Share

Bab 3

Gilang memarkirkan motornya ke parkiran yang masih lengang. Melepas helmnya dan meletakkannya di atas spion. Mencabut kunci motornya kemudian turun dari ninja hitamnya.

Tubuh tinggi dan proporsional itu berlenggang memasuki sekolah yang sepi. Berjalan gontai menuju kelas, sesekali tersenyum ramah pada satu-dua siswa yang menegurnya.

Gilang termasuk siswa yang teladan. Selalu datang lebih awal, bukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti siswa lain. Dia memang senang datang sebelum sekolah terlalu ramai. Selain itu katanya agar bisa menghirup udara segar sebelum terkena polusi.

Hari ini hampir tiga bulan Gilang bersekolah di SMA Tunas Bangsa. Dan sejauh ini semuanya masih baik-baik saja.

Gilang masuk ke kelasnya yang baru ada beberapa orang yang sedang piket. Dia baru meletakkan tas di bangkunya ketika seorang gadis, teman sekelasnya, mendekatinya.

"Hei, Gilang," sapa gadis itu, mengulum senyum.

Gilang memandangnya, "eh, Sa, ada apa?"

"Hmm gue boleh pinjam handphone lo nggak? Buat searching internet, handphone gue kehabisan kuota. Ini penting banget buat tugas.

Bentar aja, nanti gue balikin," terang gadis bernama Risa itu mengiba, berharap Gilang mau meminjamkannya handphone seperti biasa.

"Oh, boleh." Gilang mengambil handphone dari dalam tasnya dan memberikannya pada Risa, "Nih."

Risa menerimanya dengan tersenyum, "makasih, ya?"

Gilang mengangguk, kemudian dia berjalan ke luar kelas. 

Risa yang melihat itu terheran. "Eh, lo mau ke mana?"

Gilang berbalik badan, "gue mau ke luar bentar, cari angin, kenapa?"

"Handphone lo gimana?"

"Pakai aja, gue ke luar bentar, ya?"

"Oh, gitu, ya, udah." Risa mengangguk kaku.

Gilang melanjutkan langkahnya ke luar kelas, mencari angin.

Risa tersenyum senang. Sebenarnya handphone-nya masih ada kuota. Ini hanya alasannya saja agar bisa berinteraksi dengan Gilang dan agar Gilang tidak curiga padanya kalau dia diam-diam menaruh hati pada lelaki itu bahkan sejak awal kedatangannya. Sejak awal Gilang selalu bersikap baik padanya membuat dia semakin jatuh hati pada siswa baru itu.

Meski termasuk tipe orang yang introvert, Gilang tidak menolak jika ada yang mau berteman dengannya atau meminta pertolongan padanya.

Di SMA Tunas Bangsa, dia dikenal baik dan ramah pada semua orang, senang membantu, supel, tidak pilih-pilih dalam berteman. Dia aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan ekstrakurikuler yang diikutinya, yaitu Pik Remaja. Dia juga profesional dalam menjalankan tugasnya di ekstraurikuler tersebut.

Meski tak begitu pintar, Gilang tak pernah bermalas-malasan dalam mengerjakan tugasnya sebagai siswa. Kepribadiannya yang demikian membuat orang senang terhadapnya. Termasuk para guru. Teman-temannya pun senang terhadapnya, terutama kalangan perempuan. Apa lagi jika dia memiliki fisik yang menarik serta wajah yang menawan. Diam-diam tanpa Gilang sadari banyak siswi di kelasnya itu yang menaruh hati padanya. Termasuk Risa.

***

Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi, Safira dan Evan baru saja datang tatkala para siswa di kelasnya pada sibuk mengerjakan pekerjaan rumah.

Safira menuju bangkunya dan meletakkan tasnya di sana. Evan juga duduk di bangkunya sendiri yang terletak di belakang bangku Safira.

"Eh, pasangan serasi baru datang, tuh," celetuk salah satu siswi di kelas itu yang memang senang mengejek kedekatan Safira dan Evan yang terlihat seperti orang pacaran. Safira yang mendengar itu hanya memutar bola mata malas. Responsnya setiap mendengar ucapan-ucapan semacam itu selalu sama, diam tak menggubris perkataan mereka.

 Andra yang tengah menyalin pekerjaan rumah dari siswi lain menoleh ke arah Safira yang baru duduk di kursinya. Kebetulan tempat duduk mereka berdampingan.

"Eh, Fir, liat PR lo, dong," pintanya.

"Nggak ada," jawab Safira cuek.

"Nggak ada? Lo belum ngerjain maksudnya?"

"Hmmm,"

"Masak, sih, lo belum ngerjain, udah kali. Liat dong, jangan pelit-pelit sama gue." Andra tak percaya. Safira menghela napas. Akhirnya dia membuka reseleting tasnya dan mengeluarkan salah satu buku tulis, memberikannya pada Andra.

"Nah, gitu, dong." Andra menerimanya dengan semringah. Dengan cepat lelaki itu menyalin tulisan yang ada di buku Safira. Safira tak heran lagi, Andra memang senang mencontek pekerjaan rumahnya. Tak hanya pekerjaan rumah, tugas sekolah yang lain pun kadang Andra selalu minta kerjakan. Anehnya, Safira mau-mau saja mengerjakan semua perintahnya.

SMA Tunas Bangsa dikenal dengan murid-muridnya yang sangat cerdas, namun, nyatanya tak semua murid demikian. Contohnya Andra.

Meski tak seakrab Evan. Hubungan Andra dan Safira bisa dikatakan dekat. Menurut rumor yang beredar katanya Andra menyukai Safira, tapi Safira tak mempercayai itu. Lelaki itu pun tak pernah menunjukkan ketertarikannya  secara terang-terangan.

Bel tanda masuk berdentang, menggema di seantero sekolah. Para siswa yang tadinya ribut, sontak mengemasi buku-bukunya.

Andra pun mengembalikan buku Safira.

Guru yang mengajar Matematika---mata pelajaran hari ini---masuk ke kelas dan meminta ketua kelas untuk memberi hormat. Setelah itu pelajaran pertama pun dimulai.

Pelajaran demi pelajaran terlewati hingga waktu pulang tiba. Para siswa berkeluaran dari setiap kelas, berbondong-bondong menuju parkiran.

Jika pergi dengan Evan, maka pulang pun Safira diantar Evan sampai ke kosannya.

"Makasih, Van," ucap Safira tatkala turun dari motor Evan yang berhenti di depan gedung kosannya. Di balik helm fullface-nya yang kacanya tak dibuka, Evan mengangguk, sebelum akhirnya melajukan motornya meninggalkan Safira yang memasuki halaman kosannya.

Safira berjalan di sepanjang lorong, melewati beberapa kamar yang pintunya tertutup rapat, sesekali dia tersenyum tipis pada seorang gadis yang lebih tua darinya melewatinya. Sampai di depan kamarnya, Safira membuka pintu dan masuk ke dalam.

Aroma pewangi ruangan di kamarnya seketika tercium. Kamar Safira rapi dan wangi. Dia selalu membereskan tempat tidurnya dulu sebelum bepergian. Lantai ubin yang tampak mengkilat karena sering di pel dengan pewangi lantai. Isi-isi lemarinya juga selalu dia rapikan setelah dia membongkarnya. Mengembalikan sesuatu selalu pada tempatnya semula. 

Safira memiliki kepribadian yang rajin dan rapi. Dia risi dan merasa tak nyaman jika mendapati kamarnya berantakan. Kamar adalah satu-satunya tempat dia mengistirahatkan tubuh setelah lelah dari beraktivitas. Untuk itu kamarnya harus bersih dan rapi.

Safira baru akan mengganti seragamnya ketika ponselnya berbunyi. Telepon dari ibunya yang ada di Samarinda, Kalimantan Timur.

"Halo, Bu," sapa Safira seraya duduk di tepi ranjangnya.

"Safira, kamu apa kabar, Nak? Baik-baik, aja, kan?" Suara ibu di seberang terdengar kalut, membuat Safira sedikit kebingungan. 

"Iya, Bu, Safira baik-baik aja. Semuanya aman, kok, Bu," jawab Safira dalam kebingungan. "Ibu kenapa kayak panik gitu?" 

"Alhamdulillah, kalau kamu baik-baik saja. Barusan ibu nonton berita di tv, katanya salah satu SMA di Jakarta, muridnya ada yang terlibat kasus narkoba bahkan ada yang sampai meninggal. Ibu takut itu sekolah kamu."

"Nggak kok, Bu. Itu bukan sekolah Safira. Sekolah Safira aman-aman, aja, kok,"

"Baguslah, kamu jaga diri, ya, Nak. Jangan sampai kamu terlibat atau bergaul sama anak-anak pecandu narkoba. Ibu takut."

"Iya, Bu. Ibu tenang, aja. Safira bakal jaga diri, kok dan nggak akan terlibat kasus apa pun. Ibu jangan khawatir, ya?" Safira menenangkan ibunya.

"Selalu kabari ibu, ya, Nak? Jaga diri baik-baik. Ibu selalu do'akan kamu. Semoga sekolahmu lancar dan baik-baik saja,"

"Aamiin. Makasih, Bu,"

"Kalau gitu ibu tutup dulu teleponnya. Wassalamu'alaikum,"

"W*'alaikumussalam," ucap Safira sebelum akhirnya ibu memutuskan sambungan.

Safira merenung. "Kok ibu bisa kepikiran ke situ, ya?" gumam Safira lalu menggeleng pelan. Dia meletakkan ponselnya di tempat tidur lalu mengganti seragamnya secepat mungkin karena setelah ini dia harus makan dan mengerjakan tugas sekolahnya. Begitu kegiatan Safira sehari-hari.

Safira Riana adalah gadis asal Samarinda, Kalimantan Timur. Dia merantau ke Jakarta demi pendidikan yang lebih baik. Dan di sini dia hanya mengekos karena tak ada sanak keluarga yang bisa dimintai untuk numpang tinggal. Ibunya dari Samarinda tiap bulan mengiriminya uang.

Awalnya, ibunya keberatan dengan keputusannya untuk sekolah jauh dari orang tua. Tapi alasan Safira kuat. Dia ingin bersekolah di SMA yang bagus yang tak mungkin dia dapatkan di Kalimantan. Dia ingin kuliah ke pulau Jawa. Dia akan sulit lolos jika tamatan dari SMA di Kalimantan, begitu pikirnya waktu itu.

Selain itu, Evan, teman SMP Safira yang berasal dari daerah yang sama, menyakinkannya untuk bersekolah bersama-sama di Jakarta. Pasalnya lelaki itu juga memiliki tujuan yang sama. Ibu Safira yang sudah percaya dengan Evan pun akhirnya mengizinkan. Ibu Safira berpesan pada Evan untuk menjaga anak bungsunya dengan baik.

Safira anak baik. Tak sedikit pun dia berpikir punya niat lain selain untuk bersekolah di SMA dan Universitas berkualitas baik yang mampu menunjang masa depannya kelak. Meski pun dia tahu, Jakarta kota yang kejam dan keras. Tapi dia optimis dan selalu percaya bahwa dia bisa menjaga diri dan semuanya akan baik-baik saja.

***

Setelah mengantar  Safira pulang, Evan tak langsung pulang ke kosannya. Dia mampir ke kafe tempat tongkrongannya yang biasa dia dan teman-temannya singgahi. Ada janji berkumpul dengan temannya dari luar sekolah yang telah menunggunya sejak tadi.

"Eh, Bro, kemana aja baru nampak?" tanya Fajar sambil bertos ria pada Evan yang baru datang.

"Maklum, tugas sekolah numpuk. Ini gue baru pulang dari sekolah sempatin ke sini," jelas Evan setelah meletakkan bokongnya di kursi. "Tino mana?" tanyanya tatkala tak mendapatkan keberadaan Tino.

"Ngambil pesanan minuman buat lo nggak liat, noh." Fajar menunjuk Tino yang sedang menghadap belakang, mendatangi barista. Saat mengetahui Evan akan datang, Tino bergegas memesankan Evan minuman.

"Oh." Evan baru melihat ke sana. Tak lama kemudian, Tino berbalik badan, berjalan ke arahnya dengan segelas Cappucino di tangannya, memberikannya pada Evan.

"Thanks," ucap Evan pada Tino yang kini duduk di sebelahnya.

Evan, Fajar dan Tino adalah teman karib, meski tak satu sekolah. Usia mereka terpaut cukup jauh. Fajar adalah mahasiswa teknik yang sedang menjalani masa kuliahnya semester empat. Sedangkan Tino yang setahun lebih tua dari Evan hanya bekerja di bengkel. Evan mengenal mereka di sebuah acara ulang tahun teman sekelasnya waktu lalu. Dan entah bagaimana caranya mereka bertiga akhirnya jadi teman akrab. Mungkin karena kesamaan mindset yang mereka miliki. Sejak itu mereka sering mengadakan perjanjian via W* untuk bertemu. Sama dengan Safira, di Jakarta, Evan pun mengekos di kosan khusus putra. Kadang, Fajar dan Tino menemuinya di kosannya.

Setelah meneguk sedikit Cappucinonya, Evan mengeluarkan ponselnya, menyalakan kamera, mulai merekam aktivitasnya. Seperti yang sering dia lakukan selama ini.

Evan merekam Fajar yang tengah makan sosis goreng, lalu beralih ke Tino yang mengisap rokoknya, lalu dia merekam wajahnya sendiri. Mereka tertawa-tawa. Evan mengajak Tino berselfie, lalu mengunggahnya di sosial media.

***

Safira baru saja menyelesaikan tugas sekolahnya. Untuk menghilangkan penat, dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi  sambil memainkan sosial media. Gadis itu terpaku kala melihat foto yang pertama kali muncul di berandanya adalah foto dari akun Evan. Di foto itu Evan sedang berselfie dengan seorang lelaki yang tak Safira kenali, berlatar belakang seperti kafe.

Mata Safira lalu tertuju pada tulisan yang ada di bawah foto tersebut. Dia membaca caption itu pelan, "selalu sayang kamu ... Tina." Safira mengernyit samar, lalu menggeleng. Dia sudah paham gelagat sahabatnya itu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status