Share

3. Sopir Taksi

Pukul satu siang dan Amelia sudah berada di depan sekolah kedua anak kembarnya. Lima belas menit lagi mereka akan pulang. Rutinitas setiap hari yang dilakoni sebagai seorang ibu dari ketiga anaknya--antar jemput sekolah. Ia sama sekali tidak pernah mengeluh meski harus berpanas-panasan di dalam angkutan umum. 

 

Hanya sesekali saja mereka naik taksi online seperti tadi pagi. Amelia sengaja agar sang suami tidak banyak mengajaknya berbicara. Ia sudah memikirkan matang-matang perceraian itu. Rasa sakit dan sesak di dadanya mungkin akan hilang setelah mereka berpisah.

 

"Bagaimana hari ini? Apakah menyenangkan?" tanya Amelia kepada dua anaknya yang baru saja keluar kelas.

 

"Huft ... ada tugas, Ma. Piknik bersama keluarga dan melakukan hal yang menyenangkan. Tapi, ga akan aku kerjakan, karena Papa selalu sibuk." Arusha kali ini menampakkan wajah masamnya.

 

"Iya, Ma, aku juga ga akan kerjakan tugas itu." Sashi ikut menimpali ucapan saudara kembarnya itu.

 

Kedua anak Amelia memang tidak lagi dekat dengan sang papa. Mereka merasa papa-nya jauh lebih mementingkan pekerjaannya. Amelia berusaha menyembunyikan wajah sedihnya. Ia memang tidak mau memberitahukan hal yang sebenarnya pada kedua buah hatinya itu.

 

Adakalanya bersabar dan diam adalah jalan terbaik. Kedua anak Amelia mulai merasakan ada yang tidak beres dengan kedua orang tuanya. Amelia pun tidak bisa menyembunyikan semua itu selamanya. Mereka pasti akan menyedarinya.

 

"Kita coba tanya Papa dulu. Siapa tahu week end ini, Papa, bisa liburan dan jalan-jalan bareng. Ga setiap waktu Papa kalian akan kerja terus. Kita nanti akan coba sama-sama, ya?" bujuk Amelia pada kedua anak kembarnya itu.

 

"Ga yakin, Ma. Tadi pagi aja, Papa udah janji mau antar. Tapi, apa? Papa harus ke kantor 'kan? Arusha tidak lagi bersahat kali ini.

 

"Nak, Papa, bekerja untuk kita semua, jadi kamu harus paham. Kalo Papa ga kerja, kita nanti bagaimana?" Amelia masih berusaha memuji sang suami di depan anak-anaknya meski hatinya sangat sakit saat ini.

 

"Kita lihat sajalah, Ma." Arusha malas berdebat dengan sang mama saat ini.

 

Mereka berempat akhirnya menuju ke gerbang sekolah. Amelia saat ini hendak mengajak mereka untuk naik angkutan umum demi menghemat pengeluaran transportasi. Ia sudah tidak mau lagi meminta uang pada sang suami. Cukup atau tidak uang bulanannya, Amelia berusaha tidak mengeluh.

 

"Sebentar, Nak, ada telepon." Amelia menghentikan langkahnya dan meminta kedua anaknya juga berhenti berjalan.

 

"Halo, selamat siang, maaf ini siapa?" tanya Amelia yang memang tidak mengenal nomor itu.

 

"Maaf, Bu, saya sopir taksi yang tadi pagi."

 

"Lho? Saya tidak pesan taksi. Maaf, mungkin Bapak salah orang." 

 

Amelia segera menutup panggilan telepon itu. Ada-ada saja, bagaimana bisa tidak memesan jasa taksi online, tetapi dihubungi oleh sopir taksinya. Rasanya sangat aneh. Amelia hanya menggeleng pelan.

 

"Dari siapa, Ma?" tanya Sashi sambil mendongak ke arah wajah sang mama.

 

"Ini kayaknya salah sambung. Mama ga pesan taksi online kok ditelepon sama sopirnya." Amelia segere memasukkan ponselnya ke dalam tas yang dibawanya pada bahu kiri.

 

"Ma ... itu 'kan?" Sashi menunjuk ke arah seorang laki-laki yang sedang berjalan menuju ke arah mereka berempat.

 

Amelia menatap sang putri dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Sashi. Dahi wanita berusia tiga puluh empat tahun itu berkerut. Ia pernah melihat sosok itu, tetapi di mana? Amelia menjadi seorang pelupa ketika mendapatkan kiriman video perselingkuhan sang suami oleh nomor yang tidak dikenalnya.

 

"Mungkin, Bapak itu juga mau ke arah sini, Sas." Amelia sama sekali tidak ingat dengan Sultan yang tadi pagi juga mengantarkannya.

 

"Bukan, Ma. Itu Om yang sopir taksi tadi pagi," kata Sashi dengan sangat yakin.

 

Amelia menoleh ke arah sang anak dan melihat ke arah sosok yang kini berdiri di depannya. Matanya memicing untuk memastikan ucapan sang anak. Otaknya tidak mampu lagi untuk mengingatnya. Masalah pelik rumah tangganya sangat menyita hati dan pikirannya.

 

"Ayo, biar aku antarkan saja," kata Sultan dengan lembut dan senyum manis.

 

Amelia melihat senyum itu beberapa detik. Ia berusaha mengingat siapa laki-laki yang ada di depannya, tetapi gagal. Sultan paham dan hanya tersenyum saja melihat Amelia. Sudah sepuluh tahun lebih mereka tidak bertemu.

 

Sejak kelulusan kuliahnya, Sultan melanjutkan kuliah S2 di Jerman. Ia tidak lagi berkomunikasi dengan siapa pun. Patah hati, alasan klasik yang membuat sosok tampan dan mapan itu setuju melanjutkan studi hingga ke Jerman. Kala itu, Amelia menerima lamaran dari Arsa dan membuat Sultan terpuruk.

 

"Maaf, Anda?" tanya Amelia dengan sopan kepada sosok yang tidak diingatnya sama sekali itu.

 

"Saya? Oh, maaf, saya Anggara," kata Sultan yang memang bernama lengkap Sultan Anggara Permana itu.

 

"Oh, maaf, tapi saya tidak pesan taksi online. Eh? Aduh, maaf-maaf, apa Bapak yang tadi menghubungi saya?" tanya Amelia ingin memastikan dan diangguki oleh Sultan sebagai jawaban.

 

Sultan tersenyum kecil melihat wajah terkejut dari Amelia. Wajah itu masih sama dengan belasan tahun yang lalu. Wajah cantik dan tampak sederhana. Wajah yang mampu membuat Sultan betah melajang hingga saat ini.

 

"Tapi saya tidak pesan. Maaf, saya permisi, Pak Anggara." Amelia segera menghentikan angkutan umum yang sedang melaju.

,mulai gelisah karena kegerahan. Cuaca sangat mendung dan membuat badan anak bungsunya gerah. Pun dengan kedua anaknya yang sudah mulai tak nyaman karena masih harus menunggu angkutan umum berikutnya.

 

"Ma, kita naik mobil, Om, ini aja. Ini udah gerimis loh," kata Sashi yang memang merasa tidak nyaman dengan cuaca siang ini.

 

"Iya, Ma. Nanti Aron rewel lagi kaya kemarin pas harus sempit-sempitan di angkot." Aru kali ini justru mendekat ke arah Sultan.

 

Amelia menghela napas panjang. Jujur, ia tidak membawa uang lebih siang ini. Tadi pagi ia buru-buru dan salah membawa dompet. Hanya dompet berisi beberapa uang sepuluh ribuan. Perbedaan ongkos taksi online antara pulang dan berangkat ke sekolah kedua anaknya sangat jelas; lebih mahal saat pulang sekolah.

 

"Nak, Mama, ga bawa uang lebih. Sabar sebentar, ya. Sebentar lagi pasti ada angkutan umum yang lewat." Amelia berusaha menolak halus tawaran dari sosok laki-laki yang ada di depannya dengan cara membujuk kedua anaknya.

 

Tiba-tiba saja Aron menangis dengan sangat kencang. Amelia terkejut, mungkin saja sang anak lapar dan haus. Ia segera membuka tas dan mengambil air untuk diminumkan pada sang anak. Aron justru menolak air minum itu dan semakin menangis kencang.

 

"Tuh, 'kan, belum apa-apa aja, Adek dah rewel, Ma. Udah, ah, aku mau ikut Om ini aja," kata Arusha sambil menggandeng tangan Sultan.

 

Amelia tidak bisa berkutik lagi saat ini. Ia terpaksa mengikuti anak laki-lakinya itu. Benar saja, Aron langsung diam saat berada di dalam mobil milik Sultan. Sesekali, Sultan mencuri pandang ke arah Amelia yang dengan penuh kasih mengusap kepala anak yang ada dalam gendongannya itu.

 

"Bagus, ya! Bukannya hemat-hemat malah foya-foya!" Bentakan itu membuat Amelia dan ketiga anaknya terkejut saat mereka baru saja sampai di rumah mereka. 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau amelia. sikap masa bodo mu membuahkan hasil. makanya jgn cuma pintar ngangkang aja
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status