"Aku minta kita sudahi semua ini, aku sudah tidak mencintaimu lagi Rin."
Rin terpaku mendengar kata itu dari mulut Rai. Seketika senyum yang mengembang hilang berganti raut kecewa dan sedih di wajahnya. Hatinya menjadi beku, dingin, sedingin udara di kutub selatan. Aliran darahnya mendadak terhenti, hatinya perih bak luka yang di siram air garam. Rintik salju menjadi saksi mereka mengakhiri hubungan yang sudah 4 tahun mereka jalani.
"Apa salahku Rai? Kamu minta kita sudahi ini? Apa kamu sudah lupa janji yang selalu kamu ucapkan padaku?" Rin menjawab dengan deraian air mata di pipinya. Betapa hancur hatinya saat ini. Pria yang benar-benar dia cintai harus pergi meninggalkan dirinya seperti ini.
"Suatu saat kamu akan mengerti, aku tidak bisa lagi bersamamu. Maafkan aku, maaf karena telah menyakiti hatimu, maaf karena aku telah mengingkari janjiku, dan maaf untuk semua cinta yang sudah kamu berikan untukku, aku harus pergi." Mata Rai berkaca-kaca saat mengatakan itu. Dia menangis memunggungi Rin yang menatapnya dengan tangisan yang pilu.
Rin hanya terpaku, dia menatap punggung Rai yang semakin menjauh meninggalkannya. Dia tidak tau apa salahnya dan kenapa dia meminta untuk putus darinya.
Rin merasa heran kenapa dia tiba-tiba berubah menjadi sosok pria yang pendiam dan kasar. Dulu dia adalah sosok yang perhatian dan lembut.
Saat Rin tidak mempunyai rasa untuknya dengan gigih dia berjuang mendapatkan cintanya. Rai bisa membuatnya mencintai dan menyayangi sosok pria itu, tapi setelah Rin benar-benar mencintai dan yakin kepadanya dia malah dengan mudahnya meninggalkan dia seorang diri.
"Tuhan, apa aku sudah memilih orang yang salah? Hatiku sakit, hancur semua impian masa depan yang telah kita rajut bersama semua sia-sia."
"Rai kenapa setelah aku benar-benar mencintaimu dan melupakan sedikit demi sedikit perasaanku kepada Ken, kau malah menyakitiku.?"
Rin terus menangis di tengah salju yang semakin deras menerpa tubuh rampingnya yang sedang berlutut. Lututnya menyentuh salju, tidak terasa walau salju yang dingin bersentuhan dengan lututnya. Tubuhnya menggigil, bibirnya yang semula berwarna merah muda menjadi putih seperti tidak ada darah yang mengalir, begitupun dengan matanya yang semakin sayu. Wajahnya menjadi pucat pasi seperti mayat hidup.
Dia merasa kepalanya pusing akibat tangisannya yang tiada henti. Sampai akhirnya dia tidak kuat berdiri apalagi beranjak dari sana. Tubuhnya semakin lemah, pandangannya menjadi kabur, semakin kabur dan Gelap.!!
Dia pingsan di tengah salju yang dinginnya semakin ekstrem. Rai yang mengawasi Rin dari kejauhan berlari ke arahnya. Sebenarnya Dia tidak meninggalkan Rin, dari tadi dia terus mengawasi Rin di balik pohon. Memastikan bahwa Rin akan baik-baik saja dan pulang. Tapi nyatanya Rin bertahan di tengah salju yang membuat tubuhnya tidak kuat menahan rasa dingin. Dia langsung membawa Rin ke rumah sakit karena dia tau Rin pasti sudah terkena hipotermia.
Tubuhnya kaku, Rai panik. Dia tidak ingin terjadi apapun pada gadis yang di cintai nya ini. Tapi dia pikir pilihan ini yang terbaik untuk mereka berdua.
Sampai di Rumah Sakit, Rin langsung mendapatkan penanganan dari dokter sedangkan Rai meninggalkannya lagi. Dia meminta dokter untuk tidak mengatakan kepada Rin bahwa dia yang membawanya ke Rumah sakit. Dokter pun hanya mengiyakan saja.
Rin pun siuman setelah disuntikkan obat melalui selang infus oleh suster. Dia bertanya siapa yang membawanya ke Rumah Sakit, tapi suster menjawab bahwa ia di bawa oleh ambulance.
Rin teringat kembali akan memori tadi pagi yang membuat luka baru di hatinya. Luka itu semakin lama semakin perih, Rin memegang dadanya yang terasa sangat sakit. Dia meringis menahan dadanya yang semakin sesak tidak kuat menahan air mata yang sudah tidak terbendung. Tangisannya tersedu-sedu sampai suaranya tidak lagi terdengar.
Dia ingat Ken, pria yang menjadi sahabat dan cinta pertamanya. Apakah Rin harus menghubunginya untuk ke Rumah Sakit? Rin butuh sandaran saat ini, dia butuh teman untuk curhat, melegakan hatinya agar beban yang di tanggung nya terasa sedikit ringan.
Dia pun mengambil ponselnya di tas yang terletak di atas meja nakas rumah sakit.
"Halo Ken." Suaranya terisak-isak menahan tangis.
"Halo Rin, kamu kenapa menangis? Apa yang terjadi?"
"Rai, dia, dia memutuskan aku." Air matanya terus mengalir di pipinya.
"Apa? Berengsek! Berani sekali dia menyakitimu. Aku akan buat perhitungan dengannya!"
"Sudahlah Ken, aku menelpon mu agar kau kesini menemaniku, Aku butuh kamu."
"Baik Rin, aku ke sana sekarang juga. Kau ada di rumah sakit mana?"
"Rumah sakit xxxx di kota."
"Baik, aku berangkat sekarang."
Ken berangkat dengan hati yang di penuhi amarah. Hatinya mendidih bak air yang sedang di panaskan, bergejolak. Dan wajahnya yang putih bersih menjadi merah padam karena amarahnya. Dia sudah mengikhlaskan Rin untuk dirinya tapi sekarang dia menyakiti Rin.
Ken tidak bisa menerimanya, gadis yang dia cintai terluka karenanya. Jika tau akan seperti ini Ken tidak akan membiarkan Rin menerima cinta Rai. Dia akan menyatakan perasaannya kepada Rin waktu itu. Tapi waktu tidak dapat di putar kembali, Ken menyesalinya kenapa dia tidak bisa mengatakan kalau dia benar-benar mencintai Rin kala itu.
Sampai kini Rin tetap di hatinya, dia tidak tergantikan oleh siapapun. Dia gadis satu-satunya yang Ken cintai selamanya.
***
Di tempat lain Rai berpikir, apakah keputusannya ini tepat? Dia tidak tega melihat Rin terluka dan berlinang air mata seperti itu. Dia pun menangis saat pergi meninggalkan Rin di tengah salju tadi. Tapi dia tidak ada pilihan lain lagi selain berbohong kepadanya dan meminta putus dengan Rin.
"Maafkan aku Rin, aku sungguh terpaksa melakukan ini. Agar kamu tidak merasa lebih sakit jika tau kebenarannya. Aku sudah mencoba agar kamu membenciku dengan sikapku yang dingin dan pendiam tapi kamu masih saja bertahan walaupun aku sudah berlaku kasar padamu."
Rai terus bergumam di dalam kamarnya sendiri sambil memandang foto mereka berdua yang saat itu terlihat sangat bahagia di taman bunga shibazakura. Senyuman Rin yang manis membuatnya semakin menyukai dan menyayanginya.
Dia terus merenungi apa yang sudah di lakukannya kepada gadis yang dia cintai setengah mati itu. Dia meneteskan air mata melihat foto Rin yang ceria, gadis yang akan selalu di hatinya walau mereka tidak bersama. Rin tidak akan tergantikan oleh siapapun, raganya boleh saja milik orang lain tapi hatinya tidak.
Hatinya tetap milik Rin walaupun Rai harus meninggalkannya, dia tidak akan bisa berpaling kepada wanita lain. Andai saja kejadian itu tidak pernah terjadi, mungkin Rai akan terus bersama Rin hingga saat ini.
Aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Hanya saja, aku berhenti untuk menunjukkannya.
******
4 Tahun yang lalu.. Pagi itu di bulan Desember yang dingin seorang gadis cantik sedang berdiri di halte menunggu bus yang lewat. Dia seperti kedinginan, badannya gemetaran dan pandangan nya terus melihat ke depan. Pria yang memperhatikannya dari tadi merasa kasihan melihat gadis itu sendirian di halte. Kemudian dia menghentikan mobilnya tepat di depan gadis itu. Saat dia hendak keluar, gadis itu pingsan. Sontak dia panik dan membawanya ke dalam mobil. Dia membawa gadis itu ke rumahnya. Di sana dia tinggal bersama kakak laki-laki satu-satunya. Orang tua mereka sudah meninggal dan mewariskan semua harta kekayaannya kepada mereka berdua. Gadis itu di urus oleh pelayan wanita yang bekerja di rumah itu. Mereka memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Selesai mengganti baju gadis itu dan menghangatkan tubuhnya, gadis ini siuman. "Dimana aku? Hah, ini baju siapa yang aku pakai, dimana bajuku?" Matanya menyisir seluruh ruangan tapi tidak ada siapapun yang bi
Pagi ini seperti biasa Rin sudah berdiri di depan halte bus yang akan dia tumpangi untuk sampai ke kampus. Lama dia menunggu dan terus melirik jam tangannya persatu detik sekali. Dia sudah kesal karena terlalu lama berdiri. Dia pun duduk di bangku halte yang tersedia dan menyandarkan kepalanya ke tiang penyangga halte sambil melamun. Tin.. Tin.. Suara klakson mobil membuyarkan lamunan nya. Dia tercekat melihat mobil di depannya dengan suara klakson yang mengejutkan. "Rin, ayo masuk, aku antar ke kampus kita satu arah." "Tidak usah aku naik bus aja." Rai pun keluar dari mobil dan menarik Rin agar mau naik ke mobilnya. Karena hari semakin siang terpaksa Rin ikut dengannya. Di dalam mobil Rai meminta nomor ponsel Rin. "Apa aku boleh meminta nomor ponselmu Rin?" "Oh, maaf Rai tapi aku tidak punya ponsel." "Apa? Kamu tidak punya ponsel?" Rai terkejut dengan pengakuan Rin. Bagaimana mungkin zaman sekarang tidak
Rin berlari meninggalkan Rai sendiri di sana. Dia tidak menyangka pria yang baru saja dia kenal berani sekali mencium bibirnya. Apa harga dirinya serendah itu hanya untuk memiliki sebuah ponsel? Rin berlari ke area taman yang lumayan dekat dengan toko ponsel tadi. Dia duduk di sana sendiri dan menundukkan kepalanya di atas lutut sambil menangisi nasibnya yang malang ini. Kenapa semua orang selalu merendahkannya? Apa aku memang terlihat seperti tidak punya harga diri? Begitu pikirnya. Walaupun hanya bibir tapi bukan tidak mungkin Rai akan meminta kehormatannya jika dia terus menerima bantuannya itu. Bukankah selalu ada timbal balik di setiap kebaikan yang tersembunyi? Apa dia ikhlas membelikan aku ponsel itu? Atau hanya ingin menukarnya dengan tubuhku? Rin terus berkicau di dalam hatinya. Kalau begitu mungkin lebih baik aku menjaga jarak dengannya. 'Aku takut kalau nanti pada akhirnya aku dan Rai khilaf dan dia meninggalkan aku. Aku tidak ingin i
Malam ini Rai tidak bisa memejamkan matanya. Dia terus kepikiran Rin yang sedang marah kepadanya. Hatinya resah melihat bagaimana tatapan Rin yang kecewa kepadanya. Ingin sekali malam ini cepat berganti, agar esok dia bisa melihat Rin lagi. Di tempat lain Ken juga tidak bisa tidur membayangkan saat dia di peluk langsung oleh Rin. Bibirnya tidak berhenti menebarkan senyuman, matanya berbinar-binar bahagia. Baru kali ini dia merasa sangat bahagia sampai-sampai ayah dan ibunya terheran-heran melihat sikap Ken yang tiba-tiba menjadi hangat saat pulang tadi. Sedangkan Rin, dia tidak bisa memejamkan mata memikirkan Rai dan Ken. Rai dengan sikap lembutnya tapi kurang ajar, sedangkan Ken dengan sikap dinginnya yang selalu melindungi Rin dari siapa pun. Jujur Rin lebih nyaman berada di samping Ken, walaupun dingin tapi dia tidak kurang ajar. Tapi sepertinya Ken tidak mempunyai perasaan kepadanya. Berbeda dengan Rai yang secara terang-terangan menyukainya. Rin
Saat mereka sedang curhat sesama perempuan, Ken datang ke kamar Kania mengejutkan mereka. "Heii.. kalian sedang apa?" Ucap Ken yang membuat mereka berdua terkejut. "Ken.... Bisa tidak kamu ketuk pintu dulu saat masuk kamarku?" Bentak Kania. "Maaf Kania, aku lupa." Jawab Ken sambil tersenyum manis, membuat Rin merasakan getaran berbeda di hatinya. 'Uhh, kenapa aku jadi berdebar-debar gini melihat senyum manis Ken?' batin Rin. Rin hanya menundukkan kepalanya, dia tidak menatap Ken lebih lama lagi karena saat ini hatinya sedang tidak karuan. "Rin, kita ke taman yuk.." Ajak Ken. "Aku ikut,, kalian jangan berduaan.. Nanti yang ketiganya SETAN." Ucap Kania sambil melihat ke arah Ken. "Ya kamu setan nya Kania." Ledek Ken. "Sialan kamu Ken!!" Kania memukul lengan Ken. "Ya sudah kita ke taman bersama-sama." Ucap Rin melerai mereka berdua. Mereka pun pergi ke taman dan mengobrol di sana. Kania memperhatika
Entah mengapa malam itu hati Rai sangat gelisah. Rai sudah tak tahan lagi ingin menyatakan cintanya kepada Rin. Tapi dia bingung bagaimana caranya meyakinkan Rin yang sudah terlanjur kecewa kepadanya. Lagi pula Rai tidak bisa menghubunginya karena ponselnya saja belum di berikan. Malam itu juga Rai pergi ke rumah Rin. Rai pergi dengan tergesa-gesa, dia bahkan tidak melihat jika di rumahnya ada Kania yang menunggunya untuk mengajak Rai berkencan. Ya walaupun Kania sudah di tolak mentah-mentah tapi dia tidak menyerah. "Rai.. Kamu mau kemana? Aku mau mengajakmu jalan." Ucap Kania. "Maaf Kania, aku ada urusan penting. Aku harus segera pergi." Jawab Rai dengan tergesa-gesa. "Aku mau ikut boleh?" Tanya Kania. "Jangan, kamu pulang saja. Aku antar ya." Rai sangat terganggu dengan kehadiran Kania. "Baiklah kalau begitu." Rai mengantar Kania pulang ke apartemen Kimi karena Rai hanya tau Kania tinggal di apartemen bersama
"Ken, kamu ada dimana?" Pesan Rin. "Di rumah Rin, ada apa?" Ken. "Bisa kita bertemu sekarang?" Rin. "Oke, dimana?" Ken. "Di taman kemarin ya, aku berangkat sekarang." Rin. "Oke." Ken. Rin bersiap-siap untuk pergi ke taman pagi ini. Karena hari ini libur Rin pergi dengan hati tenang. Dia ingin tau seperti apa reaksi Ken ketika ia tau bahwa Rai ingin menjadi kekasihnya. Rin pergi naik bus yang biasa melewati taman itu. Dia sudah menunggu di kursi taman. Sejak menerima pesan Rin, Ken langsung meluncur ke TKP tanpa banyak drama. Ken tidak suka bertele-tele dia lebih suka to the poin masalah apapun. Ken mengendarai motor kali ini. Dia ingin merasakan berboncengan dengan Rin. Sesampainya di taman dia melihat gadis yang di cintainya sudah duduk di kursi taman dan dia menghampiri Rin. "Sudah lama Rin?" Tanya ken. "Lumayan. Sini, ada yang harus aku bicarakan denganmu." "Keliatannya serius, ada apa
Keesokan harinya Rai menemui Rin di kampusnya. Dia ingin menanyakan jawabannya apakah dia diterima atau tidak. Rin yang sedang menunggu Ken untuk pulang bareng di kejutkan dengan kedatangan seseorang di belakangnya. Rin mengira itu Ken, ternyata bukan. "Ehem." "Ken." Rin menoleh ke belakang ternyata itu Rai. Wajah Rai yang semula tersenyum berubah menjadi masam. "Rai,, maaf aku kira kamu itu Ken karena tadi aku sedang menunggunya untuk pulang bersama." "Iya tidak apa-apa. Biar aku saja yang mengantarmu." "Tapi.." "Aku ingin membawamu ke suatu tempat yang indah hanya kita berdua." "Baiklah, aku telepon dulu Ken." Rin menelponnya. Setelah itu dia langsung pergi bersama Rai. Rai membawanya pergi ke suatu tempat yang belum pernah dia datangi. Rai membawanya ke Hitsujiyama Park, dia membawanya untuk melihat Bunga Shibazakura. Tanpa di sadari Ken yang bersamaan keluar melihat mereka dan mengikuti mobil