Share

Bab 2

Author: Bagel
Di dalam mobil saat perjalanan pulang, Julian membahasnya seolah hanya sekilas terlintas di pikirannya.

"Ayahku mendesak aliansi pernikahan, jadi aku minta seorang teman membantuku bersandiwara."

"Tenang saja. Kamu satu-satunya yang kucintai dan dia hanyalah sandiwara. Setelah pertunangan, aku tetap akan tinggal di rumah bersamamu."

Aku menatap lampu-lampu neon di luar jendela yang semakin menjauh dan mengangguk tanpa perasaan.

Air mata jatuh tanpa suara.

Setelah sampai di rumah, aku masuk ke ruang kerjanya untuk mengambil sebuah buku.

Laptopnya menyala di atas meja, aplikasi obrolan masih terbuka. Dia pasti lupa menutupnya.

Kontak yang disematkan di bagian atas bertuliskan [Sabrina S.]

Aku membuka percakapan itu. Isinya penuh emoji menjijikkan dan deretan video dari momen-momen paling intim kami.

Percakapan di bawahnya bahkan lebih menyayat hati.

[Aku sudah bilang, bagiku ini tidak lebih dari balas dendam. Rekaman-rekaman ini akan kutayangkan di upacara pertunangan.]

[Setelah hari itu, Alana Mahendra akan terhapus sepenuhnya dari Keluarga Wiratama. Mulai sekarang, satu-satunya yang berada di sisiku hanyalah kamu.]

[Tenang saja. Aku akan menyingkirkan semua penghalang sebelum kamu resmi menjadi nyonya keluarga ini.]

Kata-kata di layar itu menusukku seperti pisau.

[Sayang, kualitas video malam ini cukup bagus. Wajahnya terlihat sangat polos di kamera.]

Aku terus menggulir dan menekan sebuah video.

Yang muncul di layar adalah kamar tidurku.

Rekaman saat aku berganti pakaian, saat aku memeluk bantal sambil menangis.

Dan... rekaman momen-momen intim antara aku dan Julian.

Setiap momen pribadiku terekam dengan kejernihan sempurna.

Dan semuanya menjadi bahan obrolan mesra mereka.

Sebuah pesan suara dari Sabrina terputar otomatis.

"Julian, kamu benar-benar jenius. Membuatnya jatuh cinta padamu, lalu menghancurkannya sendiri. Ini jauh lebih kejam daripada membunuhnya begitu saja."

"Di rapat keluarga besok, aku akan mengusulkan percepatan akuisisi pelabuhan. Keluarga Santoso tidak mau menunggu lagi."

"Namun aku khawatir satu hal. Bagaimana kalau dia membuat keributan di pesta pertunangan?"

Balasan Julian membuat tubuhku membeku.

"Dia tidak akan melakukannya. Dia terlalu mencintaiku untuk mempermalukanku."

"Dan kalaupun dia mencoba, aku tinggal mengancamnya. Aku akan memastikan ibunya ikut hancur bersamanya."

Aku menjatuhkan ponsel. Rasa nyeri tajam menghantam perut bagian bawahku, dan membuatku tertekuk sambil terengah.

Apa anak kami juga merasakan rasa sakit ini?

Kotak musik antik pemberiannya enam tahun lalu masih berada di meja rias.

Dalam cahaya redup, sebuah lampu merah kecil berkedip pelan.

Baru aku sadar bahwa itu adalah sebuah kamera.

Dia mengawasiku sejak awal.

"Kotak musik ini..." gumamku, meliriknya sekilas dengan santai. "Aku harus minta dia membelikanku yang baru."

Aku duduk di mejanya, berpura-pura membuka permainan di komputernya. Tapi jariku segera menelusuri berkas tersembunyi.

Isinya penuh catatan tentang hubungannya dengan Sabrina sejak masa kuliah hingga sekarang.

Setiap hari libur penting, setiap perjalanan yang penuh keintiman.

Di sana juga ada laporan perkembangan yang sangat rinci tentang akuisisi pelabuhan.

Keluarga Santoso menguasai jalur penyelundupan terpenting di kota ini.

Lewat pernikahan ini, Julian bukan hanya membalas dendam pada ibuku, tetapi juga menyerap kekuatan Keluarga Santoso ke dalam kekuasaannya sendiri.

Dia akan memberi kehidupan baru pada Keluarga Wiratama yang sedang merosot.

Rencana pesta pertunangan disusun dengan ketelitian yang mengerikan.

Dari dekorasi tempat hingga setiap detail penghinaan yang menantiku semuanya ia tangani sendiri.

Bahkan posisi kursi tempat aku akan duduk telah ditandai dengan pasti.

Langkah kaki terdengar di tangga.

Aku buru-buru menutup laptop dan menghapus semua riwayat yang kubuka.

Saat makan malam, Bos Willi, Bos Keluarga Wiratama berbicara.

"Julian, upacara pertunanganmu dengan Sabrina Santoso akan diadakan tiga hari lagi."

"Aliansi pernikahan ini tidak bisa ditunda. Sumber daya pelabuhan Keluarga Santoso sangat penting bagi kita."

Julian menatap ke atas, dan berpura-pura terkejut. "Secepat itu?"

"Tentu. Waktu tidak menunggu siapa pun." Nada suara Bos Willi tidak memberi celah bantahan.

Gelas anggur di tanganku terjatuh, dan pecahannya menyebar di lantai.

Serpihan kecil menggores ujung jariku, darah merah muncul, tapi aku sama sekali tak merasakan sakit.

Julian langsung menghampiriku, dan menggenggam tanganku dengan ekspresi penuh perhatian.

"Alana, kenapa kamu bisa ceroboh begitu?" katanya pelan sambil menyeka lukaku.

Melihat ekspresi penuh kasih itu, rasa sakit yang baru menghantamku dan menguatkan tekadku untuk meninggalkan dunia penuh kebohongan ini.

Setelah makan malam, ibuku, Nadia, datang ke kamarku, tatapannya dipenuhi kekhawatiran.

"Kenapa tiba-tiba kamu ingin pergi? Bukankah selama ini kamu ingin menjadi bagian dari keluarga ini?"

"Apa kamu sudah memberi tahu Julian?"

Mataku terasa perih melihat wajah ibuku yang lelah dan tampak menua sebelum waktunya.

"Belum. Aku mau Ibu rahasiakan ini."

"Ibu, setelah aku pergi, hiduplah dengan baik bersama Bos Willi. Jangan hiraukan omongan orang luar."

Aku harus mempercayai ibuku. Dia tak mungkin melakukan hal seperti itu.

Dia tidak pantas diperlakukan setidak adil ini.

Tengah malam, Julian membuka pintu kamarku dan udara dingin ikut menyusup masuk.

Aku terperangkap di antara dinding dan dadanya yang panas, lalu menunduk dan menggesekkan wajah ke leherku.

"Alana?"

"Kamu sudah tidur?"

Aku menahan napas agar tetap teratur, dan merasakan berat tubuhnya saat dia duduk di tepi ranjang.

Tangannya mengusap rambutku dengan lembut.

"Aku minta maaf. Aku membuatmu takut hari ini."

Nada suaranya penuh penyesalan. Jika aku tidak tahu kebenarannya, aku pasti akan luluh, dan jatuh cinta lebih dalam lagi padanya.

"Kamu tahu hubungan kita tidak bisa diumumkan. Pertunangan ini hanya untuk urusan keluarga, itu hanya sandiwara."

Dia mengecup keningku. "Sebentar lagi selesai. Bertahanlah beberapa hari lagi. Setelah upacara itu, semuanya akan kembali normal."

Namun dalam kegelapan, air mata mengalir dari sudut mataku, membasahi sarung bantal.

"Alana, aku tahu kamu belum tidur. Di hatiku hanya ada kamu. Jangan merajuk, ya?"

Aku menahan perih di dadaku dan mengangguk pelan.

Dia mengembuskan napas lega, lalu kembali menarikku ke dalam pelukannya.

Setelah beberapa saat, dia bicara dengan ragu, "Ini upacara pertunangan Keluarga Wiratama, jadi tidak boleh asal. Sebagai keluargaku, kamu mungkin perlu..."

"Oke, aku akan datang."

Aku tahu apa yang ingin dia katakan.

Lebih baik menghadapi semuanya secara langsung dan mempertahankan sisa harga diri yang masih kumiliki.

Dia tampak terkejut dengan sikapku, tapi karena tujuannya tercapai, dia tidak melanjutkan.

Malam itu, dia tetap di kamarku seperti biasanya.

Dan di dalam hatiku, aku telah mengucapkan selamat tinggal terakhir pada pria ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 9

    Julian kembali ke rumah yang kini kosong.Dia mendorong pintu kamar Alana. Meja riasnya setengah kosong, dan pintu lemari terbuka. Semua barang miliknya sudah lenyap.Mereka telah tinggal bersama di rumah ini selama enam tahun.Tapi setiap sudut tempat mereka pernah saling memeluk kini terasa dingin dan kosong, seolah-olah selama ini Alana hanyalah bayangan.Dia duduk di tepi ranjang, dan merokok tanpa henti hingga puntung rokok berserakan di lantai.Dering telepon yang nyaring memecah kesunyian. Begitu dia mengangkatnya, suara Bos Willi yang murka meledak dari seberang."Julian Wiratama! Apa yang kamu pikirkan?!""Operasi pelabuhan kita dibekukan! Jalur penyelundupan terputus! Kamu tahu apa artinya ini bagi kita?""Permainan kekuasaanmu hancur! Bertahun-tahun perencanaan menjadi sia-sia!""Bagaimana aku bisa punya anak sepertimu?! Kamu mempermalukan nama keluarga!""Kamu menghancurkan masa depan keluarga demi seorang perempuan!"Saat ayahnya berbicara, Julian bisa mendengar gumaman me

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 8

    Bisikan mendadak bergema di tengah kerumunan."Apa? Dibatalkan?""Ada apa ini?""Aliansi Keluarga Wiratama dan Keluarga Santoso..."Sabrina dengan gaun putihnya berlari ke atas panggung dan mencengkeram lengan Julian."Julian, apa maksudmu?""Kamu gila? Semua orang sedang melihat!""Bagaimana aku harus menghadapi semua ini? Bagaimana dengan reputasi Keluarga Santoso?""Perempuan jalang itu membisikkan apa padamu?""Kamu tidak mengerti? Dia musuhmu! Kamu mau menghancurkan pertunangan kita demi anak perempuan dari seorang perusak rumah tangga?"Wajah Julian menegang saat dia mendorong Sabrina menjauh."Sabrina, aku memperingatkanmu untuk terakhir kalinya. Alana itu adikku. Jaga ucapanmu.""Selama dia belum kembali, pertunangan ini tidak akan dilanjutkan.""Doakan dia masih hidup dan baik-baik saja. Kalau tidak, kamu yang harus menanggung akibatnya."Dia berbalik dan melangkah keluar dari aula.Panggilan ayahnya yang penuh amarah masuk berturut-turut ke ponsel, tapi semuanya dia abaikan.

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 7

    Julian menepis Sabrina dan melangkah cepat menuju vila.Dia harus menemukan Nadia dan memastikan kabar tentang Alana.Nada suara Julian melembut ketika melihat Nadia memegang ponselnya dengan matanya merah dan bengkak karena menangis."Nadia, Alana belum sampai? Dia tidak membalas pesanmu?""Julian... ada sesuatu yang harus kamu tahu.""Alana... dia tidak akan datang hari ini. Tiga hari lalu dia bilang ingin meninggalkan tempat ini. Dia pergi pagi ini, dan kemudian... terjadi baku tembak..."Nadia tak sanggup menahan tangis, kata-katanya terputus."Dia meninggalkan ini untukku tadi malam." Nadia mengambil sebuah kotak kecil dari meja.Di dalamnya ada sebuah cincin, itu cincin yang melambangkan statusnya di Keluarga Wiratama.Panik melanda Julian. Bayangan Alana di jalanan tiba-tiba muncul di benaknya.Dia terlihat begitu tenang saat itu, seolah sudah siap menghadapi segalanya.Dia mengatakan hanya mengurus sesuatu untuk ibunya, dan mengatakan dia memahami pilihan Julian. Dia bahkan men

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 6

    Julian mencengkeram pergelangan tangan Sabrina, genggamannya begitu kuat sampai dia menjerit kesakitan."Atau biar kutanya langsung. Bagaimana Alana bisa tahu soal kamera di kamarnya? Kamu yang memberitahunya?""Kenapa kamu melakukan itu?""Aduh! Julian, sakit!"Sabrina berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Julian begitu kuat."Aku sudah bilang, setelah hari ini, Alana akan keluar dari hidup kita selamanya. Jadi kenapa kamu justru memberitahunya?""Sekarang dia sudah tidak ada. Bagaimana pertunangan kita bisa berjalan?"Sabrina tidak menyangka Julian akan tiba-tiba berbalik melawannya. Kilatan panik melintas di wajahnya lalu air mata memenuhi matanya."Julian, aku bilang sakit...""Bagaimana mungkin kamu berpikir begitu tentang aku? Kapan aku punya kesempatan untuk sendirian dengan Alana? Aku selalu bersamamu. Aku tahu rencananya dan aku tidak akan menghancurkannya, apalagi sekarang. Ini juga pertunanganku!""Dia sudah mati. Apa kamu benar-benar akan mempertanyakan hubungan ki

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 5

    Julian menatap kamera yang hancur di tangan Rian, pikirannya menolak menerima kenyataan di depannya.Setelah beberapa saat, dia mencengkeram bahu Rian, suaranya bergetar."Apa maksudmu dengan ini semua? Soal baku tembak dan ledakan, apa yang sebenarnya terjadi? Di mana Alana sekarang?""Alana tidak mati." Julian bersikeras. "Ini hanya salah satu leluconnya. Pasti begitu."Rian yang mengetahui seluruh rencana Julian, hanya bisa menghela napas pasrah."Alana mengirimkan ini dua hari lalu. Aku baru melihatnya di depan pintu, dan ada namamu di situ. Kukira itu perlengkapan untuk upacara pertunangan, jadi aku membukanya dan membawanya masuk.""Dia tahu seluruh rencanamu.""Dan soal ledakan itu..." Ekspresi Rian menegang saat menatap Julian."Mobilnya meledak di dasar tebing. Tidak ada yang selamat.""Julian, adik tirimu sudah tiada. Kejadiannya pagi ini. Aku mendapatkan riwayat perjalanannya dan beritanya sudah mulai tersebar bahwa sebuah mobil terlibat baku tembak musuh keluarga di pinggir

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 4

    "Minta maaf."Julian sama sekali mengabaikan wajahku yang berlumuran darah, tatapannya membara dengan kemarahan."Alana, aku bilang minta maaf pada Sabrina. Sekarang!"Kuku-kukuku menancap dalam ke telapak tangan, dan darah menetes ke lantai."Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Kenapa aku harus minta maaf?""Kamulah yang seharusnya minta maaf!"Kekecewaan terlihat jelas di mata Julian."Alana, sejak kapan kamu jadi seperti ini? Sungguh mengecewakan."Sebelum aku sempat membantah, Bos Willi melangkah maju dan menarik Julian berdiri."Bawa Sabrina untuk mengobati lukanya. Aku yang akan menangani urusan di sini."Julian pergi sambil menggendong Sabrina dalam pelukannya.Ibuku mengikuti di belakang Bos Willi, dan memohon maaf dengan rendah hati.Sebelum pergi, Julian menoleh padaku. Matanya penuh emosi yang sulit dijelaskan dan tidak bisa kutebak.Begitu pintu tertutup, sisa kehangatan terakhir di hatiku lenyap.Aku baru benar-benar sadar. Sisa cinta terakhirku padanya mati di saat itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status