Share

Pertaruhan Hati di Tengah Dendam
Pertaruhan Hati di Tengah Dendam
Author: Bagel

Bab 1

Author: Bagel
Selama enam tahun, aku diam-diam menjalin hubungan dengan saudara tiriku, Draven, yang juga ahli waris keluarga mafia.

Setiap malam, sentuhannya menjelajahi tubuhku, penuh hasrat yang mendesak.

Tatapan yang dia berikan padaku di saat-saat intim itu membuatku percaya bahwa akulah satu-satunya perempuan yang mampu menyalakan gairah seperti itu di dalam dirinya.

Sampai satu bulan lalu, ketika aku mengetahui bahwa aku hamil.

Sehari sebelum Hari Valentine, aku masuk diam-diam ke ruang kerjanya, berniat memberinya kejutan.

Dari celah pintu, aku mendengarnya berbicara dengan Rian, penasihat keluarga.

"Kamu belum bosan dengan Alana, adik tirimu itu? Pertunanganmu sudah tinggal menunggu waktu. Jangan bilang kamu benar-benar jatuh cinta padanya."

Senyum dingin terukir di wajahnya.

"Jatuh cinta padanya? Dia hanya target yang terlalu mudah, datang sendiri ke dalam genggamanku. Terlalu sayang jika dilewatkan."

"Ibunya telah membuat ibuku mati sebelum waktunya. Enam tahun ini adalah harga yang harus dia bayar. Dan dia pantas menerima semuanya."

"Dan seperti yang sudah kukatakan, istriku kelak hanya Sabrina Santoso. Tidak akan ada yang lain."

"Pernikahan itu akan mengamankan jalur penyelundupan pelabuhan Keluarga Santoso dan hanya itu yang penting."

Jadi, cinta yang selama ini kupercaya hanyalah sandiwara balas dendam yang disusun dengan rapi.

Setiap pelukan darinya hanyalah kebohongan yang terencana.

Baiklah. Sudah saatnya aku dan anak kami yang belum lahir lenyap sepenuhnya dari hidupnya.

"Berhenti memikirkan dia dan fokus saja mengurus rencana upacara pertunangan dengan Sabrina. Soal Alana Mahendra... aku punya caraku sendiri."

"Bayangkan saja skandalnya. Seorang gadis yang begitu tergila-gila pada saudara tirinya sendiri, sampai merangkak ke tempat tidurnya setiap malam."

"Ketika hubungan menjijikkan seperti itu terbongkar di depan semua orang saat pesta pertunangan, bagaimana mungkin dia masih bisa menunjukkan wajahnya di depan publik?"

"Kalau saat itu dia datang menangis dan memohon, aku bisa menempatkannya di tempat lain. Dia akan menjadi kekasih rahasiaku selamanya, itu adalah hukuman seumur hidup baginya."

Suara Rian melembut, dan dipenuhi rasa kasihan saat dia mencoba menasihati Julian.

"Meski ibunya memang bersalah, Alana saat itu masih anak-anak, itu bukan kesalahannya."

"Dia baru berusia delapan belas tahun. Tidak pernah terlibat dalam bisnis keluarga, bahkan tidak pernah memegang pistol. Dia tidak memahami dunia ini."

"Tidakkah kamu merasa ini sudah keterlaluan dengan menyiksanya sejauh ini?"

"Semua orang tahu betapa besar cintanya padamu. Kalau dia mengetahui alasan sebenarnya kamu mendekatinya, kamu akan menghancurkannya."

Julian menghembuskan napas berat, rahangnya menegang saat ia menyibakkan rambutnya dengan frustrasi.

Sekilas rasa bersalah melintas di wajahnya, lalu segera dia sembunyikan.

Terdengar bunyi klik lembut dari pemantik logam, gerakannya lebih gelisah dari biasanya, seolah bahkan dia sendiri mulai mempertanyakan jalan yang telah dia pilih.

"Terus kenapa?"

"Jangan bicara soal dia tidak bersalah. Apakah tidak bersalah ketika perempuan jalang itu merebut suami ibuku dan membiarkannya mati karena patah hati?"

"Dosanya adalah dilahirkan oleh perempuan itu."

"Kalau dia memang sesuci itu, dia tidak akan naik ke ranjangku enam tahun lalu. Dia yang membuat pilihannya sendiri."

Rian menghela napas panjang, dan mencoba sekali lagi untuk terakhir kalinya.

"Mungkin begitu, tapi setelah enam tahun bersama, aku tidak percaya kamu tidak merasakan apa pun padanya."

"Julian, aku harus mengingatkanmu. Ada hal-hal yang tidak bisa dihapus setelah dilakukan."

Wajah Julian menggelap. Tatapannya pada Rian penuh kebencian.

"Jatuh cinta pada putri musuhku? Kamu menganggapku sebodoh itu?"

"Seberapa pun aku tergoda saat dia ada di ranjangku, itu tak mengubah fakta bahwa dia anak seorang pendosa."

"Aku tahu persis apa yang sedang kulakukan."

"Begitu aku membalas dendam untuk ibuku, aku akan segera mengusirnya."

Rian tampak menyerah. Aku mendengar dia berdiri.

Langkah kakinya semakin mendekat.

Aku panik dan berusaha bersembunyi, tapi gelombang pusing menerjangku. Aku terhuyung ke belakang, menabrak meja konsol di lorong, dan secara spontan memeluk perutku saat sebuah vas berat jatuh dan pecah di lantai marmer.

Prangg!

Rian membuka pintu. Begitu melihatku, matanya dipenuhi keterkejutan dan belas kasihan.

Julian bergegas keluar begitu mendengar suara itu.

Dia menatap pecahan porselen di kakiku, sementara aku, berantakan, seperti sosok menyedihkan di tengah genangan air.

Kepanikan melintas di wajahnya saat dia cepat-cepat menolongku berdiri.

"Alana? Apa yang kamu lakukan di sini? Kapan kamu sampai?"

Aku mencoba tersenyum, tapi air mata jatuh lebih dulu.

"Baru sampai. Aku ingin memberimu kejutan, tapi aku terpeleset."

Dia mengira aku menangis karena ceroboh, jadi menarikku ke sisinya dengan senyum lembut penuh sayang.

Dengan santai dia memerintahkan anak buahnya membersihkan kekacauan itu, lalu membawaku masuk ke ruang kerjanya.

Begitu pintu tertutup, dia menekanku ke pintu, tubuh panasnya menempel di tubuhku.

Sentuhan itu ditambah rasa mual yang masih tersisa membuatku merinding.

"Aku sudah bilang ribuan kali bahwa kamu tidak perlu memberiku hadiah apa pun. Alana, kehadiranmu adalah hadiah terbesar."

"Kamu pasti lelah setelah perjalanan. Istirahat sebentar. Nanti aku antar pulang setelah urusan keluarga selesai."

Dia menunduk dan mengecup keningku dengan lembut.

Setiap gerakannya sama lembutnya seperti enam tahun terakhir.

Namun, aku tidak lagi merasakan kehangatan sedikit pun.

Aku tak pernah menyangka seseorang bisa menjadi aktor yang begitu meyakinkan.

Aku teringat malam hujan itu, tak lama setelah aku pertama kali tiba di Kediaman Keluarga Wiratama. Aku merasa sesak dan menyelinap keluar.

Di sebuah gang gelap, aku dikepung oleh musuh Keluarga Wiratama dan tubuhku gemetar ketakutan.

Julian muncul dari bayangan seperti dewa. Dengan gerakan cepat dan tepat, dia menyelamatkanku dengan senjata di tangan.

Lalu dia berjalan menghampiriku, melepaskan jasnya, dan membungkus tubuhku yang gemetar.

Meski lengannya berdarah, dia menenangkanku dengan suara rendah, "Jangan takut. Aku di sini. Tidak ada yang berani menyentuhmu lagi."

Saat itu, aku mempercayainya. Dia adalah satu-satunya penyelamatku.

Aku hanyut sepenuhnya dalam fantasi lembut yang dia ciptakan.

Aku tak pernah tahu bahwa penyelamatanku hanyalah satu lagi perburuan yang dia rencanakan dengan begitu sempurna.

Dialah yang melemparkanku ke neraka dengan tangannya sendiri.

Sementara Julian sibuk dengan urusannya, aku mengirim pesan rahasia kepada ibuku.

[Ibu, aku ingin pergi dari tempat ini.]

[Jangan beri tahu siapa pun dulu.]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 9

    Julian kembali ke rumah yang kini kosong.Dia mendorong pintu kamar Alana. Meja riasnya setengah kosong, dan pintu lemari terbuka. Semua barang miliknya sudah lenyap.Mereka telah tinggal bersama di rumah ini selama enam tahun.Tapi setiap sudut tempat mereka pernah saling memeluk kini terasa dingin dan kosong, seolah-olah selama ini Alana hanyalah bayangan.Dia duduk di tepi ranjang, dan merokok tanpa henti hingga puntung rokok berserakan di lantai.Dering telepon yang nyaring memecah kesunyian. Begitu dia mengangkatnya, suara Bos Willi yang murka meledak dari seberang."Julian Wiratama! Apa yang kamu pikirkan?!""Operasi pelabuhan kita dibekukan! Jalur penyelundupan terputus! Kamu tahu apa artinya ini bagi kita?""Permainan kekuasaanmu hancur! Bertahun-tahun perencanaan menjadi sia-sia!""Bagaimana aku bisa punya anak sepertimu?! Kamu mempermalukan nama keluarga!""Kamu menghancurkan masa depan keluarga demi seorang perempuan!"Saat ayahnya berbicara, Julian bisa mendengar gumaman me

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 8

    Bisikan mendadak bergema di tengah kerumunan."Apa? Dibatalkan?""Ada apa ini?""Aliansi Keluarga Wiratama dan Keluarga Santoso..."Sabrina dengan gaun putihnya berlari ke atas panggung dan mencengkeram lengan Julian."Julian, apa maksudmu?""Kamu gila? Semua orang sedang melihat!""Bagaimana aku harus menghadapi semua ini? Bagaimana dengan reputasi Keluarga Santoso?""Perempuan jalang itu membisikkan apa padamu?""Kamu tidak mengerti? Dia musuhmu! Kamu mau menghancurkan pertunangan kita demi anak perempuan dari seorang perusak rumah tangga?"Wajah Julian menegang saat dia mendorong Sabrina menjauh."Sabrina, aku memperingatkanmu untuk terakhir kalinya. Alana itu adikku. Jaga ucapanmu.""Selama dia belum kembali, pertunangan ini tidak akan dilanjutkan.""Doakan dia masih hidup dan baik-baik saja. Kalau tidak, kamu yang harus menanggung akibatnya."Dia berbalik dan melangkah keluar dari aula.Panggilan ayahnya yang penuh amarah masuk berturut-turut ke ponsel, tapi semuanya dia abaikan.

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 7

    Julian menepis Sabrina dan melangkah cepat menuju vila.Dia harus menemukan Nadia dan memastikan kabar tentang Alana.Nada suara Julian melembut ketika melihat Nadia memegang ponselnya dengan matanya merah dan bengkak karena menangis."Nadia, Alana belum sampai? Dia tidak membalas pesanmu?""Julian... ada sesuatu yang harus kamu tahu.""Alana... dia tidak akan datang hari ini. Tiga hari lalu dia bilang ingin meninggalkan tempat ini. Dia pergi pagi ini, dan kemudian... terjadi baku tembak..."Nadia tak sanggup menahan tangis, kata-katanya terputus."Dia meninggalkan ini untukku tadi malam." Nadia mengambil sebuah kotak kecil dari meja.Di dalamnya ada sebuah cincin, itu cincin yang melambangkan statusnya di Keluarga Wiratama.Panik melanda Julian. Bayangan Alana di jalanan tiba-tiba muncul di benaknya.Dia terlihat begitu tenang saat itu, seolah sudah siap menghadapi segalanya.Dia mengatakan hanya mengurus sesuatu untuk ibunya, dan mengatakan dia memahami pilihan Julian. Dia bahkan men

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 6

    Julian mencengkeram pergelangan tangan Sabrina, genggamannya begitu kuat sampai dia menjerit kesakitan."Atau biar kutanya langsung. Bagaimana Alana bisa tahu soal kamera di kamarnya? Kamu yang memberitahunya?""Kenapa kamu melakukan itu?""Aduh! Julian, sakit!"Sabrina berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Julian begitu kuat."Aku sudah bilang, setelah hari ini, Alana akan keluar dari hidup kita selamanya. Jadi kenapa kamu justru memberitahunya?""Sekarang dia sudah tidak ada. Bagaimana pertunangan kita bisa berjalan?"Sabrina tidak menyangka Julian akan tiba-tiba berbalik melawannya. Kilatan panik melintas di wajahnya lalu air mata memenuhi matanya."Julian, aku bilang sakit...""Bagaimana mungkin kamu berpikir begitu tentang aku? Kapan aku punya kesempatan untuk sendirian dengan Alana? Aku selalu bersamamu. Aku tahu rencananya dan aku tidak akan menghancurkannya, apalagi sekarang. Ini juga pertunanganku!""Dia sudah mati. Apa kamu benar-benar akan mempertanyakan hubungan ki

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 5

    Julian menatap kamera yang hancur di tangan Rian, pikirannya menolak menerima kenyataan di depannya.Setelah beberapa saat, dia mencengkeram bahu Rian, suaranya bergetar."Apa maksudmu dengan ini semua? Soal baku tembak dan ledakan, apa yang sebenarnya terjadi? Di mana Alana sekarang?""Alana tidak mati." Julian bersikeras. "Ini hanya salah satu leluconnya. Pasti begitu."Rian yang mengetahui seluruh rencana Julian, hanya bisa menghela napas pasrah."Alana mengirimkan ini dua hari lalu. Aku baru melihatnya di depan pintu, dan ada namamu di situ. Kukira itu perlengkapan untuk upacara pertunangan, jadi aku membukanya dan membawanya masuk.""Dia tahu seluruh rencanamu.""Dan soal ledakan itu..." Ekspresi Rian menegang saat menatap Julian."Mobilnya meledak di dasar tebing. Tidak ada yang selamat.""Julian, adik tirimu sudah tiada. Kejadiannya pagi ini. Aku mendapatkan riwayat perjalanannya dan beritanya sudah mulai tersebar bahwa sebuah mobil terlibat baku tembak musuh keluarga di pinggir

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 4

    "Minta maaf."Julian sama sekali mengabaikan wajahku yang berlumuran darah, tatapannya membara dengan kemarahan."Alana, aku bilang minta maaf pada Sabrina. Sekarang!"Kuku-kukuku menancap dalam ke telapak tangan, dan darah menetes ke lantai."Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Kenapa aku harus minta maaf?""Kamulah yang seharusnya minta maaf!"Kekecewaan terlihat jelas di mata Julian."Alana, sejak kapan kamu jadi seperti ini? Sungguh mengecewakan."Sebelum aku sempat membantah, Bos Willi melangkah maju dan menarik Julian berdiri."Bawa Sabrina untuk mengobati lukanya. Aku yang akan menangani urusan di sini."Julian pergi sambil menggendong Sabrina dalam pelukannya.Ibuku mengikuti di belakang Bos Willi, dan memohon maaf dengan rendah hati.Sebelum pergi, Julian menoleh padaku. Matanya penuh emosi yang sulit dijelaskan dan tidak bisa kutebak.Begitu pintu tertutup, sisa kehangatan terakhir di hatiku lenyap.Aku baru benar-benar sadar. Sisa cinta terakhirku padanya mati di saat itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status