Share

Pernikahan yang Tak diinginkan
Pernikahan yang Tak diinginkan
Penulis: Penrasi

1. Rumah Sakit

Bab 1. Rumah sakit. 

 ***

 Gadis berambut panjan lurus hitam legam  dengan poni kedepan menatap ruang       icu dengan cemas bola mata barwana coklatnya menahan butiran bening  akan tumpah dari kelopak matanya, ia lalu mendongak menahan sesak  dihatinya jika pertahanannya runtuh saat itu juga maka siapa yang akan menenangkan adiknya yang menangis tak ingin kehilangan Bundanya yang sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam sana

"Kak, Bunda tidak akan pergi kali ini kan?" ucap sang adik keatakutan. 

Gadis itu memaksakan senyumnya lalu berucap, "Kita doakan Bunda ya, Dek kuat melawan penyakitnya." 

"Selalu kak, aku selalu berdoa semoga bunda cepat sembuh. Aku rindu tawa Bunda dulu, Rumi ingin kita kumpul di rumah lagi bukan di rumah sakit terus seperti ini. Aku Rindu masakan Bunda."

 

Aulia mengangguk mengiayakan, ia pun merindukan hal itu, sejak dua tahun terakhir mereka bergantian menjaga Bundanya di rumah sakit, meskipun selalu disibukkan untuk bekerja. Pulang kuliah  ia pun kerja hingga jam 9 karena Aulia lah yang menanggung semua keperluan mereka mulai dari biaya rumah sakit, uang sekolahnya dan adiknya serta kebutuhan sehari-hari mereka.  Ia harus mengorbankan masa mudanya untuk bekerja saat teman- teman seusianya sibuk jalan-jalan,  bercanda menikmati masa muda mereka. Ia tak pernah mengeluh sama sekali karena sejak kecil sudah terbiasa menjadi pribadi yang independen karena terlahir dari keluarga sederhana, ia pun menghabiskan waktunya hanya untuk pendidikan dan juga bekerja. 

"Iya dek, Bunda kuat tidak akan mungkin menyerah secepat itu."  

Ia terus saja menyakinkan adiknya meskipun hatinya cemas dan khawatir kondisi Bundanya tidak akan selamat. Ia segera mengusap butiran bening air matanya yang berhasil lolos, tidak ia tidak boleh rapuh di depan adiknya. 

Kedua gadis itu terus menatap lurus ke pintu di mana Bunda mereka berjuang, bibir mereka tak hentinya melafalkan doa keselamatan Bundanya. Suasana sepi di koridor rumah sakit semakin membuat atmosfer di sana tegang Aulia terus meremas jemari tangannya berharap bunda dan dokter di sana segera keluar, sudah dua jam mereka menunggu kabar dari dokter berharap ibunya bundanya baik-baik saja.

Kepanikan keduanya semakin berlanjut  perawat berlari tergesa-gesa keluar saat itu Aulia refleks berdiri dari kursi tangisan nya pecah saat itu juga 

"Sus apa yang terjadi bunda saya baik-baik saja kan?" ungkapnya dengan suara bergetar cemas  dan khawatir

Suster tersebut menatapnya iba dengan perasaan simpati.

"Tenang saja dek ibunda adek baik-baik saja." 

Mendengar itu Aulia hanya diam menatap kosong ke punggung suster tersebut kembali masuk ke dalam ruangan. Kalimat yang dilontarkan suster tersebut hanyalah sebuah kalimat penenang saja sebagai antisipasi agar dirinya tidak sedih namun dalam hatinya memohon agar apa yang dikatakan suster itu benar adanya dan semoga ibunya bisa bertahan.

Setelah beberapa saat menunggu dokter dan suster tersebut keluar dengan raut yang membuat kedua gadis itu bertanya-tanya bagaimana kondisi ibu mereka.

"Dokter—" 

"Ibu anda baik-baik saja,  kamu ikut saya," ucapnya terpotong saat dokter tersebut mengucapkan ibunya masih bertahan sejauh ini.

Mendengar kabar itu, ia  tidak merasakan lega sama sekali apalagi saat dokter tersebut menyuruhnya untuk menemuinya ke ruangan pribadinya berbicara secara pribadi. Iya mengikuti dokter tersebut dari belakang dengan wajah terus menunduk dengan pikiran kosong.

"Kanker rahim ibumu semakin parah sudah menjalar ke beberapa sel darah dari tubuhnya jika lambat untuk melakukan kemoterapi maka kami ini tidak bisa menjamin apakah ibumu bertahan lama jadi kami menyarankan untuk segera melakukan hal tersebut. Bahkan melihat kondisinya sekarang sudah memasuki kanker stadium 4"

"Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan kemoterapi terapi berapa dok?"

Dokter itu menatapnya cukup lama ia tak menyangka jika perempuan itu terus menyanggupi setiap prosedur yang dilakukan disarankan untuk ibunya meskipun biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit bahkan dokter tersebut kagum dengan kegigihannya, gadis itu tidak pernah mengeluh tentang apapun meskipun itu besar sekalipun akan terus menyanggupi asalkan ibunya bisa sehat kembali. 

"Apakah kamu yakin? Ini memerlukan biaya tidak sedikit." 

Aulia mengangguk mantap. " kesehatan ibunda saya lebih penting dibandingkan uang yang saya keluarkan karena bagaimanapun dia adalah satu-satunya rumah kami untuk pulang. Pengorbanan yang saya lakukan ini belum cukup untuk membalas semua jasa dan waktu  dalam membesarkan kami seorang diri," tutur Aulia tanpa tanpa sadar menceritakan masalah pribadi keluarganya tersebut.

Garis bibir dokter tertarik sempurna tentu saja mendengar keluhan dari kesaksian bukankah yang pertama kalinya.

"Minggu ini kemoterapi akan dilakukan kamu bisa menebus administrasi nya setelah kemoterapi tersebut di belakang saja." ungkapan dokter itu memberikan keringanan.

"Terima kasih dokter, saya berjanji akan membayar secepat mungkin setiap kali bunda saya menjalani kemo." 

***

Hana mendesah berat menatap biaya kemoterapi bundanya sekitar 11 juta lebih dan setiap minggu harus dilakukan. Sedangkan tabungannya saja tidak cukup dan gajinya tidak mampu menutupi kemo. Meskipun begitu tak'kan berputus asa. 

Ia menuju ruangan Bundanya  istirahat memalsukannya senyumnya menutupi semua beban pikirannya seakan tidak terjadi apa-apa saat ini. 

"Aulia, kamu tidak kuliah, Nak?" peringat Bundanya. 

"Ini baru mau berangkat Bun, mata kuliahku hari ini masuk jam saing." 

Marwah menatap anaknya lekat firasatnya mengatakan kalau anaknya itu sedang bohong padanya, sejak tadi putri sulungnya itu mencari kesibukan, tanpa berniat menghadapnya bahkan menatapnya. 

"Kamu bohong sama bunda lagi," tutur Marwah. Aulia berbalik, menatap wajah pucat Marwah.

Derai air matanya jatuh tak tertahankan sejak mendengar kabar ibunya kembali masuk ke ruang Icu ia memutuskan untuk pulang meninggalkan mata kuliahnya. 

"Maafin Aulia Bun," ungkapnya merasa bersalah, bukan karena bolos kuliah kali ini tapi belum bisa memberikan yang terbaik untuk pengobatannya.

"Lain kali jangan diulangi lagi. Bunda ingin masa depan anak Bunda bagus." 

Aulia mengangguk saja lalu menghapus air matanya melangkahkan kakinya ke ranjang tersebut.

"Bunda, jangan tinggalin kami, jangan menyerah sama penyakit Bunda. Kalau Bunda juga pergi lalu ke mana lagi kami berlindung." 

Marwah mengusap air matanya, ia juga ingin bertahan untuk kedua putrinya namun juga memikirkan biaya atas pengobatannya bukanlah sedikit bahkan putri sulungnya sudah berjuang demi memenuhi semuanya. 

"Bunda akan bertahan sebisanya dan melawan penyakit ini." 

  ***

Pagi ini Hana berangkat kuliah tak bersemangat sama sekali, matanya sembab sehabis menangis memikirkan masalah pengobatan Bundanya dari mana mendapatkan uang sebanyak itu waktu seminggu.  Ia terus berjalan seraya menundukkan pandangan memikirkan pekerjaan apalagi yang harus dilakukannya. Langkahnya terhenti menatap sepasang sepatu di depannya. Ia menaikkan pandangannya secara perlahan. 

Sejenak mengernyitkan beberapa atensi tertuju padanya, bingung apa yang sebenarnya terjadi. Ia mengambil cermin kecil dalam tasnya menatap wajahnya sudah sangat buruk pantas saja mereka memandangnya aneh. Ia lalu memakai masker yang selalu dibawanya ke mana-mana. Lalu kembali melangkah cuek dengan tatapan orang lain. 

"Hai kamu!" panggil seseorang padanya namun tak merasa sekali terus melangkah. 

"Yang memakai masker hitam." Langkahnya terhenti, ia berbalik menunjuk dirinya sendiri.

"Saya?" ulangnya lagi mengerutkan kening tidak mengenal laki-laki berdiri beberapa centi di depannya.

 Ia memperhatikan penampilannya dari ujung sepatu hingga pucuk kepalanya. Outfit digunakannya semua barang branded. Baru kali ini melihatnya. 

"Ya? Ada kepentingan apa memanggil saya?" tanya Aulia dengan percaya diri seakan mahasiswa populer dengan prestasi..

Mereka menyaksikan itu mencibir Aulia secara terang-terangan bukankah hanyalah mahasiswa buangan yang namanya saja tidak pernah terdengar. 

"Kamu semester berapa? Kelas mana?" 

Aulia mendengus atas pertanyaan itu, apa pentingnya mengetahui kelasnya di mana membuang waktunya saja, matanya melirik ke jam tangan dikenakan kelasnya akan segera dimulai. Netranya sejenak menatap laki-laki itu dengan wajah datar tanpa senyuman lalu mengabaikannya. 

"Kamu belum menjawab pertanyaanku!" Teriak laki-laki itu lagi. Namun, Aulia tetap cuek  terus  mengabaikannya. 

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status