Share

Bab 4

Upacara pengibaran bendera merah putih baru saja selesai beberapa menit lalu dan seharusnya para siswa sudah boleh bubar meninggalkan lapangan. Namun, instruksi dari Kepala Sekolah membuat mereka masih berdiri di sana menahan sengatan sinar matahari yang terasa semakin panas.

Ada pengumuman penting yang tak boleh luput dari perhatian SMA Tunas Bangsa. SMA Tunas Bangsa berhasil memenangkan lomba yang di adakan minggu lalu. Berita itu tentu saja jadi hal yang membanggakan SMA Tunas Bangsa yang terkenal sebagai SMA swasta favorit dengan murid-muridnya yang cerdas. Setiap tahun selalu memenangkan perlombaan baik di bidang akademi mau pun non akademi.

"... selamat kepada Wulan Pratiwi dari kelas XII IPA 1,  Ramadhani dari kelas XII IPA 2, dan Ristyana Putri dari kelas X IPA 2 yang telah mewakili sekolah kita memenangkan lomba. Bagi nama yang disebutkan silakan maju ke depan untuk menerima penghargaan ...." Pidato Kepala Sekolah dari atas podium. SMA Tunas Bangsa bertepuk tangan tatkala siswa dan siswi berprestasi maju ke depan. Ucapan selamat dan syukur tak henti-hentinya Bapak Kepala Sekolah utarakan melalui pidatonya yang menggema di penjuru lapangan. Beliau turun dari podium memberikan penghargaan berupa piala dan medali kepada siswa dan siswi kebanggaan SMA Tunas Bangsa.

Wulan Pratiwi, selalu memenangkan lomba sejak kelas X semester ganjil. Beberapa minggu lalu memenangkan lomba Matematika yang diadakan oleh sebuah Universitas.

Ramadhani, selalu memenangkan lomba sejak kelas XI semester ganjil. Beberapa minggu lalu memenangkan lomba Kimia yang diadakan oleh fakultas yang sama.

Pengalaman pertama bagi seorang Ristyana Putri, memenangkan lomba Fisika di SMA Tunas Bangsa. Dia pribadi sungguh tak menyangka.

Siswa yang bertugas untuk dokumentasi sekolah mengarahkan mereka untuk berdiri di tepi lapangan. Mereka bertiga memandang ke kamera dengan tersenyum bangga.

Setelah acara pemberian penghargaan dan foto-foto bersama guru. Para siswa diperbolehkan bubar. 

***

Menjelang istirahat, Safira dan Riri memilih ke kantin. Karena sejak tadi perutnya keroncongan. Mereka berdua duduk menunggu bakso pesanan mereka datang sambil membicarakan topik di lapangan tadi. 

Safira mendengar beberapa siswa yang ada di kantin itu juga membicarakan adik kelas bernama Risty yang berhasil memenangkan lomba itu.

"Gue nggak nyangka, ya, dia sepintar itu," ucap Safira.

"Yang menangin lomba itu?" tanya Riri. "Mereka kan emang udah langganan menangin lomba," lanjutnya mengingat dua siswi seangkatannya.

"Maksud gue bukan Wulan dan Dhani."

"Terus siapa?"

"Adik kelas yang kelas X IPA 2 itu. Gue nggak nyangka dia sepintar itu,"

"Menurut gue biasa, aja, sih," sahut Riri.

Berbeda dengan Safira yang entah kenapa merasa simpati dengan Risty---bahkan sejak awal mereka bertemu, Riri justru biasa saja. Mungkin karena Riri tidak mengenal Risty. Dan kelihatannya juga tak begitu tertarik membahas adik kelas bernama Risty itu. Mungkinkah dirinya yang terlalu berlebihan?

Pada saat yang sama, sosok yang dibicarakan pun masuk ke kantin bersama beberapa temannya. Mereka duduk di kursi panjang yang masih kosong yang ada di depan tak jauh dari meja Safira dan Riri. Safira tak sengaja memandang ke arahnya dan detik itu dia tak mengalihkan pandangannya. Dia Memperhatikan siswi bernama Risty itu cukup lama. Hal itu memancing perhatian Riri yang duduk di sebelahnya.

"Lo ngapain, sih, liatin dia gitu amat." Riri menyikut lengan Safira.

"Ya, gue kagum, aja. Baru kelas sepuluh udah sepintar itu apa lagi nanti udah jadi senior? Selain cerdas, dia juga cantik banget, dan sepertinya dia juga baik. She is perfect woman ...."

Persis Safira selesai mengucapkan kalimat itu, bakso dan teh es pesanan mereka datang.

"Lo iri?" Riri menuangkan kecap dan saos ke dalam mangkoknya lalu mengaduk-aduk baksonya.

"Ya, nggaklah. Justru gue salut, kagum banget," jawab Safira sambil mengaduk baksonya juga.

Riri tak berkomentar apa-apa lagi dan memilih melahap baksonya.

Safira akui dirinya tak sepintar adik kelasnya atau teman-temannya yang mampu memenangkan lomba. Bisa bersekolah di sekolah swasta yang elit seperti SMA Tunas Bangsa ini pun dia sudah bersyukur. Dia tak berharap banyak selain diterima di Universitas favorit kota Jakarta seperti mimpinya selama ini.

"Hei, kalian ke kantin nggak ngajak-ngajak." Evan tiba-tiba muncul dan duduk di hadapan mereka.

"Lo tadi yang nggak ada, kemana?" tanya Safira yang baru selesai mengunyah.

Evan terdiam sejenak. "Eh, gue punya rencana bagus," ucapnya kemudian, mengalihkan pembicaraan sambil melirik Riri yang sejak tadi sibuk makan.

"Rencana apa?" respons Safira.

"Gimana nanti pas liburan semester kita jalan-jalan ke Bandung?" Evan memandang kedua sahabatnya antusias, berharap dua gadis itu setuju dengan rencananya.

"Masih lama," sahut Riri.

Evan menatap Riri, "iya, tapi, kan, nggak ada salahnya direncanain dari sekarang. Sesekali lah kita jalan bertiga ke luar kota. Pasti seru. Kalian mau, kan?"

"Boleh, aja, sih." Riri mengangguk. "Tapi, kok, lo bisa kepikiran rencana kayak gitu ya? Tiba-tiba ngajak jalan. Kalian berdua mau honeymonth?" 

Safira yang tengah makan melotot ke Riri.

"Woi, kalau gue mau honeymonth nggak perlu ngajak lo juga kali," bantah Evan. Riri terkekeh. Dia tak mengerti mengapa Evan selalu membantah jika dijodohkan dengan Safira padahal mereka begitu  dekat.

"Gimana? Mau nggak?" tanya Evan lagi.

"Iya, iya," sahut Safira. "Mending lo pesen makanan sana, emang nggak laper?"

Evan dan Safira asli orang Samarinda. Karena mereka memilih sekolah di sini, mereka belajar beradaptasi, menyesuaikan gaya bicara mereka agar sama dengan orang Jakarta.

Evan baru teringat dia belum makan sejak pagi. Pasalnya perutnya pun tak terasa lapar. Evan mengangguk dan beranjak untuk memesan makanan.

Safira dan Evan mengenal Riri sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di SMA Tunas Bangsa. Safira yang merasa cocok dengan Riri jadi semakin dekat setiap harinya. Evan yang memang selalu dekat dengan Safira pun jadi akrab dengan Riri.

Di sini, Safira menjaga pergaulannya. Dia tak begitu dekat dengan siswi lain selain Riri. Dia tak percaya pada siswi lain selain Riri. Baginya, Riri yang paling baik dan yang penting paling mengerti dirinya.

"Bu, baksonya satu sama air tahu satu. Di tunggu." Evan memesan pada ibu kantin lalu dia kembali ke tempat duduknya. Dalam diamnya dia mengingat rencananya yang telah dia diskusikan dengan Fajar dan Tino kemarin.

"Lo punya temen cewek atau kenalan cewek nggak?" tanya Fajar waktu itu.

"Ada, sih. Emangnya kenapa?" 

"Bagus. Ajak mereka aja sekalian biar rame. Nggak seru kalau nggak ada cewek,"

"Lo nggak tau temen gue itu kayak apa? Dia orangnya lugu, pemalu, terutama sama cowok. Mana mau dia diajak jalan sama cowok kayak kalian," jelas Evan setengah tak setuju dengan ide Fajar.

"Sama lo dia nggak malu?" tanya Tino.

"Gue beda," sahut Evan.

"Aelah, lo, kan, bisalah bujuk dia biar mau, temen lo ada berapa?" tanya Fajar.

"Dua. Yang akrab, sih, cuman dua." Evan mengingat Safira dan Riri.

"Nah, lumayan buat ramein. Pokoknya lo harus bujuk mereka buat jalan nanti. Pandai-pandai lo, deh, gimana caranya."

Evan mengernyit, curiga sesuatu. "Tapi nggak lo apa-apain, kan?"

Fajar tertawa. "Mikir apa, sih, lo? Apa-apain gimana? Orang kita cuma jalan-jalan. Lo kan kenal gue udah lama masak lo nggak tau gue, sih? Apa lagi sama Tino. Tino nggak mungkin ngajak cewek jalan. Iya, nggak, No." Fajar menoleh ke Tino yang hanya diam.

"Ya, kirain. Gue udah nethink duluan. Iya deh nanti gue pikirin caranya buat ngajak mereka," sahut Evan akhirnya.

Evan sungguh tak tahu kalau temannya itu punya rencana lain yang tak dia ketahui.

***

Sosok Risty yang memenangkan lomba ternyata juga menarik perhatian kaum lelaki. Termasuk Andra dan teman-temannya.

Di kantin lain yang tak jauh dari kantin tempat Risty dan kawan-kawannya makan sekarang, ada seorang lelaki yang sejak tadi memperhatikannya. Dia adalah Tristan Bimantara, teman tongkrongan Andra.

Tristan menepuk bahu Andra, membuat Andra yang tengah melahap nasi kuning menoleh, mengangkat kedua alisnya sambil terus mengunyah.

Tatapan Tristan lalu mengarah ke tempat di  mana Risty duduk, tangannya teracung ke arah sana, "lo liat cewek yang duduk di sana?" tanyanya pada Andra.

Tatapan Andra pun mengarah ke tempat yang ditunjuk Tristan. "Kenapa?"

"Cantik, kan?" tanya Tristan balik. Andra memperhatikan Risty yang tengah bercakap-cakap dengan temannya sambil makan, sejenak, lalu mengangguk.

"Dia nggak cuma cantik doang. Tapi juga cerdas. Lo tau kan dia baru menangin lomba Fisika?"

Andra mengangguk lagi sambil menghabiskan sisa nasi kuningnya.

"Dan yang paling penting dia bisa kita ajak buat seneng-seneng."

Andra menatap Tristan tak mengerti. Mulutnya berhenti mengunyah. "Maksud lo?"

Tristan tersenyum miring, "masak lo nggak ngerti maksud gue,"

"Serius lo?"

"Dua rius malah,"

"Lo tau dari mana?"

"Ya, taulah. Dia kan anak pramuka juga. Gue juga tau di mana rumahnya. Lo tau tiap malam rumahnya rame jadi tempat tongkrongan anak-anak sekolah kita. Lo mau nggak gue ajak main-main ke rumahnya ntar malam?"

"Emangnya rumahnya di mana?"

"Nggak jauh dari sekolah kita. Nanti gue tunjukin,"

Andra malah terdiam sambil menatap Risty. Tidak mengiyakan, namun, tidak juga menolak.

***

Seperti biasa,  sepulang sekolah, Safira di antar Evan, sedangkan Riri menunggu jemputan ayahnya.

Sambil menunggu Evan mengeluarkan motornya dari parkiran, Safira menunggu di dekat gerbang sekolah sesekali mengedarkan pandangan, melihat siswa yang ramai memenuhi halaman parkir. Dan pada saat itu matanya tak sengaja terpandang ke sosok Risty yang tengah berjalan di antara keramaian itu, siswi itu tampak menunduk sibuk memainkan ponselnya. Semakin diperhatikan, adik kelas yang dikaguminya itu semakin cantik. Safira terus memperhatikan Risty yang berjalan ke arah gerbang, sampai di depan gerbang, Risty menuju sebuah jalan kecil yang tak jauh dari sekolah. Safira melangkah, ingin melihat lagi kemana gadis itu pergi, tapi suara Evan yang menegurnya menginterupsi geraknya.

"Woi, mau kemana? Jadi pulang nggak?"

Safira menoleh, lalu berbalik mendatangi Evan. "Eh, pulang, dong," jawab Safira sambil nyengir. Lalu dia pun naik ke atas motor Evan sebelum akhirnya motor itu melaju meninggalkan halaman sekolah yang semakin ramai.

***

Risty tiba-tiba mendapat chat dari Gilang yang mengabarkan kalau hari ini mereka pulang bersama, tapi Gilang menunggunya ke jalan tikus yang tak jauh dari sekolahnya. Lelaki itu sudah keluar lebih dulu. Dia tidak mau menjemput Risty secara terang-terangan seperti kesepakatan mereka sejak awal pacaran. Karena itu begitu keluar dari sekolah, Risty langsung menuju jalan tikus yang dimaksud Gilang.

"Kak," panggil Risty ketika melihat Gilang tengah duduk di atas ninja hitamnya sambil merapikan rambutnya ke kaca spion.

Gilang memandang ke arah Risty yang berjalan mendekat. Gilang tersenyum melihat pacarnya yang masih terlihat cantik sore ini. "Naik," kata Gilang.

Risty pun menurut naik ke atas motornya. Tangan kanannya berpaut pada bahu kanan lelaki itu. Aroma parfum khas lelaki yang masih melekat di tubuh Gilang menusuk hidungnya.

Setelah Risty naik, Gilang tak langsung menjalankan motornya. Dia menoleh, "kamu tahu, kan, kalau kakak jemput kamu artinya apa?"

"Tapi, kan, kita nggak mungkin ke hotel dengan seragam begini," sahut Risty.

"Jadi gimana?"

"Ke rumah aku, aja."

Gilang mengangguk. Lalu melajukan ninja hitamnya menuju jalan belakang yang sepi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status