Share

2. Pertemuan

Aulia terburu-buru masuk ke kelasnya  hampir saja terlambat, semenit saja telat Dosennya itu tidak akan memberikan tolerasi, namanya adalah pak Haris dosen paling perhitungan dan paling banyak memberikan tugas untuk mahasiswanya bahkan aulia sendiri sudah mendaftarkan nama Pak Haris kelak ketika sudah menyusun tidak akan memilihnya. Ia banyak mendengar kalau dosennya itu banyak menyiksa mahasiswa semester akhir sampai takut, walaupun beberapa Mahasiswa mengincarnya karena setiap anak bimbingannya selalu dipermudah saat seminar dan ujian meja namun bagi Aulia menghindari lebih baik.

"Hampir saja loh kamu telat! Tumben?" Aulia mendesah panjang. 

"Bentar  aja deh aku ceritain, ditegur pak Haris bisa berabe dapat nilai C langsung. Aku tidak mau ngulang semester pendek bayar lagi." 

Aulia sangat berhati-hati dengan nilainya peraturan dikampusnya ketika mahasiswa mendapatkan nilai C maka wajib ikut semester pendek dan membayar lagi sesuai peraturan.  Biayanya permata kuliah sebesat 150 ribu mungkin bagi teman-temannya tidak masalah dan dianggap mudah tapi tidak dengan Aulia. Uang segitu sudah bisa menghidupinya sebulan membeli beras  dan juga untuk keperluan lainnya misalnya membelikan peralatan sekolah Arumi.

"Oh oke. Jangan lupa kamu utang penjelasan ke aku." 

"Hmm," gumam Aulia lagi memerhatikan pak Haris menjelaskan dengan serius. 

"Baiklah saya tutup kelas ini dengan tugas makalah. Silakan pilih kelompok kalian cukup 3 orang saja." 

Aulia menatap ke dua temannya itu, memberikan isyarat agar mereka satu kelompok dan mendapatkan feedback baik. 

"Keadaan bundamu gimana, sudah ada perkembangan?" 

Hana menggelengkan kepalanya, bukannya membaik semua semakin kacau membuatnya sedih lagi.

"Kankernya sudah menyerang beberapa  sel pembuluh darah. Sudah masuk kenker stadium 4 dan harus menjalankan kemoterapi berat. Widya, Faris." 

Kedua sahabatnya itu saling melempar pandangan ikut iba mendengar kabar itu. Mereka berdua juga belum bisa membantu Aulia masalah biaya karena mereka sendiri masih menjadi beban orang tua. Uang kuliah mereka saja sekitar 2 juta cukup berat. 

"Maaf kan aku, karena belum bisa membantu lebih untuk Tante." 

Faris menunduk lesu merasa tak berdaya ke Aulia, mereka masih memiliki hubungan keluarga jauh sebab itulah hanya Faris satu-satunya laki-laki yang dekat dengannya. Selama ini Aulia selalu membatasi interaksi dengan laki-laki manapun tak jarang berinteraksi hanya karena formalitas saja berinteraksi terlalu jauh tentu saja aulia menghindari itu.

"Akupun sama. Selain membantu menjaga ibumu tidak ada lagi yang bisa kulakuan. Jasa kalian sangat banyak padaku tapi aku bisa apa."

Aulia terenyuh mendengar penuturan sahabatnya itu. Ia tidak meminta balasan sama sekali atas apa yang sudah dilakukannya. Sejak dulu Marwah mengajarkan ke-2 putrinya ketika memberikan bantuan ke orang lain jangan pernah mengharapkan balasan kembali bundanya selalu percaya kebaikan itu akan akan kembali lagi ke dirinya kelak dengan orang beda ketika kita ikhlas, dan juga tidak semua orang mampu membalasnya bisa jadi mereka meringankan lisan dan bibirnya mendoakan hal-hal yang baik untuk kita. Tidak ada perbuatan baik yang sia-sia. 

"Kalian jangan seperti ini, tanpa kalian menjelaskan aku tahu kok," lanjut Aulia lagi seraya tersenyum. Ia sudah tau bagaimana kondisi keuangan keduanya. 

"Terus kamu belum menjelaskan mengapa hampir telat," ucap Faris belum melupakan kejadian pagi ini. 

Aulia kembali lagi mencebikkan bibirnya mengingat kejadian baru saja terjadi.  "Pagi ini aku ketemu laki-laki yang entah dari mana asalnya menahanku, lalu bertanya sudah semester  berapa dan kelas apa." 

"Kenapa mendadak kesal begitu? Bukannya itu hanya pertayaan  biasa." 

Dwidya heran dengan kebiasaan yang  tidak pernah hilang darinya selalu saja menganggap pertanyaan dianggap serius dan berpikiran negatif tentang laki-laki diluaran sana. 

"Tidak semua laki-laki itu sama loh. Lagian apa salahnya sih kalau bertanya begitu apalagi  seputaran hal-hal menyangkut perkuliahan." 

Faris mengangguk setuju membenarkan perkataan Widya, sepupunya itu terlalu banyak memikirkan hal-hal aneh karena traumanya itu. 

Hana menatap temannya itu malas lalu mengambil tasnya bergegas meninggalkan mereka, ia paling kesal kalau membahas perihal laki-laki apalagi seolah-olah menyudutkannya karena membatasi dirinya akibat trauma yang dialaminya. 

"Tuhkan kebiasaan banget deh. Masih bicara juga sudah ditinggal aja!" dengus Widya memprotes sikap Hana. "Padahal aku juga mau kerja, minimal berangkat barenglah." 

 ***

Hana memakai maskernya tak lupa kaca mata, lalu meneruskan langkahnya, sebelum pulang akan mengumpulkan absen yang ketinggalan di dalam kelasnya pasti ketua kelasnya itu lupa mengembalikan. Tatapannya tiba-tiba mengarah ke lantai satu di mana perempuan di sana sangat berisik. Matanya menangkap beberapa temannya sedang asik bercanda ria dengan beberapa laki-laki namun kembali cuek. Itu bukan urusannya dan tidak tertarik. Ia memasuki ruang kantor itu lalu meletakkan absen di meja seperti biasa.. 

Langkahnya tiba-tiba saja dihadang oleh laki-laki yang memanggilnya tadi. Matanya turun ke tangannya yang sedang membawa proyektor.  Ia lalu memundurkan diri memberikan jarak antaranya. 

"Kita ketemu lagi," ucapnya dengan senyuman. Aulia menatap tajam kearahnya. 

"Pertanyaanku pagi ini belum kamu jawab loh," tuturnya, garis bibirnya terangkat sempurna.

Aulia hanya diam saja tidak merespon sama sekali, ia lalu mengayunkan kakinya ke samping. Namun, laki-laki itu kembali lagi menghadang langkahnya.

"Minggir! Jalannya masih luas, jangan menghalangi saya."

"Aku akan membiarkanmu pergi kalau sudah jawab pertanyaanku." 

Ingin rasanya Aulia menonjok muka laki-laki itu andainya saja sedang tidak ada diarea kampus. Namun, ia harus tetap sabar jika tak ingin menjadi topik hangat dan juga yang ada dalam pikirannya itu pengobatan ibunya tentu saja tidak ingin berbuat masalah yang dapat merugikan mereka.

"Kelas B, semaster 2. Sudah kan jadi biarkan saya lewat!" 

Laki-laki menyampingkan badannya memberikan jalan untuk Aulia.  Ia pun bersyukur bisa lolos darinya. 

"Cantik, kapan-kapan kita ketemu lagi!" 

Aulia menghentikan langkahnya sejenak mendesah gusar, dalam hatinya terus saja berdoa semoga apa yang diucapkannya tidak kejadian. 

 ***

Aulia duduk menghempaskan tubuhnya di samping widya duduk di kasir, melayani pelanggan ingin membayar.  Dirinya sangat lelah mulai siang tadi hingga sore tak berhenti-hentinya melayani.  Baru saja duduk ada yang datang mau tak mau pun bengkit dari kursinya dengan lemas namun saat tetap tersenyum saat mencatat pesanan.

"Kamu kerja di sini?"

Aulia menatap geram kearah laki-laki itu, seakan-akan mengikutinya.  Seharian ini sudah kali ke tiga berjumpa dengannya.

"Pesanannya!" tekan Aulia mengingatkan. 

"Oh, iya lupa. Sudah  berapa lama kerja?" Aulia meremas bolpointnya itu tak suka." 

"Kalau tidak mau memesan, saya pergi dulu."

"Eh, bentar. Kami ke sini untuk makan." 

Aulia melemparkan tatapan tajamnya, geram. Ia lalu meletakkan buku menu itu dengan kasar.

"Risotto, chiken steak, ada lada hitam, terus juz mangga."

 

Aulia mencatat pesanan itu, lalu meninggalkan kursi dengan wajah ditekuk.  Ia memasuki tempat pesanan dengan wajah ditekuk. Andai saja bisa tukaran tempat dengan Widya maka akan . Melayani laki-laki yang pura-pura sok dekat itu semakin memperburuk suada hatinya. 

Tin!

Pesan notif dari ponselnya secapat kilat menyambarnya dan membaca pesan itu. Ia mematung membaca pesan itu. Air matanya perlahan menetes.  Ingin rasanya saat itu pulang namun dia bisa apa. Kalau kali ini kembali meminta izin maka gajinya pun akan dipotong lagi.

"Aulia, ini pesanannya." Aulia tersadar, secepat kilat menghapus air matanya membalas pesan itu. 

Ia lalu mengambil makanan itu membawanya dengan perasaan kacau bahkan beberapa kali pikirannya kosong. Kakinya terkilir jatuh ke tempat duduk jus pesanan  tumpah di kemejanya. 

Aulia tersadar pun segera bangkit dan memohon maaf. Ia meringis, ia tahu harga kemeja yang digunakan harga 5 juta.  Dalam pikirannya bagaimana kalau laki-laki itu meminta rugi. 

"Aulia, pulanglah ibumu kembali lagi masuk ke Icu bahkan kali ini dokter memanggilmu ke rumah sakit." Widya datang menghampirinya menyuruh  pulang segera.

"T–tapi aku gak bisa pulang. Bagaimana aku bisa mengumpulkan uang untuk biaya rumah sakit ibu."

"Kamu masih memikirkan  biaya itu? Bagaimana jika hari ini ibumu meninggal," serkas Widya membuatnya mematung. 

"Aku juga ingin pulang. Tapi—" 

"Aku yang akan mengurus ke kacuan ini. Kamu bisa pulang temui ibumu." 

Terdiam sejenak, perkataan widya seakan menusuk relung hatinya bagaimana jika hari ini ibunya benar meninggalkan mereka. Ia lalu mengangguk melepaskan celemeknya memberikan ke Widya. Setelah itu meminta maaf ke laki-laki itu.

"Maaf atas ketidak becusan saya dalam bekerja, tolong jangan meminta saya untuk mengganti rugi kemeja Anda." 

Laki-laki hanya mengangguk saja sedikit senyum, menatap Aulia yang bergegas meninggalkan restoran itu. 

"Loh, kak Alex," sapa Widya kaget, ia lalu menatap bajunya sedikit senyuman. Baru kali ini Aulia membuat kesalahan saat bekerja. 

"Maafkan teman saya Kak." Alex mengangguk saja lalu meletakkan uang itu di meja.  Beranjak keluar. 

 ***

Aulia berdiam diri diatas motornya dengan tatapan kosong, air matanya terus saja mengalir membasahi pipinya itu.  Ia berusaha menenangkan pikiran dan dirinya agar bisa membawa kendaraan pulang, namun tetap saja sia-sia. Air matanya tak bisa berhenti saat itu juga. 

"Ayo aku antar!" Aulia menoleh mendapati lagi-lagi laki-laki itu. Meskipun dalam situasi darurat begini masih tak ingin merepotkan. Selain  itu mereka tidak saling mengenal satu-sama lain.

"Aku tidak akan macam-macam sama kamu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status