INICIAR SESIÓNPintu bus menutup dengan bunyi ritmis, perlahan membawa Arhan dan Kiara menjauh. Mereka duduk berdampingan, wajah sama-sama berseri, jemari saling mengait erat—seolah dunia memang sengaja menyempit agar hanya ada mereka berdua di dalamnya.Di luar, Dewi masih berdiri terpaku. Payung di tangannya terlepas begitu saja, jatuh membentur trotoar yang basah. Tatapannya kosong, mengikuti bus yang perlahan menjauh. Dengan gerakan datar dan nyaris tanpa tenaga, ia memungut payung itu kembali. Langkahnya tak tentu arah, sedikit limbung, membiarkan sisa hujan meresap ke bajunya. Payung itu digenggam dalam keadaan tertutup—bukan lagi sebagai pelindung, melainkan benda mati yang ikut menyerap dingin dan kecewa di dadanya.-Bus berhenti di tujuan. Arhan dan Kiara tiba di kebun teh saat hujan telah benar-benar reda. Udara terasa bersih, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan. Embun menggantung di daun-daun teh, berkilau saat matahari malu-malu menembus sela awan.Kiara memandang sekeliling d
Di kafetaria rumah sakit, Aris duduk melamun. Tatapannya kosong, menembus meja di hadapannya. Ia bahkan tak menyadari ketika seseorang menarik kursi dan meletakkan segelas kopi di depan matanya.“Makasih,” ucap Aris akhirnya, setelah tersadar akan kehadiran rekannya.“Kamu bengong terus. Ada masalah?” tanya wanita itu santai.“Nggak,” jawab Aris cepat, sambil melambaikan tangan. “Nggak ada apa-apa, kok.”Rekannya hanya mengangguk, lalu menyesap ice americano-nya.Hening beberapa detik mengisi ruang di antara mereka. Hingga Aris, seperti tak tahan lagi dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba bertanya,“Kalau seorang perempuan bicara lewat telepon diam-diam di malam hari ..., biasanya itu artinya apa, ya?”Wanita itu menurunkan gelasnya, lalu menjawab tanpa berpikir lama.“Ada dua kemungkinan. Lagi jatuh cinta, atau lagi ditagih rentenir.”Ekspresi Aris berubah seketika—aneh, sulit dijabarkan.Wanita itu menyipitkan mata. “Siapa yang begitu? Istrimu?”“Siapa bilang?” Aris langsung membant
Aris pulang dengan langkah berat. Kepalanya masih panas, dadanya sesak oleh campuran kemarahan dan frustrasi. Sepulang dari rumah Lestari, pikirannya terus memutar kata-kata mantan istrinya, tatapan polos Dinda, serta rahasia yang perlahan mulai memperlihatkan wajah aslinya.Yang membuatnya semakin geram, Kiara tak juga kembali.Ia mencoba bersabar, duduk di sofa dengan punggung menegang. Namun waktu berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran istrinya. Akhirnya, Aris meraih ponsel dari saku dan menekan nomor Kiara berulang kali. Tak ada jawaban. Tetap tak tersambung.Dengan satu gerakan kasar, ia melempar ponsel itu ke sofa. “Sial,” gumamnya. Napasnya berat, tak beraturan.Lampu rumah sengaja ia biarkan mati. Ruang tamu tenggelam dalam gelap, seolah mencerminkan isi dadanya yang penuh tekanan. Aris duduk, menunggu dengan gelisah.Tak lama, pintu terbuka perlahan.Kiara masuk dengan langkah ringan. Wajahnya terlihat tenang, seolah malam belum berbuat apa-apa padanya. Aris langsung bangkit, me
Rumah itu terasa terlalu sepi. Entah sejak kapan Kiara duduk di tepi ranjang. Lampu kamar dibiarkan mati, hanya cahaya dari luar jendela yang menyelinap masuk, membentuk bayangan tipis di lantai. Tasnya tergeletak begitu saja di atas kasur. Sepatu flatnya masih terpasang, satu miring, satu nyaris terlepas. Dadanya sesak, kepalanya penuh, dan hatinya remuk, seharusnya ia menangis. Namun, tubuhnya seperti mati rasa. Semuanya terasa berhenti di nurani yang kini terasa datar. Kiara menatap dinding dengan pandangan kosong, lalu bangkit perlahan. Ia tak mengganti pakaian, tak pula merapikan rambutnya yang sedikit kusut. Hanya ponsel yang ia ambil, lalu diselipkan ke saku. Langkah kakinya bergerak tanpa rencana, mengikuti dorongan yang tak ingin ia lawan. Dalam kepalanya yang kalut, hanya satu nama yang bertahan. Arhan. Tak ada yang lain. Ia keluar rumah dan berjalan cepat. Beberapa langkah kemudian, langkah itu berubah menjadi setengah lari. Gang sempit menuju toko buku dipenuhi lalu-
Pintu rumah itu terbuka dengan hentakan keras.Lestari yang sedang duduk di depan TV tersentak. Kepalanya langsung menoleh ke arah pintu, remot tv yang ada di tangannya langsung ia letakan di atas meja.“Aris?” ia spontan berdiri. “Aku kira kamu nggak jadi ke sini?”Aris berdiri di ambang pintu. Dadanya naik turun, napasnya kasar. Kemejanya terlihat berantakan. Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras, matanya menyala oleh sesuatu yang tak pernah Lestari lihat sebelumnya—sebuah amarah yang tak pernah pria itu perlihatkan.“Kita bicara sekarang,” katanya singkat, dingin.Lestari menelan ludah. “Soal apa?”Aris melangkah masuk tanpa menunggu izin. Pintu ditutupnya keras-keras, membuat dinding bergetar pelan.“Soal Dinda.”“Aku sudah bilang, kan? Dinda tadi kena duri kaktus. Gara-gara istri—”“Jangan menyalahkan orang lain,” potong Aris tajam. “Bukan itu yang ingin aku bahas.”Lestari menghela napas panjang, seolah sudah menduga arah pembicaraan akan kemana. Ia menyilangkan tangan di da
Kiara tahu semuanya.Tubuhnya terasa melemah saat fakta itu menghantam tanpa aba-aba. Selama ini, mertuanya menyembunyikan kebenaran—bukan dirinya yang mandul, melainkan Aris. Dan lebih dari itu, Dinda, gadis kecil yang begitu disayangi Aris, ternyata bukan anak kandungnya.Jadi selama ini …, Aris pun tidak tahu?Kiara merasa iba. Benar-benar iba pada suaminya yang hidup dalam kebohongan bertahun-tahun. Namun perasaan itu tak bertahan lama. Ada luka yang jauh lebih dalam, jauh lebih perih, dan itu miliknya sendiri.Ia mengingat semua tatapan kasihan. Semua bisik-bisik tetangga. Semua ucapan yang menusuk telinga—tentang perempuan yang tak mampu memberi keturunan. Tentang istri yang dianggap gagal menjalankan kodratnya.Semua usaha yang ia lakukan—obat-obatan, terapi, doa yang tak pernah putus—ternyata sia-sia sejak awal.Bukan karena tubuhnya yang bermasalah. Melainkan karena suaminya yang kekurangan.Air mata menggenang di pelupuk matanya, tetapi Kiara menahannya. Ia menolak menangis







