Entah sejak kapan mama mertua Amelia berada di rumahnya itu. Amelia memejamkan matanya sejenak. Sebentar lagi pasti akan ada cecaran pertanyaan beruntun dati Ratna--ibu mertuanya. Amelia juga tidak menyadari jika Sulthan masih mengantarkannya hingga depan pintu rumahnya."Oh, jadi sekarang sudah berani bawa laki-laki lain saat Arsa sibuk kerja banting tulang buat kasih kamu makan?!" Ratna menunjuk ke arah Sultan yang saat ini berdiri tepat di belakang Amelia. "Kamu minta cerai dari Arsa karena kamu menuduhnya berselingkuh. Kenyataan yang Mama lihat justru sebaliknya, kamu-lah yang berselingkuh!" lanjutnya dengan geram."Maksud Mama bagaimana? Saya tidak paham?" tanya Amelia dengan wajah lelahnya siang ini."Dia siapa?" tanya Ratna sambil menunjuk ke arah Sultan dan membuat Amelia menoleh ke arah belakang tubuhnya.Amelia terkejut karena sopir taksi itu ikut mengantarkannya hingga depan rumahnya. Ia sama sekali tidak menyadarinya. Sudah pasti Ratna akan salah paham. Parahnya, sosok ibu
"Mas, untuk menjadi anggota kepolisian 'kan ga mudah. Apa kata orang tuaku nanti jika mendadak aku mengundurkan diri?" "Ya, kamu bilang apalah gitu. Mau fokus urus rumah tangga.""Mas, jangan egois. Pangkat kita saja berbeda. Lebih tinggi pangkatku."Dada Arsa kembang kempis menahan amarah saat Prita membahas tentang pangkat. Tidak usah disebutkan tentang pangkat. Sejak awal semua sudah tahu jika Prita Yuliana lulusan Akademi Kepolisian dengan nilai kelulusan yang sangat baik. Arsa kesal setiap kali membahas masalah pangkat."Maksud kamu, aku yang harus keluar?!""Mas? Kita semua tahu dari awal masalah kita sangat pelik saat ini. Aku ga bisa kalo harus mundur dari keanggotaan kepolisian ini.""Terserah kamu. Kalo karirku hancur, kamu juga harus ikut menanggungnya!"Arsa mematikan panggilan itu karena jika dilanjutkan perdebatan mereka tidak akan selesai. Sosok ayah tiga anak itu menjambak rambut cepaknya dengan kasar. Masalah yang dihadapinya tidak akan selesai begitu saja. Uang? Apa
Amelia duduk di kamar Sashi sambil memangku Aron. Pikirannya sama sekali tidak fokus saat ini. Permintaan sang suami telah menyakiti hatinya. Bagaimana bisa seorang suami meminta istri sahnya untuk bersabar dan meminta kehadiran wanita lain dalam rumah tangganya. "Mama ... ih, ga dengar pasti yang Sashi omongin barusan." Sashi kini merajuk karena kesal dengan sikap tidak peduli Amelia. "Eh? Apa, Nak? Maaf, Mama malah bengong. Kamu bicara apa?" tanya Amelia sambil mengubah mimik wajahnya agar tampak tidak sedih. "Mama! Aku sama Arusha sepakat kalo nanti week end kita jalan-jalan berempat aja. Papa pasti sibuk kerja. Sayang kalo ga mengerjakan tugas. Takutnya nilaiku sama Aru nanti kurang," kata Sashi mengulang ucapannya tadi. "Baiklah. Emang mau kemana kita?" tanya Amelia dengan lembut agar sang anak tidak tersinggung. "Tadi sih, Arusha bilang ke Taman Warna aja, Ma. Yang ga terlalu mahal dan bisa bawa makanan dari rumah. Nanti bawa bekal dan tikar kecil aja, Ma. Naik angkutan umum
"Aku pendarahan, Mas." Arsa memejamkan mata saat mendengar ucapan dari yang mengubunginya. Amelia hanya diam dan mengajak anak-anaknya keluar dari ruangan tempat Arsa sedang menerima panggilan itu. Ia tidak tahu nanti anaknya akan bertanya banyak hal perihal telepon itu. Arsa menatap kepergian Amelia dengan wajah sendu. Bodoh! Mengapa Prita menghubunginya saat ia sedang bersama dengan Amelia. Sudah bisa dipastikan, Arsa akan segera meninggalkan rumah. Panggilan telepon dari wanita itu akan membuat Arsa lupa dengan segalanya. Beruntung anak-anak tidak mengiakan ajakan Arsa untuk jalan-jalan. Mereka pasti akan sangat kecewa. "Apa?!" Arsa terkejut karena mendengar berita itu. Semenjak melakukan hubungan intim dengan wanita simpanannya Arsa selalu menggunakan pengaman. Ia tidak mau semua rusak hanya karena Prita menggandung. Hari ini justru ada berita jika wanita itu mengalami pendarahan. Arsa tidak bisa berpikir panjang lagi dan benar seperti dugaan Amelia; sang suami keluar dari ru
Amelia meninggalkan Arsa setelah mengatakan hal itu. Arsa yang masih sangat emosi itu segeta mengambil ponsel milik sang istri. Benda pipih lawas dengan model yang sudah ketinggalan zaman itu tergeletak begitu saja. Arsa memeriksa satu per satu pesan dan panggilan masuk dan keluar. Tidak ada pesan untuk Fajar sama sekali. Juga tidak ada nomor kontak milik Fajar. Arsa berulangkali mencocokkan setiap nomor ponsel dalam ponsel milik Amelia. Tetap saja, tidak ada nomor milik Fajar. Salah paham dan begitulah setiap saat. Tanpa Arsa ketahui fakta yang sebenarnya terjadi. Amelia selalu saja sebagai pihak yang tersudut dan selalu salah. Ia lupa bagaimana perjuangan Amelia dulu. Bukan jumlah yang sedikit keluarga sang istri membantu perusahaan milik keluarga Arsa. Sayangnya, tidak semua orang paham cara balas budi. Mereka seolah menganggap Amelia hanya menumpang hidup pada Arsa. Miris dan sangat menyedihkan setelah kepergian kedua orang tua Amelia dan usaha kedua orang tuanya dinyatakan ban
Arsa terdiam, tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan Amelia. Sang istri bahkan tidak mengajaknya berbicara saat mengajukan gugatan cerai. Mengadukan gugatan cerai? Kapan? Mendadak Arsa ketakutan saat ini. Apakah Amelia melapor pada Fajar ssbagai atasannya di kantor? Kapan? Lagi-lagi semua pertanyaan itu sulit untuk mendapatkan sebuah jawaban. Rumit dan sama sekali tidak ada jalan keluar saat ini."Kita tidur lagi, ya, Nak. Maaf, tadi Mama ke kamar mandi. Mama tadi buang air kecil dulu. Takutnya, Mama, mengompol nanti kalo menahan pipis." Amelia berusaha membujuk sang putra saat iniTerdengar suara Aron dan Amelia tertawa. Arsa masih bisa mendengarkannya dengan jelas obrolan mereka berdua. Sudah sangat lama, ia tidak lagi punya waktu mengobrol dengan anak-anaknya. Keberadaan Prita mengalihkan dunianya sesaat.Dering beda pipih di samping Arsa mengejutkan sosok ayah tiga anak itu. Prita, nama yang tertera dalam layar ponselnya. Amelia menulikan telinganya saat ini. Ia paham, sebe
Arsa langsung bungkam seketika saat mendengar jawaban dari sang istri. Terlebih kedua anak kembarnya menatap dengan banyak tanya pada mata mereka. Arusha paling ingin tahu dengan kelanjutan ucapan sang papa. Siapa yang disangka iri itu? "Prit siapa? Kenapa Mama harus iri padanya?" tanya Arusha sambil menatap kedua orang tuanya secara bergantian. "Papa hanya salah bicara, Nak. Ayo kita segera berangkat. Angkutan umum akan penuh saat hari libur begini." Amelia segera mengajak ketiga anaknya agar segera bersiap. Napas Arsa seolah tersengal seperti baru saja berlomba lari. Emosinya yang sering meledak-ledak itu selalu salah tempat. Amelia selalu menjadi sasaran amukannya. Salah apa istri pertamanya itu? "Kalian mau kemana?" tanya Ratna saat Amelia baru saja membuka pintu rumahnya. "Kami mau ke taman, Nek. Ada tugas sekolah jadi kami harus mengerjakannya," jawab Sashi dengan lembut. "Dikira saya bodoh apa? Heh! Anak kamu itu jangan diajari berbohong. Mau jadi apa nanti dia!" Ratna be
Ratna menatap mata anaknya dengan tajam. Mata sang putra tampak sedang bingung saat ini. Ratna paham bagaimana kondisi sang putra. Wanita serakah itu hanya mengincar kekayaan keluarga Prita saja. Ratna sama sekali tidak tahu siapa Prita sebenarnya. Uang dan harta adalah tolak ukur bagaimana Ratna menyayangi menantunya. Amelia jelas tidak akan disayang karena jatuh miskin. Uang dan kekayaan telah membutakan hati wanita yang telah melahirkan Arsa itu. "Jangan menjadi laki-laki munafik. Mama tahu kamu lebih mencintai Prita dibandingkan Amelia. Lihat istri tuamu itu, wajahnya kusam, tubuhnya bau, dan tidak lagi muda seperti dulu. Mama menganggap wajar ketika kamu jatuh cinta pada wanita muda lainnya." Ucapan Ratna membuat mata Arsa melebar karena terkejut. Kedua orang tua Arsa tidak pernah bertengkar satu sama lain. Mereka juga tidak ada pihak ketiga. Mama dan Papanya masing-masing sangat setia kepada pasangannya. Mengapa saat ini justru wanita paruh baya itu mendukung perselingkuhanny