Gilang memarkirkan motornya ke parkiran yang masih lengang. Melepas helmnya dan meletakkannya di atas spion. Mencabut kunci motornya kemudian turun dari ninja hitamnya.
Tubuh tinggi dan proporsional itu berlenggang memasuki sekolah yang sepi. Berjalan gontai menuju kelas, sesekali tersenyum ramah pada satu-dua siswa yang menegurnya.
Gilang termasuk siswa yang teladan. Selalu datang lebih awal, bukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti siswa lain. Dia memang senang datang sebelum sekolah terlalu ramai. Selain itu katanya agar bisa menghirup udara segar sebelum terkena polusi.
Hari ini hampir tiga bulan Gilang bersekolah di SMA Tunas Bangsa. Dan sejauh ini semuanya masih baik-baik saja.
Gilang masuk ke kelasnya yang baru ada beberapa orang yang sedang piket. Dia baru meletakkan tas di bangkunya ketika seorang gadis, teman sekelasnya, mendekatinya.
"Hei, Gilang," sapa gadis itu, mengulum senyum.
Gilang memandangnya, "eh, Sa, ada apa?""Hmm gue boleh pinjam handphone lo nggak? Buat searching internet, handphone gue kehabisan kuota. Ini penting banget buat tugas.
Bentar aja, nanti gue balikin," terang gadis bernama Risa itu mengiba, berharap Gilang mau meminjamkannya handphone seperti biasa.
"Oh, boleh." Gilang mengambil handphone dari dalam tasnya dan memberikannya pada Risa, "Nih."
Risa menerimanya dengan tersenyum, "makasih, ya?"
Gilang mengangguk, kemudian dia berjalan ke luar kelas.
Risa yang melihat itu terheran. "Eh, lo mau ke mana?"
Gilang berbalik badan, "gue mau ke luar bentar, cari angin, kenapa?"
"Handphone lo gimana?"
"Pakai aja, gue ke luar bentar, ya?"
"Oh, gitu, ya, udah." Risa mengangguk kaku.
Gilang melanjutkan langkahnya ke luar kelas, mencari angin.
Risa tersenyum senang. Sebenarnya handphone-nya masih ada kuota. Ini hanya alasannya saja agar bisa berinteraksi dengan Gilang dan agar Gilang tidak curiga padanya kalau dia diam-diam menaruh hati pada lelaki itu bahkan sejak awal kedatangannya. Sejak awal Gilang selalu bersikap baik padanya membuat dia semakin jatuh hati pada siswa baru itu.
Meski termasuk tipe orang yang introvert, Gilang tidak menolak jika ada yang mau berteman dengannya atau meminta pertolongan padanya.
Di SMA Tunas Bangsa, dia dikenal baik dan ramah pada semua orang, senang membantu, supel, tidak pilih-pilih dalam berteman. Dia aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan ekstrakurikuler yang diikutinya, yaitu Pik Remaja. Dia juga profesional dalam menjalankan tugasnya di ekstraurikuler tersebut.
Meski tak begitu pintar, Gilang tak pernah bermalas-malasan dalam mengerjakan tugasnya sebagai siswa. Kepribadiannya yang demikian membuat orang senang terhadapnya. Termasuk para guru. Teman-temannya pun senang terhadapnya, terutama kalangan perempuan. Apa lagi jika dia memiliki fisik yang menarik serta wajah yang menawan. Diam-diam tanpa Gilang sadari banyak siswi di kelasnya itu yang menaruh hati padanya. Termasuk Risa.
***Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi, Safira dan Evan baru saja datang tatkala para siswa di kelasnya pada sibuk mengerjakan pekerjaan rumah.Safira menuju bangkunya dan meletakkan tasnya di sana. Evan juga duduk di bangkunya sendiri yang terletak di belakang bangku Safira.
"Eh, pasangan serasi baru datang, tuh," celetuk salah satu siswi di kelas itu yang memang senang mengejek kedekatan Safira dan Evan yang terlihat seperti orang pacaran. Safira yang mendengar itu hanya memutar bola mata malas. Responsnya setiap mendengar ucapan-ucapan semacam itu selalu sama, diam tak menggubris perkataan mereka.
Andra yang tengah menyalin pekerjaan rumah dari siswi lain menoleh ke arah Safira yang baru duduk di kursinya. Kebetulan tempat duduk mereka berdampingan.
"Eh, Fir, liat PR lo, dong," pintanya.
"Nggak ada," jawab Safira cuek.
"Nggak ada? Lo belum ngerjain maksudnya?"
"Hmmm,"
"Masak, sih, lo belum ngerjain, udah kali. Liat dong, jangan pelit-pelit sama gue." Andra tak percaya. Safira menghela napas. Akhirnya dia membuka reseleting tasnya dan mengeluarkan salah satu buku tulis, memberikannya pada Andra.
"Nah, gitu, dong." Andra menerimanya dengan semringah. Dengan cepat lelaki itu menyalin tulisan yang ada di buku Safira. Safira tak heran lagi, Andra memang senang mencontek pekerjaan rumahnya. Tak hanya pekerjaan rumah, tugas sekolah yang lain pun kadang Andra selalu minta kerjakan. Anehnya, Safira mau-mau saja mengerjakan semua perintahnya.
SMA Tunas Bangsa dikenal dengan murid-muridnya yang sangat cerdas, namun, nyatanya tak semua murid demikian. Contohnya Andra.
Meski tak seakrab Evan. Hubungan Andra dan Safira bisa dikatakan dekat. Menurut rumor yang beredar katanya Andra menyukai Safira, tapi Safira tak mempercayai itu. Lelaki itu pun tak pernah menunjukkan ketertarikannya secara terang-terangan.Bel tanda masuk berdentang, menggema di seantero sekolah. Para siswa yang tadinya ribut, sontak mengemasi buku-bukunya.
Andra pun mengembalikan buku Safira.
Guru yang mengajar Matematika---mata pelajaran hari ini---masuk ke kelas dan meminta ketua kelas untuk memberi hormat. Setelah itu pelajaran pertama pun dimulai.
Pelajaran demi pelajaran terlewati hingga waktu pulang tiba. Para siswa berkeluaran dari setiap kelas, berbondong-bondong menuju parkiran.
Jika pergi dengan Evan, maka pulang pun Safira diantar Evan sampai ke kosannya.
"Makasih, Van," ucap Safira tatkala turun dari motor Evan yang berhenti di depan gedung kosannya. Di balik helm fullface-nya yang kacanya tak dibuka, Evan mengangguk, sebelum akhirnya melajukan motornya meninggalkan Safira yang memasuki halaman kosannya.
Safira berjalan di sepanjang lorong, melewati beberapa kamar yang pintunya tertutup rapat, sesekali dia tersenyum tipis pada seorang gadis yang lebih tua darinya melewatinya. Sampai di depan kamarnya, Safira membuka pintu dan masuk ke dalam.
Aroma pewangi ruangan di kamarnya seketika tercium. Kamar Safira rapi dan wangi. Dia selalu membereskan tempat tidurnya dulu sebelum bepergian. Lantai ubin yang tampak mengkilat karena sering di pel dengan pewangi lantai. Isi-isi lemarinya juga selalu dia rapikan setelah dia membongkarnya. Mengembalikan sesuatu selalu pada tempatnya semula.
Safira memiliki kepribadian yang rajin dan rapi. Dia risi dan merasa tak nyaman jika mendapati kamarnya berantakan. Kamar adalah satu-satunya tempat dia mengistirahatkan tubuh setelah lelah dari beraktivitas. Untuk itu kamarnya harus bersih dan rapi.
Safira baru akan mengganti seragamnya ketika ponselnya berbunyi. Telepon dari ibunya yang ada di Samarinda, Kalimantan Timur.
"Halo, Bu," sapa Safira seraya duduk di tepi ranjangnya.
"Safira, kamu apa kabar, Nak? Baik-baik, aja, kan?" Suara ibu di seberang terdengar kalut, membuat Safira sedikit kebingungan.
"Iya, Bu, Safira baik-baik aja. Semuanya aman, kok, Bu," jawab Safira dalam kebingungan. "Ibu kenapa kayak panik gitu?"
"Alhamdulillah, kalau kamu baik-baik saja. Barusan ibu nonton berita di tv, katanya salah satu SMA di Jakarta, muridnya ada yang terlibat kasus narkoba bahkan ada yang sampai meninggal. Ibu takut itu sekolah kamu."
"Nggak kok, Bu. Itu bukan sekolah Safira. Sekolah Safira aman-aman, aja, kok,"
"Baguslah, kamu jaga diri, ya, Nak. Jangan sampai kamu terlibat atau bergaul sama anak-anak pecandu narkoba. Ibu takut."
"Iya, Bu. Ibu tenang, aja. Safira bakal jaga diri, kok dan nggak akan terlibat kasus apa pun. Ibu jangan khawatir, ya?" Safira menenangkan ibunya.
"Selalu kabari ibu, ya, Nak? Jaga diri baik-baik. Ibu selalu do'akan kamu. Semoga sekolahmu lancar dan baik-baik saja,"
"Aamiin. Makasih, Bu,"
"Kalau gitu ibu tutup dulu teleponnya. Wassalamu'alaikum,"
"W*'alaikumussalam," ucap Safira sebelum akhirnya ibu memutuskan sambungan.
Safira merenung. "Kok ibu bisa kepikiran ke situ, ya?" gumam Safira lalu menggeleng pelan. Dia meletakkan ponselnya di tempat tidur lalu mengganti seragamnya secepat mungkin karena setelah ini dia harus makan dan mengerjakan tugas sekolahnya. Begitu kegiatan Safira sehari-hari.
Safira Riana adalah gadis asal Samarinda, Kalimantan Timur. Dia merantau ke Jakarta demi pendidikan yang lebih baik. Dan di sini dia hanya mengekos karena tak ada sanak keluarga yang bisa dimintai untuk numpang tinggal. Ibunya dari Samarinda tiap bulan mengiriminya uang.
Awalnya, ibunya keberatan dengan keputusannya untuk sekolah jauh dari orang tua. Tapi alasan Safira kuat. Dia ingin bersekolah di SMA yang bagus yang tak mungkin dia dapatkan di Kalimantan. Dia ingin kuliah ke pulau Jawa. Dia akan sulit lolos jika tamatan dari SMA di Kalimantan, begitu pikirnya waktu itu.
Selain itu, Evan, teman SMP Safira yang berasal dari daerah yang sama, menyakinkannya untuk bersekolah bersama-sama di Jakarta. Pasalnya lelaki itu juga memiliki tujuan yang sama. Ibu Safira yang sudah percaya dengan Evan pun akhirnya mengizinkan. Ibu Safira berpesan pada Evan untuk menjaga anak bungsunya dengan baik.
Safira anak baik. Tak sedikit pun dia berpikir punya niat lain selain untuk bersekolah di SMA dan Universitas berkualitas baik yang mampu menunjang masa depannya kelak. Meski pun dia tahu, Jakarta kota yang kejam dan keras. Tapi dia optimis dan selalu percaya bahwa dia bisa menjaga diri dan semuanya akan baik-baik saja.
***Setelah mengantar Safira pulang, Evan tak langsung pulang ke kosannya. Dia mampir ke kafe tempat tongkrongannya yang biasa dia dan teman-temannya singgahi. Ada janji berkumpul dengan temannya dari luar sekolah yang telah menunggunya sejak tadi."Eh, Bro, kemana aja baru nampak?" tanya Fajar sambil bertos ria pada Evan yang baru datang.
"Maklum, tugas sekolah numpuk. Ini gue baru pulang dari sekolah sempatin ke sini," jelas Evan setelah meletakkan bokongnya di kursi. "Tino mana?" tanyanya tatkala tak mendapatkan keberadaan Tino.
"Ngambil pesanan minuman buat lo nggak liat, noh." Fajar menunjuk Tino yang sedang menghadap belakang, mendatangi barista. Saat mengetahui Evan akan datang, Tino bergegas memesankan Evan minuman.
"Oh." Evan baru melihat ke sana. Tak lama kemudian, Tino berbalik badan, berjalan ke arahnya dengan segelas Cappucino di tangannya, memberikannya pada Evan.
"Thanks," ucap Evan pada Tino yang kini duduk di sebelahnya.
Evan, Fajar dan Tino adalah teman karib, meski tak satu sekolah. Usia mereka terpaut cukup jauh. Fajar adalah mahasiswa teknik yang sedang menjalani masa kuliahnya semester empat. Sedangkan Tino yang setahun lebih tua dari Evan hanya bekerja di bengkel. Evan mengenal mereka di sebuah acara ulang tahun teman sekelasnya waktu lalu. Dan entah bagaimana caranya mereka bertiga akhirnya jadi teman akrab. Mungkin karena kesamaan mindset yang mereka miliki. Sejak itu mereka sering mengadakan perjanjian via W* untuk bertemu. Sama dengan Safira, di Jakarta, Evan pun mengekos di kosan khusus putra. Kadang, Fajar dan Tino menemuinya di kosannya.
Setelah meneguk sedikit Cappucinonya, Evan mengeluarkan ponselnya, menyalakan kamera, mulai merekam aktivitasnya. Seperti yang sering dia lakukan selama ini.
Evan merekam Fajar yang tengah makan sosis goreng, lalu beralih ke Tino yang mengisap rokoknya, lalu dia merekam wajahnya sendiri. Mereka tertawa-tawa. Evan mengajak Tino berselfie, lalu mengunggahnya di sosial media.
***Safira baru saja menyelesaikan tugas sekolahnya. Untuk menghilangkan penat, dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi sambil memainkan sosial media. Gadis itu terpaku kala melihat foto yang pertama kali muncul di berandanya adalah foto dari akun Evan. Di foto itu Evan sedang berselfie dengan seorang lelaki yang tak Safira kenali, berlatar belakang seperti kafe.Mata Safira lalu tertuju pada tulisan yang ada di bawah foto tersebut. Dia membaca caption itu pelan, "selalu sayang kamu ... Tina." Safira mengernyit samar, lalu menggeleng. Dia sudah paham gelagat sahabatnya itu.
***
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m