Share

Bab 3

Author: Bagel
Keesokan paginya, aku diam-diam keluar dari kamarku saat seluruh keluarga masih tidur.

Julian baru saja pergi untuk mengurus urusan keluarga, dan aku segera menyusul.

Dengan waktu tersisa tiga hari, aku harus menyelesaikan semua persiapan terakhir untuk kepergianku.

Aku sama sekali tak menyangka akan bertemu Julian dan Sabrina di sini.

Di depan sebuah toko perhiasan, Julian keluar dari mobil dan berjalan ke sisi penumpang untuk membuka pintu bagi Sabrina.

Sabrina menggandeng lengan Julian dengan senyum yang begitu berseri.

"Cincin pesanan khusus dari toko ini benar-benar sempurna, Julian."

Dia sengaja meninggikan suaranya untuk menarik perhatian orang-orang di sekitar.

Seperti yang dia harapkan, bisik-bisik penuh iri pun terdengar dari kerumunan.

"Itu putri dari Keluarga Santoso, kan? Elegan sekali. Cincin di jarinya sepertinya koleksi warisan merek C. Katanya satu saja nilainya dua belas digit!"

"Iya, itu dia. Kudengar dia dan Julian sudah bersama sejak sekolah bisnis. Dua keluarga bahkan membeli satu properti utuh hanya untuk pesta pertunangan. Biaya keamanan saja miliaran!"

"Ya ampun, mereka seperti pangeran dan putri, sungguh menakjubkan. Kalau aku bisa mendapatkan pria seperti itu, aku pasti tersenyum bahkan dalam tidurku..."

Aku tersadar dari lamunan ketika seorang pegawai toko berlari keluar mengejarku.

"Nona Alana? Nona Alana? Dokumen Anda tertinggal."

Suara itu menarik perhatian Julian.

Saat aku memasukkan berkas-berkas itu ke dalam tas, Julian sudah berdiri di hadapanku.

Tatapannya canggung saat bertemu mataku.

"Alana?" Dia melepaskan tangan Sabrina dan melangkah mendekat.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

Aku tersenyum tipis, dan melirik Sabrina.

"Mengurus beberapa keperluan untuk ibuku."

Sabrina menghampiri dari belakang dan kembali menggandeng lengan Julian dengan mesra.

"Kamu pasti adiknya Julian, ya? Senang bertemu denganmu."

"Julian selalu bercerita tentangmu."

"Kami baru selesai memilih cincin dan mau melihat gaun."

Aku menatap tubuh mereka yang saling menempel erat. Aku pun mengangguk perlahan dan berbalik hendak pergi.

Namun Julian mengejarku, meraih lenganku dan bicara dengan nada mendesak, "Itu semuanya pengaturan Ayah, kamu tahu itu."

Dia ingin menjelaskan, tetapi dengan Sabrina di dekatnya, kata-katanya terdengar begitu tak berarti.

Aku tiba-tiba ingin tertawa melihat dia begitu cemas untukku.

Sabrina adalah orang yang dia cintai selama bertahun-tahun.

Kini pertunangannya sudah dekat, dan rencana balas dendamnya hampir selesai.

Untuk siapa lagi dia masih bersandiwara?

"Sabrina akan datang ke rumah untuk makan malam nanti. Aku memberi tahu kamu lebih dulu supaya kamu tidak salah paham."

"Tenang saja, aku tahu posisiku. Karena ini pengaturan Bos Willi, kamu harus kerja sama dengan pengaturannya. Aku tidak akan membuat masalah."

"Kamu pergi dulu saja. Aku akan menunggumu di rumah."

Dia tampak lega melihat aku bersikap normal. Dia lalu menyuruh seseorang mengantarku pulang, lalu berbalik pergi bersama Sabrina.

Mengetahui Sabrina akan datang makan malam, ibuku menghabiskan sore harinya di dapur untuk menyiapkan hidangan mewah.

Dia tampak begitu kecil dan patuh, seperti pelayan yang bisa disingkirkan kapan saja.

Aku masuk ke dapur dan membantunya menata hidangan.

"Ibu, tidak usah repot-repot seperti ini."

"Tidak apa-apa. Hari ini hari penting."

Dia tersenyum pahit sambil terus menghias hidangan dengan trafel mahal.

Saat Julian datang bersama Sabrina, ibuku dan Bos Willi menghadiahkan sebuah gelang berlian yang sangat berharga padanya.

Sementara itu, aku bersembunyi di kamarku, dan pura-pura sakit kepala. Namun tak lama, Julian masuk dengan membawa kotak hadiah.

Dengan wajahnya yang penuh kasih, dia menyerahkan sebuah kunci mobil kepadaku.

"Aku tahu hubungan kita harus disembunyikan, dan kamu sudah banyak menderita."

"Tapi setelah pertunangan, tidak akan ada yang berubah di antara kita. Aku tetap tinggal di rumah dan bersamamu seperti sebelumnya."

"Alana, jangan marah padaku, ya? Mobil tua ini... menyimpan banyak kenangan kita dan sekarang resmi jadi milikmu."

"Ini hadiah spesial."

Aku menatap kunci mobil yang sudah berkarat itu dan rasa getir memenuhi dadaku.

Aku tahu, baru kemarin dia dengan penuh gaya menghadiahkan Sabrina sebuah mobil mewah anti peluru yang dibuat khusus dan benar-benar baru.

"Baik. Aku tidak akan marah."

"Pergilah makan. Mereka sudah menyiapkan semuanya dari tadi."

Aku berusaha menenangkannya, dan berpura-pura sama sekali tidak terpengaruh.

Melihatku bersikap seperti biasa, Julian tampaknya mengira aku sudah tenang karena mobil tua itu dan bahwa pertunjukan kasih sayangnya yang murahan berhasil.

Begitu dia turun ke bawah, aku berbalik dan melempar kunci mobil itu ke dalam perapian.

Suara sorak-sorai dan dentingan gelas bersulang terdengar dari bawah.

Aku mendengar suara Julian memerintah ibuku seperti pelayan, menyuruhnya menghidangkan makanan berikutnya dan mengisi sup lagi.

Aku pun duduk di lantai, memeluk lutut, dan memasukkan semua perhiasan pemberiannya selama enam tahun ke dalam kantong sampah, siap dibuang.

Saat kantong itu membentur meja, Sabrina tiba-tiba muncul di depan pintu kamarku.

Dia tersenyum penuh kemenangan melihat kekacauan di lantai.

"Wah, tidak kuat lagi, ya?"

"Alana Mahendra, kamu bahkan lebih lemah dari yang kupikirkan."

Dia menjilat bibirnya, senyumnya penuh ejekan.

"Oh ya, kamu belum tahu, kan? Julian bilang dia muak harus berhubungan badan denganmu di mobil tua itu. Katanya jok kulitnya yang pudar sama membosankannya dengan dirimu."

"Dan untuk urusan tertentu, aku bisa memberinya pengalaman yang jauh lebih menyegarkan."

"Bukan cuma di mobil, tapi di banyak tempat lain... kapal pesiar, jet pribadi, dan tempat-tempat yang tidak akan pernah kamu datangi."

Rasanya seluruh napasku terhenti. Sebuah rasa sakit tajam menjepit dadaku, napasku tercekat.

Enam tahun kemarahan dan penghinaan yang tertahan meledak dalam sekejap.

Aku menerjangnya, dan mengangkat tangan. "Diam!"

Namun dia tiba-tiba menjatuhkan diri ke belakang sebelum telapak tanganku sempat menyentuh wajahnya.

Lututnya menghantam lantai keras, dan kulit tergores.

"Ah!" Dia menjerit kesakitan, air mata langsung menggenang di matanya.

Julian menerobos masuk mendengar suara itu dan melihat Sabrina tergeletak di lantai.

Wajahnya langsung menggelap.

"Alana!"

Dia mencengkeram pergelangan tanganku dan menghempaskannya.

Aku kehilangan keseimbangan, kepalaku membentur sudut meja.

Cairan hangat mengalir dari dahiku. Itu darah.

Namun rasa sakitku sendiri tak berarti apa-apa. Yang kupikirkan hanyalah bayiku, berharap dia tetap aman.

Julian bahkan tak melirikku. Dia berlutut dan menolong Sabrina berdiri.

"Apa kamu terluka? Perlu ke rumah sakit?"

Sabrina bersandar di dadanya dan menatap dengan penuh kesedihan.

"Aku hanya ingin berteman dengannya. Aku tidak menyangka..."

Julian menoleh, menatapku dengan dingin yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Alana, coba saja kamu menyentuhnya sekali lagi."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 9

    Julian kembali ke rumah yang kini kosong.Dia mendorong pintu kamar Alana. Meja riasnya setengah kosong, dan pintu lemari terbuka. Semua barang miliknya sudah lenyap.Mereka telah tinggal bersama di rumah ini selama enam tahun.Tapi setiap sudut tempat mereka pernah saling memeluk kini terasa dingin dan kosong, seolah-olah selama ini Alana hanyalah bayangan.Dia duduk di tepi ranjang, dan merokok tanpa henti hingga puntung rokok berserakan di lantai.Dering telepon yang nyaring memecah kesunyian. Begitu dia mengangkatnya, suara Bos Willi yang murka meledak dari seberang."Julian Wiratama! Apa yang kamu pikirkan?!""Operasi pelabuhan kita dibekukan! Jalur penyelundupan terputus! Kamu tahu apa artinya ini bagi kita?""Permainan kekuasaanmu hancur! Bertahun-tahun perencanaan menjadi sia-sia!""Bagaimana aku bisa punya anak sepertimu?! Kamu mempermalukan nama keluarga!""Kamu menghancurkan masa depan keluarga demi seorang perempuan!"Saat ayahnya berbicara, Julian bisa mendengar gumaman me

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 8

    Bisikan mendadak bergema di tengah kerumunan."Apa? Dibatalkan?""Ada apa ini?""Aliansi Keluarga Wiratama dan Keluarga Santoso..."Sabrina dengan gaun putihnya berlari ke atas panggung dan mencengkeram lengan Julian."Julian, apa maksudmu?""Kamu gila? Semua orang sedang melihat!""Bagaimana aku harus menghadapi semua ini? Bagaimana dengan reputasi Keluarga Santoso?""Perempuan jalang itu membisikkan apa padamu?""Kamu tidak mengerti? Dia musuhmu! Kamu mau menghancurkan pertunangan kita demi anak perempuan dari seorang perusak rumah tangga?"Wajah Julian menegang saat dia mendorong Sabrina menjauh."Sabrina, aku memperingatkanmu untuk terakhir kalinya. Alana itu adikku. Jaga ucapanmu.""Selama dia belum kembali, pertunangan ini tidak akan dilanjutkan.""Doakan dia masih hidup dan baik-baik saja. Kalau tidak, kamu yang harus menanggung akibatnya."Dia berbalik dan melangkah keluar dari aula.Panggilan ayahnya yang penuh amarah masuk berturut-turut ke ponsel, tapi semuanya dia abaikan.

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 7

    Julian menepis Sabrina dan melangkah cepat menuju vila.Dia harus menemukan Nadia dan memastikan kabar tentang Alana.Nada suara Julian melembut ketika melihat Nadia memegang ponselnya dengan matanya merah dan bengkak karena menangis."Nadia, Alana belum sampai? Dia tidak membalas pesanmu?""Julian... ada sesuatu yang harus kamu tahu.""Alana... dia tidak akan datang hari ini. Tiga hari lalu dia bilang ingin meninggalkan tempat ini. Dia pergi pagi ini, dan kemudian... terjadi baku tembak..."Nadia tak sanggup menahan tangis, kata-katanya terputus."Dia meninggalkan ini untukku tadi malam." Nadia mengambil sebuah kotak kecil dari meja.Di dalamnya ada sebuah cincin, itu cincin yang melambangkan statusnya di Keluarga Wiratama.Panik melanda Julian. Bayangan Alana di jalanan tiba-tiba muncul di benaknya.Dia terlihat begitu tenang saat itu, seolah sudah siap menghadapi segalanya.Dia mengatakan hanya mengurus sesuatu untuk ibunya, dan mengatakan dia memahami pilihan Julian. Dia bahkan men

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 6

    Julian mencengkeram pergelangan tangan Sabrina, genggamannya begitu kuat sampai dia menjerit kesakitan."Atau biar kutanya langsung. Bagaimana Alana bisa tahu soal kamera di kamarnya? Kamu yang memberitahunya?""Kenapa kamu melakukan itu?""Aduh! Julian, sakit!"Sabrina berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Julian begitu kuat."Aku sudah bilang, setelah hari ini, Alana akan keluar dari hidup kita selamanya. Jadi kenapa kamu justru memberitahunya?""Sekarang dia sudah tidak ada. Bagaimana pertunangan kita bisa berjalan?"Sabrina tidak menyangka Julian akan tiba-tiba berbalik melawannya. Kilatan panik melintas di wajahnya lalu air mata memenuhi matanya."Julian, aku bilang sakit...""Bagaimana mungkin kamu berpikir begitu tentang aku? Kapan aku punya kesempatan untuk sendirian dengan Alana? Aku selalu bersamamu. Aku tahu rencananya dan aku tidak akan menghancurkannya, apalagi sekarang. Ini juga pertunanganku!""Dia sudah mati. Apa kamu benar-benar akan mempertanyakan hubungan ki

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 5

    Julian menatap kamera yang hancur di tangan Rian, pikirannya menolak menerima kenyataan di depannya.Setelah beberapa saat, dia mencengkeram bahu Rian, suaranya bergetar."Apa maksudmu dengan ini semua? Soal baku tembak dan ledakan, apa yang sebenarnya terjadi? Di mana Alana sekarang?""Alana tidak mati." Julian bersikeras. "Ini hanya salah satu leluconnya. Pasti begitu."Rian yang mengetahui seluruh rencana Julian, hanya bisa menghela napas pasrah."Alana mengirimkan ini dua hari lalu. Aku baru melihatnya di depan pintu, dan ada namamu di situ. Kukira itu perlengkapan untuk upacara pertunangan, jadi aku membukanya dan membawanya masuk.""Dia tahu seluruh rencanamu.""Dan soal ledakan itu..." Ekspresi Rian menegang saat menatap Julian."Mobilnya meledak di dasar tebing. Tidak ada yang selamat.""Julian, adik tirimu sudah tiada. Kejadiannya pagi ini. Aku mendapatkan riwayat perjalanannya dan beritanya sudah mulai tersebar bahwa sebuah mobil terlibat baku tembak musuh keluarga di pinggir

  • Pertaruhan Hati di Tengah Dendam   Bab 4

    "Minta maaf."Julian sama sekali mengabaikan wajahku yang berlumuran darah, tatapannya membara dengan kemarahan."Alana, aku bilang minta maaf pada Sabrina. Sekarang!"Kuku-kukuku menancap dalam ke telapak tangan, dan darah menetes ke lantai."Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Kenapa aku harus minta maaf?""Kamulah yang seharusnya minta maaf!"Kekecewaan terlihat jelas di mata Julian."Alana, sejak kapan kamu jadi seperti ini? Sungguh mengecewakan."Sebelum aku sempat membantah, Bos Willi melangkah maju dan menarik Julian berdiri."Bawa Sabrina untuk mengobati lukanya. Aku yang akan menangani urusan di sini."Julian pergi sambil menggendong Sabrina dalam pelukannya.Ibuku mengikuti di belakang Bos Willi, dan memohon maaf dengan rendah hati.Sebelum pergi, Julian menoleh padaku. Matanya penuh emosi yang sulit dijelaskan dan tidak bisa kutebak.Begitu pintu tertutup, sisa kehangatan terakhir di hatiku lenyap.Aku baru benar-benar sadar. Sisa cinta terakhirku padanya mati di saat itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status