Home / Romansa / Pernikahan tanpa Bahagia / The Weight of Quiet Hearts

Share

The Weight of Quiet Hearts

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-10-14 16:10:31

Pagi di rumah Rania selalu dimulai dengan bunyi laut yang mengetuk lembut di jendela. Tapi kali ini, Arga bangun sendirian. Cangkir teh di meja sudah dingin, dan udara di ruangan membawa aroma melati yang samar—jejak kehadiran seseorang yang baru saja pergi.

Ia berdiri di tepi jendela, memandangi garis cakrawala di mana laut bertemu langit. Di atas meja, ada secarik kertas terselip di antara buku harian Rania. Tulisan tangan itu jelas, tapi gemetar di beberapa bagian, seolah ditulis dengan tenaga yang tersisa.

> Arga,

Jika pagi ini kau membaca surat ini, berarti aku sudah di tempat di mana laut tak lagi gelisah. Jangan mencariku. Aku ingin dikenang seperti kemarin sore—saat kita hanya duduk diam dan biarkan waktu berjalan tanpa bicara. Itu cukup bagiku.

Aku meninggalkan sesuatu di bawah pohon kamboja dekat pantai. Kubur kecil, mungkin tampak remeh, tapi itu bagian terakhir dari ceritaku. Datanglah kalau hatimu siap, bukan karena kau merasa harus.

– R.

Tangannya bergetar saat membaca b
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Yang Kembali dari Senyap

    Hari-hari setelah pertemuan di taman terasa seperti berjalan di antara dua musim — belum benar-benar hangat, tapi tidak lagi sedingin dulu.Rani kembali ke rumah. Tidak dengan dentuman langkah penuh emosi, tapi dengan keheningan yang menandakan sesuatu telah berubah. Rumah itu tidak menyambutnya dengan aroma kopi atau suara pintu yang berdecit seperti biasa, tapi dengan keheningan yang berbeda — tenang, tapi hidup.Di meja makan, ada dua cangkir teh.Satu masih mengepul, satu lagi dibiarkan kosong, seolah menunggu isi yang tepat.Dimas sedang menata piring.Ketika Rani masuk, ia menoleh pelan. Tidak ada kata sambutan, tidak ada pelukan — hanya tatapan yang cukup lama untuk mengatakan semua hal yang tak terucap.“Pagi,” ucap Rani, suaranya lembut, sedikit ragu.“Pagi,” jawab Dimas. “Kau belum makan?”Ia menggeleng. “Belum. Aku pikir… aku ingin makan di rumah.”Dimas menunduk, menahan sesuatu di tenggorokan yang hampir ingin keluar tapi tak tahu harus berupa apa. Ia lalu berkata pelan,

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Yang Tertinggal di Meja Sarapan

    Pagi datang tanpa ketukan.Udara dingin menelusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah yang lembap dan sisa embun yang enggan pergi. Dimas terbangun lebih awal dari biasanya, dengan kepala berat dan dada yang terasa sesak entah karena apa. Mungkin karena mimpi yang samar, mungkin karena sesuatu yang ia belum berani akui.Ia bangkit perlahan, meraba sisi ranjang yang dingin.Kosong.Rani sudah tidak di sana.Untuk sesaat, Dimas hanya duduk diam. Matanya menatap dinding tanpa makna, pikirannya berlari ke mana-mana — mengingat malam terakhir mereka, percakapan yang tak selesai, dan diam yang terasa lebih menusuk daripada pertengkaran apa pun.Ia turun ke dapur, dan di sanalah ia melihatnya.Secangkir kopi yang masih hangat.Dan selembar kertas di sampingnya.Huruf-huruf di atas kertas itu dikenalnya dengan sangat baik — tulisan Rani, bersih dan tenang, tapi kali ini terasa seperti luka yang dipahat perlahan.> Dimas,Aku tidak akan pergi. Tapi aku juga tidak akan tinggal dalam diam.

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Di Antara Janji yang Tak Lagi Dikenal

    Pagi itu turun dengan perlahan, seperti seseorang yang ragu-ragu ingin datang.Cahaya matahari menerobos tirai kamar, menimpa wajah Rani yang masih terpejam. Di sisi ranjang, jam dinding menunjukkan pukul enam lewat tiga belas menit — waktu yang selalu sama, waktu yang dulu pernah menjadi tanda bagi Yudha untuk mencium keningnya sebelum berangkat kerja.Sekarang, hanya ada bunyi halus pendingin ruangan dan napas Rani yang berat.Ia membuka mata pelan. Udara di kamar itu dingin dan asing, seolah segala kehangatan telah dihapus dari tembok, dari sprei, dari setiap benda yang dulu menyimpan jejak keintiman. Di sisi lain ranjang, Dimas — suaminya — masih tertidur, punggungnya menghadap ke arah yang berlawanan.Keduanya tampak seperti dua orang asing yang terperangkap dalam perjanjian yang terlalu sunyi untuk disebut rumah tangga.Rani menatap punggung itu lama, lalu berbisik lirih, nyaris tanpa suara:“Selamat pagi.”Tidak ada jawaban. Sudah lama tidak ada jawaban.---Ia turun ke dapur d

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Kala Dua Cahaya Bertemu Lagi

    Paris menyala dengan caranya sendiri.Cahaya lampu jalan menari di genangan air hujan, menciptakan kilau keemasan yang seolah hidup di sepanjang Rue de Rivoli. Aroma kopi dan hujan bercampur dalam udara dingin sore itu, mengundang nostalgia yang samar tapi lembut.Rani berdiri di depan gedung kaca besar tempat pameran seni internasional diadakan — “Beyond Silence”, begitu tema yang tertera di poster besar di depan pintu. Ia menggenggam undangan di tangan, matanya menelusuri nama-nama seniman yang karyanya akan dipamerkan malam itu.Dan di antara deretan nama asing, ada satu yang membuat langkahnya terhenti.Yudha Ardi — “Light Between Distances.”Ia menatap nama itu lama, hingga huruf-hurufnya seakan bergetar dalam pandangannya. Dunia tiba-tiba terasa lebih sempit — seolah waktu melipat dirinya sendiri untuk mempertemukan dua garis yang dulu terpisah.Rani menarik napas panjang. Ia tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Dunia seni, sekecil apapun, selalu menemukan cara mempertem

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Di Antara Dua Senja

    Senja turun perlahan di atas kota kecil bernama Nara.Langit berwarna keemasan, membentuk gradasi lembut yang seolah melukis batas antara hari yang berakhir dan malam yang baru akan lahir.Yudha berdiri di depan jendela rumah kecil yang ia sewa di pinggir hutan, menatap cahaya yang merambat di antara pepohonan pinus.Sudah delapan bulan sejak ia pergi dari Tokyo.Delapan bulan sejak pertemuan terakhir dengan Rani — pertemuan yang membuatnya menyadari bahwa beberapa cinta diciptakan bukan untuk dimiliki, melainkan untuk memulihkan.Hidupnya kini jauh lebih sederhana.Ia bekerja di sebuah toko kamera tua milik pria paruh baya bernama Kenji, yang dulu pernah menjadi fotografer perang.Setiap pagi, Yudha membantu memperbaiki kamera rusak, mencetak foto, dan menulis catatan kecil tentang cahaya, bayangan, dan waktu di buku harian lusuh miliknya.Namun di balik kesunyian itu, ada hal yang tak pernah hilang:bayangan tentang Rani.Bukan wajahnya, bukan suaranya — tapi cara Rani menatap dunia

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Musim yang Tak Bernama

    Sudah tiga minggu sejak pertemuan itu di Tokyo.Tiga minggu sejak Rani melihat Yudha untuk terakhir kali — di bawah langit yang memantulkan cahaya salju. Dan sejak hari itu, sesuatu di dalam dirinya berubah. Bukan perubahan besar yang dramatis, tapi perubahan kecil yang terasa di napas, di cara ia menatap pagi, di setiap halaman yang kembali terisi tinta.Apartemennya di distrik Setagaya terasa hangat sore itu.Hujan baru saja berhenti, meninggalkan bau khas tanah basah yang merembes lewat jendela kayu. Di meja, ada cangkir kopi yang sudah dingin, tumpukan kertas berisi naskah setengah jadi, dan sebuah surat yang belum dikirim.Ia baru selesai menulis bab terakhir dari bukunya — bukan novel cinta seperti sebelumnya, tapi kumpulan catatan reflektif berjudul Musim yang Tak Bernama.Buku itu bukan tentang kehilangan atau pertemuan, melainkan tentang waktu — tentang hal-hal yang datang, tinggal, lalu pergi tanpa alasan, tapi tetap meninggalkan jejak.Dan hari ini, Rani menulis kalimat ter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status