Home / Romansa / Pernikahan tanpa Bahagia / Darah dan Cahaya di Tengah Bayangan

Share

Darah dan Cahaya di Tengah Bayangan

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-10-03 18:45:52

Tanah bergetar ketika raksasa hitam itu melangkah maju. Setiap pijakan kakinya membuat bumi retak, setiap raungannya membuat langit seolah meredup. Pasukan Penjaga Senja yang semula bersemangat mulai surut langkahnya, ketakutan menyelinap ke wajah mereka.

“Roh terikat… aku pernah mendengarnya,” bisik salah satu prajurit, suaranya gemetar. “Tapi aku tak pernah membayangkan ia sebesar ini.”

Xu berdiri jauh di belakang, senyum tipis menghiasi wajahnya. Ia menatap Aruna seolah sedang menonton sebuah pertunjukan. “Mari kita lihat,” katanya lirih, meski suaranya tetap terdengar hingga barisan depan. “Apakah kau benar-benar bisa melawan takdirmu, bocah?”

Aruna menggenggam pedangnya erat. Cahaya putih keemasan masih berdenyut di bilahnya, makin terang setiap kali ia menarik napas. Namun tangannya gemetar—bukan karena pedang itu terlalu berat, melainkan karena ketakutan bercampur tekad yang nyaris bertabrakan di dadanya.

Jendra menepuk bahunya dari samping. “Jangan goyah, Na. Itu mungkin tampa
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Cahaya yang Tertinggal di Mata Reza

    Pagi itu laut tampak berbeda.Tidak ada ombak besar, tidak ada burung camar yang berkejaran di langit. Hanya air yang mengalun pelan, seperti napas panjang setelah tangis yang lama.Reza berdiri di depan jendela studionya, memandangi garis horizon yang tak pernah berubah, namun selalu membawa sesuatu yang baru untuk dirasakan.Mira sudah pergi dua hari yang lalu, meninggalkan secangkir teh yang masih disimpan Laras di rak kayu — seolah kenangan bisa diawetkan seperti aroma daun mint yang menggantung di udara.Ia memutar kamera di tangannya.Lensa itu sudah berdebu.Selama beberapa bulan terakhir, Reza tak lagi memotret manusia. Ia lebih memilih benda-benda sunyi: piring yang pecah di dapur, kain basah di tali jemuran, kursi yang tak pernah digunakan.Baginya, setiap benda memiliki suara yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata.Namun pagi itu, ada dorongan aneh yang membuatnya ingin keluar — bukan untuk mencari gambar, tapi untuk mendengar kembali diam yang lain.---Ia menuruni t

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Tamu Pertama Rumah Cahaya

    Angin laut membawa aroma asin pagi itu, menyusup pelan melalui jendela kayu yang belum sempat ditutup sempurna.Laras baru saja selesai menyeduh teh ketika suara langkah kaki terdengar dari arah gerbang.Langkah yang ragu, terhenti dua kali sebelum akhirnya benar-benar mendekat.Ia menoleh, dan di antara kabut tipis yang menggantung di jalan setapak, tampak sosok perempuan muda — mengenakan mantel krem yang basah di ujungnya, dengan koper kecil di tangan kanan dan wajah yang tampak letih, seperti seseorang yang sudah berjalan terlalu jauh tanpa tahu ke mana sebenarnya akan tiba.“Selamat pagi,” sapa Laras, lembut.Perempuan itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Apakah ini… Rumah Cahaya?”“Ya. Silakan masuk.”Perempuan itu tersenyum tipis, tapi matanya tetap memendam sesuatu yang tak bisa disembunyikan — semacam bayangan yang menolak pergi meski pagi sudah datang.Namanya, seperti yang kemudian ia sebutkan di dapur kecil mereka, adalah Mira.---Mira datang tanpa reservasi, tanpa t

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Rumah di Ujung Laut

    Sudah hampir dua tahun sejak pameran terakhir di “Ruang Rani & Dimas”.Waktu berjalan seperti ombak — datang dan pergi, membawa cerita-cerita kecil yang larut bersama senja.Tempat itu kini sepi lagi, bukan karena dilupakan, tapi karena telah menunaikan tugasnya.Laras menutup pintu terakhirnya dengan senyum kecil. Ia tahu, beberapa tempat memang diciptakan untuk menjadi perhentian sementara — bukan rumah, tapi ruang perantara antara kehilangan dan penerimaan.Reza menunggu di luar dengan mobil yang sudah dipenuhi kotak kayu berisi foto, buku, dan lembaran kertas bertuliskan tangan pengunjung yang dulu mereka simpan.“Apa sudah semuanya?” tanyanya, membetulkan tali kamera di lehernya.“Sudah. Hanya ruangnya yang kita tinggalkan, bukan maknanya.”“Dan kau yakin tentang ini?”Laras mengangguk. “Aku ingin melihat laut yang pernah kau ceritakan. Yang langitnya tidak pernah tidur.”Mobil meluncur meninggalkan kota. Jalanan memanjang seperti garis waktu — menuntun mereka ke tempat yang belu

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Langit yang Tidak Pernah Tidur

    Hujan telah lama berhenti, tapi aroma tanah basah masih menggantung di udara.Di luar jendela, pohon mangga di halaman meneteskan air dari ujung daunnya, satu per satu, seperti waktu yang menurunkan kenangan perlahan agar tak terlalu menyakitkan.Laras menyalakan lampu kecil di pojok ruangan Ruang Rani & Dimas. Cahaya kuningnya menyentuh dinding-dinding tua yang kini dipenuhi jejak pameran — foto-foto Reza yang masih tergantung, catatan pengunjung yang disematkan di papan kayu, dan tanda tangan-tanda tangan kecil di buku tamu, kebanyakan disertai kalimat: “Aku juga pernah mencintai seperti ini.”Sejak malam penutupan pameran itu, banyak hal berubah di hidup Laras.Tempat yang dulu ia rawat sendirian kini mulai hidup lagi.Setiap minggu ada orang yang datang membawa buku, puisi, lukisan, atau hanya diam — dan itu cukup.Karena tempat itu tidak menuntut kata-kata, hanya kejujuran.Reza sering datang, tapi tidak setiap hari.Kadang ia muncul tiba-tiba dengan kamera di tangan dan wajah ya

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Perempuan Penjaga Cahaya

    Hujan turun perlahan di pagi yang tenang.Langit berwarna abu muda, seperti lembar kertas kosong yang menunggu ditulisi. Di ujung jalan kecil yang diteduhi pohon mangga tua, berdiri sebuah rumah sederhana dengan papan kayu bertuliskan:“Ruang Rani & Dimas — Tempat Kata Beristirahat.”Laras membuka pintu rumah itu dengan hati-hati.Udara di dalamnya mengandung aroma buku tua, teh, dan sesuatu yang sulit dijelaskan — semacam keheningan yang hidup. Sudah dua bulan sejak ia menerima kunci rumah ini, warisan tak langsung dari Dimas, lelaki tua yang dulu menjadi pembimbingnya di universitas.Setiap hari, ia datang untuk membuka jendela, menyalakan lampu, dan membiarkan cahaya pagi menyentuh meja kayu tempat dua cangkir teh selalu diletakkan.Ia tak pernah memindahkan apa pun di ruang itu.Buku-buku masih tersusun rapi, surat-surat masih diselipkan di antara halaman, dan di dinding tergantung satu foto besar — foto langit kelabu dengan cahaya menembus awan: Langit yang Menyimpan Janji.Laras

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Sisa Cahaya di Langit Senja

    Sudah seratus dua puluh hari sejak Rani pergi.Musim berganti tanpa banyak perubahan. Pohon mangga di halaman tetap berdiri, hanya sedikit lebih rindang, seolah menolak ikut berduka. Angin sore masih datang dari arah yang sama, membawa bau tanah, rumput, dan kenangan.Dimas duduk di teras, mengenakan kemeja putih yang sudah agak lusuh. Di pangkuannya, buku catatan Rani yang kini sudah usang di tepinya.Ia tidak lagi membacanya dengan air mata — melainkan dengan ketenangan yang aneh, seperti seseorang yang membaca doa, bukan cerita.Setiap pagi, ia membuat dua cangkir teh.Satu untuk dirinya, satu lagi diletakkan di meja kayu kecil di depan kursi kosong.Kebiasaan itu tidak pernah berhenti, bukan karena Dimas tidak bisa melepas, tapi karena ia percaya: ada yang datang setiap kali aroma teh melayang di udara.Dan di dalam sunyi itu, kadang ia merasa — Rani masih di situ.Dalam bentuk cahaya yang menempel di dinding. Dalam desir daun. Dalam tiap baris tulisan yang belum sempat selesai.-

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status