Terima kasih sudah membaca.
Arsa melajukan mobilnya menuju ke rumah Prita. Prita mempunyai sebuah rumah mewah. Wajar, dia lahir dan besar dari keluarga kaya raya. Saat ini sosok wanita perusak rumah tangga Arsa dan Amelia itu menjadi prioritas Ratna. "Ini rumah kamu?" tanya Ratna yang memandang takjub pada rumah mewah dan megah milik Prita. "Iya, Bu. Rumah pemberian Papa sebagai hadiah karena aku lulus Akpol dan tugas di sini. Udah lumayan lama sih belinya," jawab Prita sambil tersenyum lebar. Ratna berdecak kagum saat mobil milik Arsa memasuki halaman rumah Prita. Sangat jauh jika dibandingkan dengan rumah Arsa yang dibelinya dengan susah payah. Prita memang kaya raya. Hal itu yang ada di benak Ratna. "Aku nanti langsung pulang, ya." Arsa mengatakannya dengan nada dingin pada Prita. "Heh! Ngapain kamu pulang. Prita habis dirawat di rumah sakit dan kamu mau pulang?!" Ratna membentak Arsa di depan Prita. "Lagian kamu juga ngapain pulang? Di rumah juga ada wanita menyebalkan itu," lanjut Ratna yang merasa tida
Sepanjang perjalan menuju ke rumah sang Mama, Arsa hanya diam. Ratna berusaha menenangkan sang putra, tetapi gagal. Suami Amelia itu kini kini luar biasa takut. Tidak hanya masalah di rumah yang timbul, tetapi di kantor juga. Bisa berharap apa saat ini? Mita bukan orang yang mudah mendengar penjelasan nanti. Fajar pasti akan membuat semuanya jadi rumit. Lampu merah di jalan raya menghentikan laju mobil Arsa saat ini. "Arghh ....!" Arsa meremas rambutnya karena frustasi. "Sa ... kamu harus tenang. Besok jelaskan jika memang kebetulan Mama dan Prita saling kenal. Dia itu potensial alias kaya raya. Jauh kalo dibandingkan sama Amelia yang dekil," kata Ratna dengan nada sinis. Arsa sama sekali tidak menanggapi ucapan sang mama. Ia memilih diam, kepalanya sangat sakit saat ini. Tidak ada jalan keluar sama sekali. Satu hal yang mengusik hatinya; ia mendengar suara sang anak tadi saat di telepon. Benarkah Amelia merindukan kedua orang tuanya? Dusta apalagi yang diciptakannya saat ini? Ars
Arsa hanya melongo saat Amelia menghempas tangannya dengan kasar. Ia menatap Amelia yang kini juga menatapnya dengan tatapan tajam. Wanita yang setia menemaninya dari nol itu seolah tidak ada rasa takut sama sekali pada Arsa. Haruskah Arsa menampar istri yang telah berjuang melahirkan ketiga anaknya itu? "Apa yang mau kamu bicarakan?" Amelia mengatakannya sambil menatap Arsa yang kini hanya diam. "Jika membahas simpananmu maka aku tidak akan tertarik sama sekali. Aku sudah membuat keputusan bulat. Aku mengajukan gugatan cerai!" lanjut Amelia dengan nada tinggi, tetapi tidak berteriak karena takut mengganggu ketiga anaknya yang sudah tertidur. "Oh ... kamu berani menentangku?!" Bentak Arsa dengan suara keras. "Ya! Aku berani dan sama sekali tidak takut. Aku diam selama ini bukan berarti tidak tahu sama sekali tentangmu dan wanita itu. Terlalu banyak kebohongan dalam hidup kamu sampai akhirnya kamu sendirilah yang bingung bagaimana cara menyembunyikannya!" Amelia tidak dapat lagi memb
Astaga! Apalagi ini? Arsa memijit pelipisnya. Ia mendadak sakit kepala. Dua wanita itu akan bertemu? Tidak semua itu tidak boleh terjadi untuk saat ini. Berpisah dengan Amelia sama saja mengakui dengan jujur perselingkuhannya dengan Prita. Arsa tidak mau melakukan hal bodoh lagi. Cukup satu kali saja berurusan dengan Fajar dan jajaran penyidik lainnya. "Halo, Mas! Aku ngomong dicuekin. Kamu itu harus sadar, aku ga mau, ya, sampai kehilangan jabatan. Diturunkan pangkatku saja rasanya bisa jantungan. Aku susah payah untuk bisa sampai pada posisi ini." "Kamu tahu, ga, kalo saat ini lagi genting?" "Makanya biarkan aku ketemu sama Mbak Amelia. Aku akan tawarkan kerja sama. Kalian tidak akan sampai bercerai." Ucapan Prita seolah menyiram panas yang ada di dalam hati Arsa. Sosok ayah tiga anak itu memang mengakui kecerdasan Prita di atas rata-rata wanita pada umumnya. Salah satu daya tarik bagi Arsa jika dibandingkan dengan Amelia yang hanya berdiam dan tidak pernah mengeluarkan ide apa
Amelia tidak lagi terkejut saat Arsa mengatakan hal itu. Semalam ia telah mendengarnya; lebih tepatnya mencuri dengar pembicaraan mereka lewat sambungan telepon. Arsa masih sama, suara teleponnya akan keras. Ia lupa jika tadi malam berada di rumah. "Baiklah." Amelia menjawab tanpa beban sedikit pun. "Kamu setuju?" Pertanyaan Arsa sangat ambigu saat ini karena suami tidak tahu diri itu merasa jika Amelia tidak akan mempermasalahkan tentang hubungan terlarang. "Hanya bertemu saja 'kan? Tidak masalah." Amelia menjawab dengan wajah datar. Arsa tidak bisa menebak apa yang dipikirkan wanita yang saat ini sedang menggendong Aron itu. Lima belas menit berlalu tanpa ada sepatah kata pun dari sang istri. Arsa sama sekali tidak tahu harus melakukan apa saat ini. "Mel, aku janji akan lebih mengutamakan kamu setelah ini. Aku sadar telah menelantarkan kalian semua. Aku juga janji, Mama tidak akan ikut campur lagi urusan rumah tangga kita. Juga, aku akan menegur mama ketika berbuat kasar atau b
Sultan menoleh ke arah sumber suara. Ia mengenal Prita dengan baik sejak lama. Wanita perusak rumah tangga orang itu memang menaruh hati pada Sultan. Hanya saja sosok tampan itu mengabaikannya. "Ya, kebetulan lewat," jawab Sultan sambil melirik ke arah Arsa yang sibuk makan ikan lele goreng dengan sambal di ataanya. Sultan hanya menghela napas panjang saat melihat kedua pasangan itu. Ia berusaha bersikap seolah tidak tahu apapun perihal mereka berdua. Sebuah strategi agar Arsa tidak curiga ketika diam-diam ia mendekati Amelia. "Kamu sama siapa?" tanya Sultan setelah selesai memesan satu porsi pecel lele dengan kol goreng yang menjadi kesukaannya sejak Amelia pernah menyuapkan padanya dulu. "Ada sama teman." Ucapan Prita membuat Arsa tersedak es teh manis yang sedang diteguknya. Sultan tersenyum tipis melihat reaksi suami Amelia itu. Dianggap teman padahal sudah tinggal bersama itu rasanya menyakitkan. Seperti luka yang menganga dan sengaja ditaburi garam. Amelia pasti bahagia jika
Wajah Arsa menegang seketika. Ia menatap sang istri yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun saat ini. Amelia tampak sangat tenang dan tidak menunjukkan wajah sedih sama sekali. Arsa juga tidak pernah bisa memahami Amelia sepenuhnya; apa yang disukai dan tidak disukai dari wanita cantik itu, ia sama sekali tidak takut. "Kenapa bahas tentang Prita?" tanya Arsa dengan ketus dan merasa salah tingkah. "Apa salahnya? Bukankan wanita itu mau bertemu denganku?" tanya Amelia dan membuat Arsa sesak napas seketika. "Aku tidak tahu kapan Prita akan menemuimu. Aku harap, kamu tidak menyakiti perasaannya. Dia banyak kenalan jendral dan pejabat penting di kepolisian." Arsa mengancam Amelia dengan cara yang halus dan tidak lagi berkata kasar. "Mel, aku janji, setelah kalian bertemu nanti, kita akan mulai lagi sama-sama," lanjutnya tanpa memperhatikan perasaan Amelia yang saat ini sangat sakit. Amelia sudah terbiasa tersakiti dengan keadaan yang membuatnya tersudut. Keadaan saat ia harus
Arsa menahan napas beberapa detik. Prita kembali merendahkan sang istri. Awal mereka berhubungan, memang Prita selalu merendahkan Amelia. Ibu rumah tangga sama sekali tidak ada harganya di mata wanita yang karirnya sedang menanjak. "Tidak bisa mendadak. Istriku punya banyak kagiatan. Ia harus mengantar dan menjemput anak-anak. Ada banyak pekerjaan yang dilakukannya.""Istriku? Wow ... luar biasa! Apa kamu mulai kembali jatuh cinta lagi pada wanita dekil itu, Mas?""Astaga! Kenapa sepagi ini kamu mencari masalah! Tidak bisakah tidak membahas penampilan. Oke, aku tahu kamu selalu wangi, bersih, dan tampil cantik. Tapi, bukan berarti kamu bisa seenaknya menghina wanita lain.""Rupanya kamu lebih membela istrimu itu! Baiklah. Aku akan nekat. Mari kita lihat, jabatab siapa yang akan terjun bebas!"Prita menutup sambungan telepon itu. Ia kesal dengan ucapan Arsa. Mengapa saat ini suami siri-nya itu lebih membela istri pertamanya? Mana janjinya dulu jika akan mengutamakannya?Prita menjamba