bertuliskan tinta

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Surat yang Tak Pernah Dikirim

    Malam itu, angin berembus dari laut membawa aroma asin yang lembut.Langit mendung, tapi di sela-sela awan, bulan berusaha menampakkan dirinya — redup, namun setia.Reza duduk di beranda Rumah Cahaya, kamera di pangkuannya, segelas kopi dingin di meja, dan setumpuk kertas tua di sampingnya.Ia baru saja membersihkan gudang kecil di belakang rumah sore tadi — tempat mereka menyimpan barang-barang yang “belum sanggup dibuang”.Di antara tumpukan bingkai kayu, potongan tripod rusak, dan album foto yang sudah menguning, ia menemukan sebuah kotak besi kecil yang tertutup debu. Di dalamnya ada sepucuk surat — kertasnya sudah pudar, lipatannya rapuh, dan di bagian atasnya tertulis:> “Untuk Ayah (tapi mungkin tidak akan pernah kukirim).”Reza menatap tulisan tangannya sendiri, nyaris tak percaya bahwa ia pernah menulis itu — mungkin dua puluh tahun lalu, ketika usia dan amarahnya sama-sama muda.Ia membuka perlahan, takut kertas itu hancur di tangannya.---> Ayah,Aku menulis ini bukan kare

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Surat dari Langit yang Tak Pernah Sampai

    Hari itu, hujan turun pelan, seperti rintik yang tak ingin mengganggu siapa pun.Laras duduk di meja kayu dekat jendela, di mana tetesan air menelusuri kaca seperti urat halus di tubuh bumi. Di hadapannya, secangkir teh melati mengepulkan aroma tenang.Rumah Cahaya masih lengang. Reza sedang keluar untuk memotret di desa sebelah, dan Surya tertidur di ruang baca.Hujan membuat waktu berjalan lebih lambat — cukup lambat untuk membuat Laras menyadari suara detak jam dinding yang biasanya ia abaikan.Lalu sesuatu di atas meja menarik perhatiannya:sebuah amplop berwarna krem, tanpa perangko, tanpa alamat, hanya satu tulisan kecil di depan:> “Untuk Laras.”Tulisan tangan itu lembut, nyaris gemetar, seolah ditulis dengan ragu atau dengan rasa yang terlalu dalam untuk dikatakan.Laras memandang amplop itu lama, jantungnya berdegup aneh.Ia membukanya perlahan.Di dalamnya ada selembar kertas berlipat dua, dan aroma samar lavender yang sudah pudar.---> “Laras,Mungkin kau tak mengenal nam

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Cahaya yang Tertinggal di Mata Reza

    Pagi itu laut tampak berbeda.Tidak ada ombak besar, tidak ada burung camar yang berkejaran di langit. Hanya air yang mengalun pelan, seperti napas panjang setelah tangis yang lama.Reza berdiri di depan jendela studionya, memandangi garis horizon yang tak pernah berubah, namun selalu membawa sesuatu yang baru untuk dirasakan.Mira sudah pergi dua hari yang lalu, meninggalkan secangkir teh yang masih disimpan Laras di rak kayu — seolah kenangan bisa diawetkan seperti aroma daun mint yang menggantung di udara.Ia memutar kamera di tangannya.Lensa itu sudah berdebu.Selama beberapa bulan terakhir, Reza tak lagi memotret manusia. Ia lebih memilih benda-benda sunyi: piring yang pecah di dapur, kain basah di tali jemuran, kursi yang tak pernah digunakan.Baginya, setiap benda memiliki suara yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata.Namun pagi itu, ada dorongan aneh yang membuatnya ingin keluar — bukan untuk mencari gambar, tapi untuk mendengar kembali diam yang lain.---Ia menuruni t

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Tamu Pertama Rumah Cahaya

    Angin laut membawa aroma asin pagi itu, menyusup pelan melalui jendela kayu yang belum sempat ditutup sempurna.Laras baru saja selesai menyeduh teh ketika suara langkah kaki terdengar dari arah gerbang.Langkah yang ragu, terhenti dua kali sebelum akhirnya benar-benar mendekat.Ia menoleh, dan di antara kabut tipis yang menggantung di jalan setapak, tampak sosok perempuan muda — mengenakan mantel krem yang basah di ujungnya, dengan koper kecil di tangan kanan dan wajah yang tampak letih, seperti seseorang yang sudah berjalan terlalu jauh tanpa tahu ke mana sebenarnya akan tiba.“Selamat pagi,” sapa Laras, lembut.Perempuan itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Apakah ini… Rumah Cahaya?”“Ya. Silakan masuk.”Perempuan itu tersenyum tipis, tapi matanya tetap memendam sesuatu yang tak bisa disembunyikan — semacam bayangan yang menolak pergi meski pagi sudah datang.Namanya, seperti yang kemudian ia sebutkan di dapur kecil mereka, adalah Mira.---Mira datang tanpa reservasi, tanpa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status