LOGINJulian kembali ke rumah yang kini kosong.Dia mendorong pintu kamar Alana. Meja riasnya setengah kosong, dan pintu lemari terbuka. Semua barang miliknya sudah lenyap.Mereka telah tinggal bersama di rumah ini selama enam tahun.Tapi setiap sudut tempat mereka pernah saling memeluk kini terasa dingin dan kosong, seolah-olah selama ini Alana hanyalah bayangan.Dia duduk di tepi ranjang, dan merokok tanpa henti hingga puntung rokok berserakan di lantai.Dering telepon yang nyaring memecah kesunyian. Begitu dia mengangkatnya, suara Bos Willi yang murka meledak dari seberang."Julian Wiratama! Apa yang kamu pikirkan?!""Operasi pelabuhan kita dibekukan! Jalur penyelundupan terputus! Kamu tahu apa artinya ini bagi kita?""Permainan kekuasaanmu hancur! Bertahun-tahun perencanaan menjadi sia-sia!""Bagaimana aku bisa punya anak sepertimu?! Kamu mempermalukan nama keluarga!""Kamu menghancurkan masa depan keluarga demi seorang perempuan!"Saat ayahnya berbicara, Julian bisa mendengar gumaman me
Bisikan mendadak bergema di tengah kerumunan."Apa? Dibatalkan?""Ada apa ini?""Aliansi Keluarga Wiratama dan Keluarga Santoso..."Sabrina dengan gaun putihnya berlari ke atas panggung dan mencengkeram lengan Julian."Julian, apa maksudmu?""Kamu gila? Semua orang sedang melihat!""Bagaimana aku harus menghadapi semua ini? Bagaimana dengan reputasi Keluarga Santoso?""Perempuan jalang itu membisikkan apa padamu?""Kamu tidak mengerti? Dia musuhmu! Kamu mau menghancurkan pertunangan kita demi anak perempuan dari seorang perusak rumah tangga?"Wajah Julian menegang saat dia mendorong Sabrina menjauh."Sabrina, aku memperingatkanmu untuk terakhir kalinya. Alana itu adikku. Jaga ucapanmu.""Selama dia belum kembali, pertunangan ini tidak akan dilanjutkan.""Doakan dia masih hidup dan baik-baik saja. Kalau tidak, kamu yang harus menanggung akibatnya."Dia berbalik dan melangkah keluar dari aula.Panggilan ayahnya yang penuh amarah masuk berturut-turut ke ponsel, tapi semuanya dia abaikan.
Julian menepis Sabrina dan melangkah cepat menuju vila.Dia harus menemukan Nadia dan memastikan kabar tentang Alana.Nada suara Julian melembut ketika melihat Nadia memegang ponselnya dengan matanya merah dan bengkak karena menangis."Nadia, Alana belum sampai? Dia tidak membalas pesanmu?""Julian... ada sesuatu yang harus kamu tahu.""Alana... dia tidak akan datang hari ini. Tiga hari lalu dia bilang ingin meninggalkan tempat ini. Dia pergi pagi ini, dan kemudian... terjadi baku tembak..."Nadia tak sanggup menahan tangis, kata-katanya terputus."Dia meninggalkan ini untukku tadi malam." Nadia mengambil sebuah kotak kecil dari meja.Di dalamnya ada sebuah cincin, itu cincin yang melambangkan statusnya di Keluarga Wiratama.Panik melanda Julian. Bayangan Alana di jalanan tiba-tiba muncul di benaknya.Dia terlihat begitu tenang saat itu, seolah sudah siap menghadapi segalanya.Dia mengatakan hanya mengurus sesuatu untuk ibunya, dan mengatakan dia memahami pilihan Julian. Dia bahkan men
Julian mencengkeram pergelangan tangan Sabrina, genggamannya begitu kuat sampai dia menjerit kesakitan."Atau biar kutanya langsung. Bagaimana Alana bisa tahu soal kamera di kamarnya? Kamu yang memberitahunya?""Kenapa kamu melakukan itu?""Aduh! Julian, sakit!"Sabrina berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Julian begitu kuat."Aku sudah bilang, setelah hari ini, Alana akan keluar dari hidup kita selamanya. Jadi kenapa kamu justru memberitahunya?""Sekarang dia sudah tidak ada. Bagaimana pertunangan kita bisa berjalan?"Sabrina tidak menyangka Julian akan tiba-tiba berbalik melawannya. Kilatan panik melintas di wajahnya lalu air mata memenuhi matanya."Julian, aku bilang sakit...""Bagaimana mungkin kamu berpikir begitu tentang aku? Kapan aku punya kesempatan untuk sendirian dengan Alana? Aku selalu bersamamu. Aku tahu rencananya dan aku tidak akan menghancurkannya, apalagi sekarang. Ini juga pertunanganku!""Dia sudah mati. Apa kamu benar-benar akan mempertanyakan hubungan ki
Julian menatap kamera yang hancur di tangan Rian, pikirannya menolak menerima kenyataan di depannya.Setelah beberapa saat, dia mencengkeram bahu Rian, suaranya bergetar."Apa maksudmu dengan ini semua? Soal baku tembak dan ledakan, apa yang sebenarnya terjadi? Di mana Alana sekarang?""Alana tidak mati." Julian bersikeras. "Ini hanya salah satu leluconnya. Pasti begitu."Rian yang mengetahui seluruh rencana Julian, hanya bisa menghela napas pasrah."Alana mengirimkan ini dua hari lalu. Aku baru melihatnya di depan pintu, dan ada namamu di situ. Kukira itu perlengkapan untuk upacara pertunangan, jadi aku membukanya dan membawanya masuk.""Dia tahu seluruh rencanamu.""Dan soal ledakan itu..." Ekspresi Rian menegang saat menatap Julian."Mobilnya meledak di dasar tebing. Tidak ada yang selamat.""Julian, adik tirimu sudah tiada. Kejadiannya pagi ini. Aku mendapatkan riwayat perjalanannya dan beritanya sudah mulai tersebar bahwa sebuah mobil terlibat baku tembak musuh keluarga di pinggir
"Minta maaf."Julian sama sekali mengabaikan wajahku yang berlumuran darah, tatapannya membara dengan kemarahan."Alana, aku bilang minta maaf pada Sabrina. Sekarang!"Kuku-kukuku menancap dalam ke telapak tangan, dan darah menetes ke lantai."Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Kenapa aku harus minta maaf?""Kamulah yang seharusnya minta maaf!"Kekecewaan terlihat jelas di mata Julian."Alana, sejak kapan kamu jadi seperti ini? Sungguh mengecewakan."Sebelum aku sempat membantah, Bos Willi melangkah maju dan menarik Julian berdiri."Bawa Sabrina untuk mengobati lukanya. Aku yang akan menangani urusan di sini."Julian pergi sambil menggendong Sabrina dalam pelukannya.Ibuku mengikuti di belakang Bos Willi, dan memohon maaf dengan rendah hati.Sebelum pergi, Julian menoleh padaku. Matanya penuh emosi yang sulit dijelaskan dan tidak bisa kutebak.Begitu pintu tertutup, sisa kehangatan terakhir di hatiku lenyap.Aku baru benar-benar sadar. Sisa cinta terakhirku padanya mati di saat itu