Share

8. Malam yang indah

“Damn! Kenapa isi koper aku, bajunya kurang bahan semua?!”

Mata Chava terbuka lebar, mulutnya terbuka sedikit. Chava sungguh terkejut melihat isi koper miliknya, tiba – tiba saja berubah. Padahal Chava masih sangat jelas memasukan pakaian – pakaian yang aman ke koper miliknya.

Chava tidak ingin menyerah, dia terus menerus memeriksa baju – baju yang ada disana, namun hasilnya nihil, tetap sama seperti semula.

Matanya kini tertarik pada selembar kertas yang kini terselip di salah satu baju. Dia mengambil kertas tersebut, membuka secara perlahan.

“Kejutan! Selamat menikmati malam pertama! Semoga cepat – cepat kasih aku keponakan yang lucu – lucu. Aunty Binar dan Joya, selalu menanti.”

Chava tersenyum miris melihat tulisan dari kertas tersebut. Ternyata semua ini ulah sahabat – sahabatnya. Chava menyugar rambutnya, merasa frustasi memikirkan baju apakah yang akan dia pakai.

“Argh! Awas aja ya kak Binar dan Joya, aku akan balas kalian!” Ancam Chava pada kedua sahabatnya itu.

Tok Tok Tok

“Ca, kamu enggak apa – apa? Kenapa lama banget di dalam?”

Ketukan pintu di iringi suara Alvian, membuat jantung Chava seakan melompat keluar. Terhitung sudah satu jam, Chava berada di kamar mandi, menghabiskan waktu dengan mencari – cari pakaiannya.

“Aku enggak apa – apa! Sebentar lagi keluar.” Teriak Chava pada Alvian di luar sana.

Sebenarnya Chava enggan memakai baju yang menurut Chava kurang bahan ini, apalagi mengingat malam ini adalah malam pertamanya dengan Alvian.

Chava memang sangat mencintai Alvian, tapi Chava benar – benar takut untuk melakukan hubungan intim dengan Alvian. Bukan takut, namun Chava malu dan bingung harus melakukan apa.

“Oke. Aku tunggu.”

Mendadak perut Chava merasa mulas, hanya mendengar kata “Tunggu” saja dari Alvian. Chava menghirup udara dalam – dalam, lalu mengeluarkan perlahan, mengulanginya selama tiga kali.

“Enggak apa – apa, Chava. Cuman lakuin malam pertama aja, sebentar. Itu kewajiban kamu untuk melayani Aim, dia suami kamu. Ayo kamu pasti bisa!” ujarnya menyemangati diri sendiri.

Setelah merasa detak jantungnya berdetak normal, Chava mengambil salah satu pakaian yang dia sebut kurang bahan itu, kemudian terpaksa memakainya. Dia menyemprotkan parfum pada lehernya, lalu pada pergelangan tangan.

Tak lupa, dia juga memoleskan make up pada wajahnya, tidak terlalu tebal, masih terlihat natural.

Chava melihat dirinya di cermin, memastikan tidak ada yang aneh baik itu dari riasannya sampai ke baju yang dia pakai.

Perlahan Chava menaikan sudut bibirnya, meski dia sedang gugup, dia tidak boleh terlihat gugup di hadapan Alvian.

***

Alvian kini berkutat pada ponselnya, membalas pesan – pesan yang di kirimkan oleh teman – temannya dan para rekan bisnisnya yang mengucapkan selamat atas pernikahan dia dan Chava.

Alvian membetulkan posisi duduknya di pinggir ranjang, saat mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka.

Alvian melirik pada Chava yang sedang menutup pintu kamar mandi, ketika Chava membalikan badannya, Alvian mendadak membeku. Mata Alvian bergerak menatap Chava dari bawah hingga ke atas, dia menelan ludahnya, tubuhnya bahkan terasa panas dingin sekarang.

“Abang, maaf aku lama.” Ucap sang istri dengan di iringi senyuman. Senyuman yang bahkan kini terasa indah dia lihat.

Chava kini mengenakan lingerie berbahan satin, berwarna merah maroon dengan tali spaghetti yang Alvian yakini, jika tali itu akan gampang terputus. Baju tersebut bahkan sangat pendek, tak hanya itu, lekukan tubuh Chava terlihat lebih menonjol.

Alvian merasakan tubuhnya berkeringat dingin, matanya bahkan tidak berkedip. Alvian merasa gerah, apalagi ketika melihat wajah Chava yang lebih cantik dari biasanya. Sebagai pria yang normal, bohong jika Alvian tidak tergoda.

“Abang, kamu kenapa?” Alvian terlalu mengagumi Chava, hingga tak sadar kini istrinya itu sudah duduk di samping Alvian.

“Eh – aku enggak apa - apa.” Jawab dia penuh dengan kebohongan.

“Masa sih? Sebentar,” Chava menempelkan telapak tangannya pada kening Alvian, yang membuat tubuh Alvian semakin kegerahan.

“Ah aku pikir kamu sakit. Beneran enggak apa – apa ternyata.”

Setelah melepaskan telapak tangannya pada kening Alvian. Chava mengalihkan tatapannya ke arah depan, tubuhnya bergidik, suhu di ruangan ini dingin dan terasa menusuk ke kulitnya.

Mendadak suasana menjadi canggung, baik Alvian dan Chava sama – sama menutup mulutnya rapat – rapat. Yang terdengar sekarang hanya suara deru napas keduanya dan suara jam yang menempel di dinding.

“Ca, mau tidur?” ajak Alvian dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“I-ya, mau.” Chava memejamkan mata, dia tidak sengaja menunjukan kegugupannya.

Saat Chava ingin menggeser posisinya, tidak sengaja dia menyentuh punggung tangan Alvian yang berada di atas ranjang.

Alvian seperti tersengat oleh aliran listrik, mati – matian dia menetralkan detak jantungnya, kini kembali berdegup kencang, lebih parah lagi kini bagian tubuh bawahnya terbangun.

“Eh? Maaf, aku gak sengaja.” Sesal Chava.

Bau parfum Chava yang sangat harum, kini memasuki hidung Alvian. Alvian benar – benar sudah tidak tahan sekarang, dia kini beralih mengenggam tangan Chava.

Tatapan mata Alvian kini menyala, jakunnya naik turun. Alvian seperti singa yang ingin menerkam mangsanya, sehingga membuat pupil mata Chava melebar dan Chava menggigit bibir bawahnya. Chava menjadi sangat gugup sekarang.

“Boleh aku cium kamu, sekarang?”

“Eh?”

Tanpa membiarkan Chava menjawab pertanyaan darinya, Alvian terlebih dahulu menarik tubuh Chava lebih dekat, kemudian satu tangannya memegang pipi Chava.

Ibu jari Alvian kini mengelus bibir Chava yang merah. Dia bahkan tidak melepaskan tatapan matanya pada mata Chava, deru napas Alvian bahkan semakin mendekat.

Chava menutup matanya ketika bibir Alvian menyentuh bibirnya. Bibir Alvian bergerak melumat bibir Chava yang manis, Chava pun berusaha mengimbangi permainan Alvian.

Ciuman itu terasa memabukan, ciuman yang tidak hanya ada nafsu di dalamnya, Chava merasakan ada cinta yang terselip.

Alvian melepaskan ciumannya, menjauhkan wajahnya dari Chava. “Ca, boleh aku sentuh kamu lebih dari ini?”

“Boleh. Aku milik kamu sekarang. Cinta aku, rasa sayang aku dan tubuh aku, milik kamu.”

Mulut Alvian melengkung membentuk senyuman, “terima kasih, Chava.” Ujarnya.

Alvian kembali mendekatkan wajahnya pada Chava, menyatukan kembali bibirnya dengan bibir Chava. Bahkan tangan Alvian mulai melepaskan tali yang berada di baju Chava dan membaringkan tubuh Chava secara perlahan.

Perasaan cemas Chava untuk malam ini, mendadak hilang. Tergantikan oleh desahan – desahan yang kini mengalun indah. Chava berhasil menyatu dengan cintanya, yaitu Alvian.

***

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status