Home / Romansa / Pernikahan tanpa Bahagia / Surat yang Datang Terlambat

Share

Surat yang Datang Terlambat

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-10-15 17:28:11

Waktu tidak pernah benar-benar berhenti, tapi kadang ia melambat di hadapan kenangan yang terlalu kuat untuk dilewati begitu saja.

Sudah tiga tahun sejak Rania pergi, dan dunia terus berjalan seperti biasa. Namun, bagi Arga, setiap pagi masih dimulai dengan segelas teh tanpa gula — kebiasaan kecil yang dulu Rania tertawakan.

Ia kini tinggal di rumah yang sama, tapi hidupnya berbeda. Di ruang tamu, ada rak penuh buku yang ditulisnya, sebagian besar tentang laut, tentang kehilangan, tentang ketenangan yang datang terlambat. Buku The Weight of Quiet Hearts telah membawanya ke banyak tempat, mempertemukannya dengan pembaca yang menangis diam-diam di akhir halaman. Tapi di balik semua itu, ia tahu, hanya satu orang yang seharusnya membaca kisah itu — dan dia sudah tak ada.

Suatu sore, saat hujan turun tanpa tanda, pintu rumahnya diketuk. Seorang lelaki tua berdiri di depan sana, mengenakan mantel abu-abu basah. Wajahnya asing, tapi tatapannya lembut.

“Apakah Anda Tuan Arga?” tanyanya pelan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Kala Dua Cahaya Bertemu Lagi

    Paris menyala dengan caranya sendiri.Cahaya lampu jalan menari di genangan air hujan, menciptakan kilau keemasan yang seolah hidup di sepanjang Rue de Rivoli. Aroma kopi dan hujan bercampur dalam udara dingin sore itu, mengundang nostalgia yang samar tapi lembut.Rani berdiri di depan gedung kaca besar tempat pameran seni internasional diadakan — “Beyond Silence”, begitu tema yang tertera di poster besar di depan pintu. Ia menggenggam undangan di tangan, matanya menelusuri nama-nama seniman yang karyanya akan dipamerkan malam itu.Dan di antara deretan nama asing, ada satu yang membuat langkahnya terhenti.Yudha Ardi — “Light Between Distances.”Ia menatap nama itu lama, hingga huruf-hurufnya seakan bergetar dalam pandangannya. Dunia tiba-tiba terasa lebih sempit — seolah waktu melipat dirinya sendiri untuk mempertemukan dua garis yang dulu terpisah.Rani menarik napas panjang. Ia tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Dunia seni, sekecil apapun, selalu menemukan cara mempertem

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Di Antara Dua Senja

    Senja turun perlahan di atas kota kecil bernama Nara.Langit berwarna keemasan, membentuk gradasi lembut yang seolah melukis batas antara hari yang berakhir dan malam yang baru akan lahir.Yudha berdiri di depan jendela rumah kecil yang ia sewa di pinggir hutan, menatap cahaya yang merambat di antara pepohonan pinus.Sudah delapan bulan sejak ia pergi dari Tokyo.Delapan bulan sejak pertemuan terakhir dengan Rani — pertemuan yang membuatnya menyadari bahwa beberapa cinta diciptakan bukan untuk dimiliki, melainkan untuk memulihkan.Hidupnya kini jauh lebih sederhana.Ia bekerja di sebuah toko kamera tua milik pria paruh baya bernama Kenji, yang dulu pernah menjadi fotografer perang.Setiap pagi, Yudha membantu memperbaiki kamera rusak, mencetak foto, dan menulis catatan kecil tentang cahaya, bayangan, dan waktu di buku harian lusuh miliknya.Namun di balik kesunyian itu, ada hal yang tak pernah hilang:bayangan tentang Rani.Bukan wajahnya, bukan suaranya — tapi cara Rani menatap dunia

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Musim yang Tak Bernama

    Sudah tiga minggu sejak pertemuan itu di Tokyo.Tiga minggu sejak Rani melihat Yudha untuk terakhir kali — di bawah langit yang memantulkan cahaya salju. Dan sejak hari itu, sesuatu di dalam dirinya berubah. Bukan perubahan besar yang dramatis, tapi perubahan kecil yang terasa di napas, di cara ia menatap pagi, di setiap halaman yang kembali terisi tinta.Apartemennya di distrik Setagaya terasa hangat sore itu.Hujan baru saja berhenti, meninggalkan bau khas tanah basah yang merembes lewat jendela kayu. Di meja, ada cangkir kopi yang sudah dingin, tumpukan kertas berisi naskah setengah jadi, dan sebuah surat yang belum dikirim.Ia baru selesai menulis bab terakhir dari bukunya — bukan novel cinta seperti sebelumnya, tapi kumpulan catatan reflektif berjudul Musim yang Tak Bernama.Buku itu bukan tentang kehilangan atau pertemuan, melainkan tentang waktu — tentang hal-hal yang datang, tinggal, lalu pergi tanpa alasan, tapi tetap meninggalkan jejak.Dan hari ini, Rani menulis kalimat ter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Di Antara Cahaya dan Bayang

    Tokyo di musim dingin selalu tampak seperti dunia yang ditulis dengan tinta abu-abu dan perak.Udara dingin menggigit lembut kulit, dan aroma kastanye panggang bercampur dengan wangi hujan yang belum kering.Rani berjalan di antara kerumunan stasiun Shibuya, langkahnya ringan namun matanya menyimpan sesuatu yang dalam — semacam perasaan asing yang lahir dari terlalu banyak mengenal dirinya sendiri.Ia baru saja menghadiri wawancara kecil untuk proyek “Echoes of the Sky.”Pihak galeri berencana menjadikan karyanya bagian dari pameran keliling ke Eropa musim depan.Semuanya terasa seperti mimpi, tapi di tengah segala keberhasilan itu, ada ruang sunyi yang tak bisa diisi siapa pun.Ketika ia menuruni tangga ke peron bawah tanah, udara semakin dingin, dan suara pengumuman dalam bahasa Jepang menggema lembut di dinding beton.Ia berhenti sejenak di depan papan arah — huruf-huruf kanji dan romaji menari di matanya, tapi kepalanya mulai berputar. Ia menatap tiket di tangannya. Jalurnya salah

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Langit yang Menjawab

    Rani membuka matanya di tengah cahaya lembut pagi.Kota Jakarta masih setengah mengantuk; suara kendaraan di kejauhan terdengar seperti desahan panjang dari dunia yang belum benar-benar terjaga. Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas dalam, lalu menatap ke luar jendela.Langit hari itu berwarna abu muda — tidak terlalu cerah, tidak pula muram.Seperti hati seseorang yang baru saja berdamai.Di atas meja kerja, buku catatannya terbuka, dan di dalamnya terselip secarik kertas yang ia temukan malam sebelumnya di galeri: tulisan dari Y.Ia menyentuh tepi kertas itu dengan ujung jarinya.Masih terasa dingin, tapi entah kenapa juga hangat — seperti jejak tangan yang pernah menggenggam, lalu pergi tanpa meninggalkan luka baru.Rani tersenyum samar.Sudah lama ia tidak merasakan ketenangan seperti ini.Bukan karena waktu menyembuhkan segalanya, tapi karena ia belajar membiarkan sesuatu berlalu tanpa perlu dipahami sepenuhnya.Ia menyalakan laptop, membuka dokumen baru. Judul kosong di layar

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Bayangan di Antara Kata

    Pagi itu, udara Tokyo berembus lembut melewati jendela kamar Yudha.Ia baru saja selesai menata hasil foto dari proyek terakhirnya untuk dikirim ke galeri di Shibuya. Di layar komputer, puluhan gambar berbaris rapi: langit, jalan, wajah-wajah asing yang tak pernah ia kenal.Namun di antara semuanya, hanya satu foto yang membuatnya berhenti lama — foto langit senja dengan siluet seorang perempuan berdiri di kejauhan, menatap cakrawala.Ia tahu siapa perempuan itu, meski wajahnya hanya tampak samar.Rani.Foto itu diambil setahun lalu di Kyoto, pada sore terakhir sebelum ia mengantarnya ke bandara.Sejak hari itu, setiap kali Yudha memotret langit, seolah ada sesuatu dari dirinya yang ikut terabadikan di sana — halus, tak terlihat, tapi nyata.Di sisi mejanya, sebuah buku tergeletak terbuka.Sampulnya sederhana: Langit yang Tak Menunggu — dengan nama Rani Kencana tertera di bawahnya.Ia membelinya diam-diam lewat situs daring, dua hari setelah terbit.Sejak saat itu, Yudha tak pernah be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status