Share

Desa dalam Kabut

Penulis: Diko_13
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 22:15:32

Kabut pagi menutupi desa tua itu seperti tirai tipis, membuat segalanya tampak samar. Atap rumah-rumah kayu miring, beberapa berlubang, dinding bambu yang lapuk seakan berbisik tentang waktu yang terlalu lama diam. Tidak ada suara ayam berkokok, tidak terdengar pula anak-anak berlari—sunyi, hanya angin yang menggesekkan dedaunan.

Aruna menatap pemandangan itu dengan hati berdebar. Ia menggenggam tangan Rafka yang masih terbaring lemah di tandu. “Apakah kita benar-benar aman di sini?” bisiknya lirih.

Hasan melangkah paling depan, matanya penuh keraguan meski bibirnya berusaha tenang. “Desa ini… terakhir kali aku mendengar kabarnya, masih dihuni beberapa keluarga tua. Tapi…” ia berhenti, menelan ludah. “Rasanya… sepi sekali.”

Surya menaruh tangan di gagang pistol, tatapannya menyapu rumah-rumah kosong. “Aku tidak suka tempat seperti ini. Terlalu sunyi. Sunyi selalu berarti bahaya.”

“Belum tentu,” potong Dokter Anwar, mencoba menenangkan. “Bisa saja penduduknya masih tidur. Atau mereka m
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Luka yang Belum Sembuh

    Malam itu seakan berhenti bernafas setelah pasukan Xu mundur. Hanya suara daun bergesekan dan erangan mereka yang terluka terdengar di hutan yang hangus. Api dari obor-obor yang jatuh perlahan padam, menyisakan bara merah yang berkedip seperti mata setan. Bau darah menusuk, bercampur dengan bau kayu terbakar.Aruna duduk bersandar pada sebatang pohon besar, tubuhnya gemetar hebat. Nafasnya terputus-putus, wajahnya pucat pasi. Pedang yang tadi menjadi nyawanya kini tergeletak tak berdaya di tanah, penuh darah yang sudah mengering.Jendra berlutut di sampingnya, tangannya penuh noda darah saat menekan luka di bahu Aruna. “Tahan sedikit lagi. Kau tidak boleh menyerah sekarang.”Aruna berusaha tersenyum, meski bibirnya pecah. “Aku masih hidup… bukankah itu sudah cukup?”Jendra mengerutkan kening. “Jangan bicara seperti itu.” Suaranya keras, tapi ada getaran yang tak bisa ia sembunyikan. “Kau lebih kuat dari yang kau kira. Jangan berhenti sekarang.”---Lodra terhuyung, mencoba berdiri mes

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Api yang Membelah Malam

    Hutan yang biasanya tenang kini menjelma menjadi lautan api dan jeritan. Kabut asap bercampur dengan bau darah menyelimuti udara, membuat setiap hembusan nafas terasa berat dan panas. Tanah becek, bercampur lumpur dan darah, menjadi saksi bisu atas pertarungan yang tak mengenal belas kasih.Aruna masih berdiri, meski tubuhnya hampir roboh. Tangan yang memegang pedang bergetar hebat, darah menetes dari sela jarinya. Rakas mengerang di hadapannya, bahunya tertusuk, wajahnya penuh amarah.“Bangsat… kau berani melukaiku!” raung Rakas, matanya merah membara.Aruna menatapnya tanpa gentar, meski dadanya naik turun tak terkendali. “Aku tidak akan jatuh di tanganmu, Rakas. Tidak malam ini.”Rakas tertawa keras, suaranya menggema seperti hewan buas yang terluka. Ia mencabut pedang dari tanah, mengangkatnya tinggi, lalu menebas lagi. Aruna menangkis, suara dentingan logam meledak di udara. Tubuhnya terdorong mundur, tapi ia tidak terjatuh.---Jendra, yang masih bertarung dengan tiga prajurit s

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Darah dan Nyala

    Api menjilat batang-batang pohon, asap mengepul pekat menutupi langit malam. Jeritan dan denting senjata berpadu menjadi orkestra kematian yang tak terhindarkan. Bayangan Hutan bertarung mati-matian, meski jumlah mereka jauh lebih sedikit. Di tengah kekacauan itu, Aruna berdiri menghadapi Rakas. Nafasnya memburu, tangannya bergetar memegang pedang pendek yang terasa terlalu ringan untuk menahan tebasan musuh sebesar itu. Tapi matanya menyala, dipenuhi tekad yang baru lahir. Rakas menyeringai, darah segar mengalir dari luka di lengannya akibat serangan Aruna sebelumnya. “Luka kecil dari tangan seorang gadis? Kau akan menyesal telah membuatku berdarah.” Aruna menelan ludah, tubuhnya kaku. Tapi ia tidak mundur. “Aku tidak takut padamu.” Rakas tertawa keras, suaranya menggetarkan dada. “Kau bahkan takut pada dirimu sendiri. Lihat tubuhmu gemetar, mata yang hampir pecah karena panik. Kau tidak cocok memegang senjata, Aruna. Kau hanyalah boneka yang dijadikan umpan.” Ucapan itu menusuk,

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Api Pertama

    Langit malam digelayuti awan hitam. Bulan yang biasanya menebar sinar pucat kini bersembunyi, seolah tahu akan ada darah yang tertumpah di bumi. Di balik pepohonan, angin membawa bisikan samar—suara langkah, gesekan senjata, dan lolongan serigala yang semakin dekat.Aruna terjaga di dalam gua. Tubuhnya masih letih setelah latihan siang tadi, tapi dadanya berdegup keras, firasat buruk mengguncang jiwanya. Ia beranjak, berjalan ke arah mulut gua. Dari kejauhan, terlihat cahaya obor menyala-nyala, bergerak seperti ular api yang mendekat perlahan.“Jendra…” Aruna berbisik panik.Pemimpin Bayangan Hutan itu sudah berdiri tegak di luar, matanya menatap lurus ke arah cahaya. Sorotnya dingin, namun penuh kewaspadaan. “Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga.”Lodra berlari menghampiri, nafasnya memburu. “Sekitar lima puluh orang. Mereka membawa anjing pelacak. Ini bukan sekadar patroli, Pemimpin. Mereka tahu kita di sini.”Aruna menahan napas, tubuhnya kaku.Ibu Mayang berjalan keluar deng

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Jejak yang Terlupakan

    Suara gemericik air dari stalaktit yang menetes ke dalam kolam kecil di pojok gua menemani pagi yang sunyi. Aruna membuka matanya, tubuhnya masih terasa kaku, tapi semangat baru yang semalam ditanamkan oleh kata-kata Jendra membuatnya berusaha bangkit.Ia berjalan pelan ke luar lorong gua, udara pagi menyambutnya dengan kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Di kejauhan, terdengar suara teriakan, bunyi pedang beradu, dan hentakan kaki di tanah. Aruna mengernyit, mencoba mencari sumber suara itu.Jendra berdiri di tengah lapangan berumput yang dikelilingi pohon tinggi, memimpin sekelompok orang yang tengah berlatih. Gerakan mereka cepat, penuh disiplin, meski dengan senjata sederhana: tombak dari bambu, busur dari kayu, pedang dari besi kasar yang ditempa seadanya.Aruna melangkah mendekat. Seorang pemuda berambut ikal menyadarinya dan tersenyum tipis. “Kau sudah bangun. Bagus. Kau harus ikut bergabung.”Aruna mengangkat alis. “Aku? Tapi aku bukan prajurit.”Pemuda itu terke

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Bayangan Hutan

    Aruna terbangun lagi di dalam gua yang sama, tapi kali ini tubuhnya lebih ringan. Ada balutan kain kasar di lengannya, dan ramuan herbal pahit yang masih terasa di lidahnya. Api unggun yang menjilat dinding batu memberi kehangatan, membuatnya sadar bahwa ia selamat—setidaknya untuk saat ini.Sosok pria berambut panjang yang semalam berbicara dengannya duduk di dekat api, mengasah tombak dengan batu pipih. Matanya tajam, wajahnya penuh garis tegas.“Kau bangun,” katanya tanpa menoleh.Aruna perlahan duduk, tubuhnya masih lemah. “Aku… masih hidup.”Pria itu berhenti mengasah, lalu menoleh, sorot matanya tajam tapi tidak dingin. “Ya. Tapi hanya karena sungai memutuskan untuk tidak menelanmu. Kau harus tahu, banyak orang yang mati di arus itu.”Aruna menelan ludah. Ingatan tentang Surya, Naya, Rafka, dan Pak Wirya menyeruak lagi, menusuk dadanya. “Teman-temanku… mereka terbawa arus. Apa kau melihat ada yang lain terselamatkan?”Pria itu menggeleng perlahan. “Belum. Tapi sungai bercabang.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status