Share

9. Bulan madu

Mata Chava berbinar – binar, mulutnya bahkan terbuka sedikit, dia tidak henti – hentinya memandang takjub pemandangan yang dia lihat dari balkon Vila yang Alvian sewa .

Air laut yang berwarna biru seakan menggoda Chava untuk berenang kesana, apalagi di tambah dengan langit yang cerah disertai burung – burung yang beterbangan kesana kemari.

“Abang, makasih banyak udah bawa aku honeymoon disini!” jerit Chava pada Alvian yang baru saja selesai meletakan koper.

“Enggak usah heboh, kamu kan sering ke Bali.”

“Ih beda tahu! Kalau ke Bali nya sama kamu, jadi lebih indah.” Ujar Chava dengan mengedipkan sebelah matanya pada Alvian.

“Dasar!”

Tubuh Chava bergetar karena mentertawakan Alvian. Namun yang Chava ucapkan benar – benar kenyataan, bukan hanya godaan untuk Alvian. Tempat ini benar – benar lebih indah ketika datang kesini bersama Alvian.

“Sini deh abang?” Chava menjulurkan tangannya pada Alvian, lalu di balas oleh Alvian dan kemudian mengenggam tangannya.

Chava membawa Alvian keluar dari kamar menuju ke balkon. “Tuh lihat? Indah banget kan?” tanyanya dengan meng ayun-ayunkan  tangan Alvian.

Senyumnya bahkan tidak lentur, hingga membuat sudut matanya tertarik.

Mata Alvian kini di suguhkan oleh air laut yang berwarna biru terang, bahkan hidungnya kini bisa mencium bau laut dan suara ombak yang tenang masuk ke telinganya.

“Iya, indah.” Alvian setuju dengan perkataan Chava.

“Tuh kan, benar! Di bilangin enggak percaya amat sih, suami ku ini.”

Chava memeluk lengan Alvian, kepalanya dia sandarkan pada bahu Alvian. Lagi – lagi Chava menikmati pemandangan yang ada di hadapannya, sesekali melirik Alvian yang berada di sampingnya. Oh, indahnya.

“Aku jadi pengen pindah kesini, deh! Suasananya tenang, nyaman dan jauh dari orang – orang yang nyebelin.”

Chava tidak bisa menyembunyikan euphoria yang di rasakannya. Berada jauh dari Jakarta, hal itu akan membuat Chava bisa lebih menghabiskan banyak waktu dengan Alvian.

Chava juga tidak akan merasa terselingkuhi oleh pekerjaan Alvian yang selalu banyak itu dan menganggu momen kebersamaannya dengan Alvian.

“Orang yang nyebelin? Bukannya kamu suka bilang aku menyebalkan, ya?”

“Ih, kalau kamu tuh nyebelinnya juga beda.” Protes Chava.

“Apa bedanya?”

“Kalau kamu tuh, meskipun nyebelin, tapi buat aku tetap suka. Iya, sih, aku akan marah kalau kamu mulai menyebalkan, tapi aku enggak bisa marah lama – lama sama kamu.”

Alvian tersenyum simpul, “gombal!” kemudian tangannya mencubit pelan hidung mancung Chava.

“Enggak gombal, Abang. Fakta ini.” Pekik Chava yang merasa perkataannya di anggap hanya gombalan.

“Yaudah, iya.”

Bunyi dering telepon kini terdengar memasuki telinga Chava dan Alvian. Alvian yang merasa bunyi tersebut berasal dari ponselnya, segera merongoh saku celananya.

Dia mengambil ponsel tersebut, serta melihat siapa yang menelponnya.

Mario

Mata Chava tidak sengaja melihat nama yang berada di layar ponsel Alvian. Itu dari Mario — adik Alvian yang merangkap menjadi sekretaris Alvian. Ada dua kemungkinan Mario menelpon, satu karena pekerjaan, kedua karena iseng saja.

Alvian menggeser tombol itu kebagian kiri, “Ada apa?” tanya Alvian pada Mario yang ada di seberang sana.

Alvian merapatkan bibirnya, mendengarkan Mario yang sedang berbicara. Alvian melirik Chava yang ada di sebelahnya, dia menjauhkan ponselnya tanpa mematikan panggilan.

“Sebentar ya?” ijin Alvian pada Chava.

Chava menganggukan kepala, jika Alvian sudah seperti ini, meminta ijin menjauh untuk menelpon. Chava pastikan bahwa telepon tersebut tentang pekerjaan. Chava melepaskan pelukannya pada lengan Alvian dan membiarkan Alvian berjalan menjauh dari Chava.

Chava tersenyum tipis, merasa kecewa dengan situasi ini. Namun dia berusaha berpikir positif, mungkin saja Alvian menerima panggilan dari Mario sekali ini saja, nanti tidak akan lagi.

**

“Bisa enggak sih, kamu makan dulu? Jangan sibuk mainin laptop kamu.”

Chava menatap Alvian dengan mata yang menyala, dengan bibir yang menekuk. Namun Alvian seperti tuli, dia masih berkutat pada laptopnya, mengerjakan pekerjaannya.

Seharusnya makan malam kali ini menjadi makan malam yang romantis. Apalagi mereka makan malam di pinggir Pantai, di hiasi oleh lampu – lampu kecil yang menyala, serta lilin di atas mejanya.

Bahkan di atas sana, banyak sekali bintang yang bersinar indah dengan bulan yang bercahaya seakan menyinari mereka.

Chava meletakan garpu dan pisaunya ke atas piring dengan kasar. “Alvian!” panggil Chava pada Alvian, sedikit meninggikan suaranya.

“Eh apa?”

Chava mengembuskan napas dengan berat serta menyipitkan mata. Alvian benar – benar membuat Chava naik pitam sekarang.

“Makan dulu! Kamu dari kita sampai ke Bali, belum makan apapun. Kamu malah sibuk sama ponsel dan laptop kamu.” Kata Chava dengan nada bicara yang tidak enak untuk di dengar.

“Iya, sebentar. Nanti aku makan, nanggung Ca.” Jawab Alvian yang bahkan tidak memandang Chava yang ada di hadapannya.

Chava tersenyum tipis, tidak percaya dengan jawaban Alvian yang dia dengar. Dia meraih gelas berisi wine itu, kemudian meminumnya dengan cepat, dia bahkan tidak mempedulikan dampaknya yang bisa saja membuat dia tersedak.

Bukan karena haus Chava meminum itu, melainkan karena tubuhnya terasa panas, terbakar oleh api kemarahannya. Alvian dari Mario menelponnya sampai sekarang tidak berhenti bekerja, seperti tidak ada hari esok untuknya.

Dug!!!

Chava meletakan gelasnya dengan tidak ramah, dia kini menatap Alvian dengan nyalang. “Makan sekarang, atau aku juga gak akan makan!” ancamnya pada Alvian.

Ancaman Chava pada Alvian berhasil, Alvian terlihat berhenti memainkan laptopnya. Meletakan laptop tersebut ke kursi yang ada di sebelahnya. Kini mata Alvian beradu pandang dengan Chava.

Chava bisa melihat wajah lelah Alvian. Hal itu membuat tatapan Chava yang tadinya tajam berubah menjadi nanar, kemarahannya masih belum reda, namun melihat Alvian yang seperti ini membuat hati Chava terenyuh. Alvian selalu saja memaksakan bekerja meski dia sudah lelah.

“Iya, aku makan.” Lirih Alvian.

Alvian mulai memasukan potongan daging tersebut ke dalam mulutnya. Namun Chava masih memandang Alvian dengan tatapan yang nanar.

Chava mengepalkan tangannya, kini tangannya itu ingin sekali memukul Mario yang tadi menelpon Alvian. Jika saja Mario tidak menelpon, mungkin Alvian tidak akan sibuk.

“Ca, aku udah makan. Kamu juga makan.” Perintah Alvian yang melihat Chava terdiam dengan memandangi dirinya.

“Iya, Abang.”

Chava kembali meraih garpu dan pisau yang tadi dia letakan. Memasukan kembali daging sapi yang sudah di potong itu ke mulutnya. Terpaksa mengunyah makanan tersebut, padahal nafsu makannya kini sudah hilang.

Hari pertama mereka berbulan madu saja, sudah berhasil membuat Chava kesal. Semoga saja hari esok menjadi lebih baik lagi. Jika besok Alvian masih seperti ini, entah apa yang akan Chava lakukan.

**

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status