Dua belas tahun lalu seorang gadis kecil menangis dipojok kamar menyaksikan berdebatan antara ke dua orang tuanya, di mana sang ibu sedang hamil dan sbentar lagi akan melahirkan. Ia ketakutakn meringkuk memegang lututnya ketakutan memyaksikan pertengkaran yang sedang terjadi di depan matanya. Umurnya yang menginjak 7 tahun itu harus meliat bagaimana ibunya di pukul dan ditampar hingga dibentak oleh Ayahnya. “Dasar kau istri tidak berguna! Harusnya saat aku pulang kerja kau menyambutku dengan baik, tapi apa kau malah bertanya tentang perempuan yang jalan denganku. Bahkan memasak pun kau tak kerjakan!”“Harusnya kau sadar! Kau sudah tidak menjalankan tugasmu sebagai sorang suami, bahkan memberikan uang untuk membeli beras saja kau tak berikan! Beberapa temanku yang suaminya kerja denganmu sudah belanja bulanan. Sedangkn kau sendiri tidak memberikan sepersen pun padaku! Selain itu aku hanya bertanya baik-baik tentang wanita itu, mas. Tapi reaksimu berlebihan.”Plak! Satu tampara
Bab 1. Rumah sakit. *** Gadis berambut panjan lurus hitam legam dengan poni kedepan menatap ruang icu dengan cemas bola mata barwana coklatnya menahan butiran bening akan tumpah dari kelopak matanya, ia lalu mendongak menahan sesak dihatinya jika pertahanannya runtuh saat itu juga maka siapa yang akan menenangkan adiknya yang menangis tak ingin kehilangan Bundanya yang sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam sana"Kak, Bunda tidak akan pergi kali ini kan?" ucap sang adik keatakutan. Gadis itu memaksakan senyumnya lalu berucap, "Kita doakan Bunda ya, Dek kuat melawan penyakitnya." "Selalu kak, aku selalu berdoa semoga bunda cepat sembuh. Aku rindu tawa Bunda dulu, Rumi ingin kita kumpul di rumah lagi bukan di rumah sakit terus seperti ini. Aku Rindu masakan Bunda."Aulia mengangguk mengiayakan, ia pun merindukan hal itu, sejak dua tahun terakhir mereka bergantian menjaga Bundanya di rumah sakit, meskipun selalu disibukkan untuk bekerja. Pulang kuliah ia pun kerja
Aulia terburu-buru masuk ke kelasnya hampir saja terlambat, semenit saja telat Dosennya itu tidak akan memberikan tolerasi, namanya adalah pak Haris dosen paling perhitungan dan paling banyak memberikan tugas untuk mahasiswanya bahkan aulia sendiri sudah mendaftarkan nama Pak Haris kelak ketika sudah menyusun tidak akan memilihnya. Ia banyak mendengar kalau dosennya itu banyak menyiksa mahasiswa semester akhir sampai takut, walaupun beberapa Mahasiswa mengincarnya karena setiap anak bimbingannya selalu dipermudah saat seminar dan ujian meja namun bagi Aulia menghindari lebih baik."Hampir saja loh kamu telat! Tumben?" Aulia mendesah panjang. "Bentar aja deh aku ceritain, ditegur pak Haris bisa berabe dapat nilai C langsung. Aku tidak mau ngulang semester pendek bayar lagi." Aulia sangat berhati-hati dengan nilainya peraturan dikampusnya ketika mahasiswa mendapatkan nilai C maka wajib ikut semester pendek dan membayar lagi sesuai peraturan. Biayanya permata kuliah sebesat 150 ribu
Aulia terpaku menatap lurus ke arahanya. "Kita tidak saling kenal. Lagi pula apa jaminanya kalau kau tidak akan macam-macam padaku." "Kalau begitu aku Alex. Kamu sudah mengenalku. Soal jaminan aku belum bisa membuktikannya, tapi percayalah aku akan mengantarmu sampai rumah sakit. Lagipula kalau aku berbuat macam-macam aku tidak bisa kabur kita sekampus mudah bagimu mencari identitaskamu di sana. Selain itu temammu itu mengenalku." Aulia masih ragu akan menolak kembali. "Dalam situasi gentig seperti ini kamu masih saja menolak bantuan orang lain. Lalu apakah kamu kuat menaiki motor dalam keadaan kacau seperti ini?"Aulia menghembuskan napas panjang, setelah lama terdiam pun memutuskan untuk menerima tawaran Alex. Namun memilih untuk duduk dibelakang. "Kita akan ke rumah sakit mana?" tanya Alex membuka percapakan antara mereka setelah kehinangan cukup lama."Ibu Sina," jawabnya singkat terus memperhatikan ponselnya mengikuti perkembangan kondisi ibunya.Aulia menghembuskan napas panj
"Bagaimana apakah dia berhasil mendapatkan pekerjaan?" tanya Alex dari telpon itu"Belum Tuan, sejauh ini masih belum ada yang menerimanya." Senyum kecil tersinggung diatas bibir Alex mendapatkan kabar itu. "Baguslah pastikan dia berada di jalan buntu!" Ia menutup telpon itu, menatap ke arah jendala kaca kamarnya mengusap dagunya. Alex mengirim mata-mata untuk mengikuti Aulia hari ini melaporkan kegiatannya. Namun, terkejut tentang Aulia sedang mencari pekerjaan di beberapa kafe atau perusahaan namun sepertinya belum ada yang menerimanya. Apalagi riwayat terakhir kerjanya yang dipecat. Tentu saja banyak pertimbangan dari pihak kafe dan perusahaan. Ia semakin tertarik perempuan itu tak pernah menyerah. Egonya terlalu tinggi untuk menerima bantuan orang lain termasuk darinya, meskipun melakukan itu bukan secara gratis, ia akan menegosiasikan kesepakatan."Den nyonya memanggil untuk makan." Alex menoleh ke Art memanggilnya untuk makan. "Bi, Aira, apakah Kak Laila ada dibawah?" tan
"Kak, uang semester Rumi bagaimana? Guru sudah menanyakannya."Aulia mematung di depan pintu, baru masuk ke ruangan di mana ibunya dirawat sudah menanyakan spp sekolahnya. Ia mendesah pelan lalu tersenyum kecil."Kapan pembayaran terakhirnya?" "Lusa kak," jawab Arumi bahagia mengira kalau kakaknya akan membayar ."Oh begitu. Nanti biarkan kakak yang datang membayarnya, kamu fokus sekolah saja." Arumi mengangguk paham memeluk Aulia, gadis itu sangat bersyukur memiliki Kakak sepertinya. "Terima kasih banyak sudah menjadi kakak terbaik untukku. Arumi berjanji akan menjadi orang suksess kelak." Aulia mengangguk saja mengiyakan. Tersenyum kembali kecil mengusap kepala Arumi, hatinya tersentuh mendengar kalimat itu. "Kamu harus sukses dek, kalau kita tidak punya apa-apa akan dipandang rendah!" pesan Aulia meluapkan kekesalannya tentang perjanjian itu.Aulia terdiam menatap dua sosok yang membuatnya kuat sampai saat ini senyum kecil itu menghiasi garis bibirnya meski hanya sekejap. Gar
Menyesal****Aulia keluar dari kamar mandi penampilan lebih fress berjalan mencari hairy drayer, ia merasakan ditatap terus oleh Alex, tapi berpura-pura cuek saja. Aulia mengeringkan rambutnya di depan cermin sesekali mencuri pandangan ke Alex yang menatapnya intens. Ia meneguk ludahnya sendiri merinding akan tatapan itu seakan ingin menerkam."Cepatlah, ada hal yang ingin ku sampaikan," imbuh Alex karena terlihat santai mengeringkan rambut.Aulia terdiam beberapa saat apakah Alex akan meminta haknya sebagai suami. Tangannya berkeringat ketakutan."Apa? Bisa kan diucapkan saja sambil aku mengeringkan rambutku." . "Tidak! Ini sangat penting kita perlu bicara serius. Lagipula kalau kamu syok lalu alat itu melukaimu bagaimana? Ayahku dan ibumu mengira kalau aku melakukan KDRT," tolak Alex masih sabar menunggu Aulia menjelaskannya dengan lembut.Aulia menganggukkan kepala, kali ini sikap laki-laki itu berubah drastis lebih lembut dari yang dikiranya dan bahkan lebih hangat. Ia meletakka
Aulia meletakkan makanan diatas meja seraya menghapus air matanya mencoba bersabar menguatkan hati. Ia meremas kantong plastik itu. Hatinya teriris mendengar perkataan begitu menyakitkan dari perempuan yang sangat dicintainya. "Rumi, kamu berjanji sama Bunda nak!" Aulia masih mematung mendengarnya. Sekuat tenaga agar terlihat baik-baik saja. Ia lalu berusaha menuangkan makanan itu ke mangkuk. Ia menghembuskan napas panjang. "Arumi!" tegasnya mendesak perempuan itu. Arumi menatap kakaknya mengerti yang dimaksud bundanya adalah Aulia, Bundanya sedang menyinggungnya karena memilih menikah saat umurnya masih sangat mudah. Masa depannya masih panjang yang ditakutkan oleh ibunya Aulia memutuskan untuk berhenti kuliah dan melepaskan semua mimpi-mimpinya."Rumi berjanji Bu—bunda," ungakapnya terbata-bata. Saat Aulia berbalik Faris menatapnya lurus mengisyaratkan apakah dirinya baik-baik saja. Aulia mengangguk sebagai jawaban sebagai bentuk kalau dirinya baik-baik saja. Aulia mendekati ba