David's PoV
Hari ini cukup sibuk. Setumpuk dokumen yang terasa sangat menjengkelkan setiap kali aku melihat mereka seolah tidak ada habisnya dan tidak memberiku jeda untuk beristirahat sedikitpun. Terkadang beberapa orang juga masuk silih berganti meminta revisi atau ACC dariku. Aku memijat pelipisku agak sedikit penat. Tetapi sebenarnya kesibukan ini cukup membantuku melupakan sesuatu yang sangat ingin aku lupakan. Sesuatu yang selalu membuatku frustasi. Aku mencoba kembali fokus memeriksa setiap dokumen kerja sama dan dokumen lainnya dengan seksama, juga beberapa dokumen dan surat - surat yang juga menunggu untuk direvisi. Saat sedang asik dengan duniaku, tiba - tiba saja Wilson datang. Tentu saja, apalagi kalau bukan membawa setumpuk kertas untuk kulihat. Namun kali ini dia membawa sesuatu yang menarik perhatian serta pendengaranku. Seolah merangsang ingatan lama kembali memenuhi pikiranku. Ya.. Pikiran yang telah lama ingin akh lupakan dan kubur dalam - dalam tentang hal itu. Namun, setelah mendengar dia menyebutkan nama belakang dari calon sekretaris baru yang akan bekerja untukku dan menggantikan sekretaris lamaku. Aku terdiam sejenak. Mataku terpejam memikirkan segala kemungkinan bahwa di dunia ini tentu saja banyak orang dengan nama keluarga yang sama. Ntah mengapa rasa penasaranku membuatku beranjak dari kursi kerjaku dan mulai berjalan keluar, seolah rasa penasaran dan ada sesuatu didalam diriku yang berkecamuk dan firasat - firasat aneh menggerakkan langkah kakiku menuju ke Ruang HRD berada. Bahkan di dalam lift aku merasa gelisah dan kacau dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Saat keluar aku disapa oleh beberapa staff dan karyawanku, mereka juga memberi hormat padaku. Namun aku hanya membalasnya dengan anggukan dan tatapan dingin tajam lurus kedepan. Karena pikiranku sedang dipenuhi dengan kemungkinan - kemungkinan yang akan gerjadi di depan sana. Langkah kakiku seketika terhenti karena sekilas aku dapat mendengar suara yang begitu familiar ditelingaku. Aku melangkah kedepan lebih dekat dan benar saja, semakin aku mendekat bahkan aku melihat sosok gadis yang familiar dari balik kaca pintu yang menjadi pembatas antara ruamg itu dengan tempatku berdiri saat ini. Gadis itu sedang berbincang - bincang dengan salah satu bawahanku, yang merupakan kepala Manajer HRD di perusahaannya ini, Harry. Aku terbelalak tak percaya dan hatiku terasa diremas dipaksa berhenti bernafas, ada beban berat saat melihat gadis tersebut. "...." Aku terdiam membeku. "Liana..." Lirihku, firasatku sungguh kuat setelah mendengar nama keluarga 'Edsel' dari mulut Wilson. Dan seolah saat ini firasat itu dibenarkan langsung di depan mataku dengan bukti fisik yang nyata. Seolah tak membiarkanku bernafas dengan lega. Ntahlah, antar senang dan sakit menyatu dihati ini. Rasa senang itu karena ditengah keputusasaanku dan hampir menyerah untuk mencarinya dengan sisa - sisa cinta dan harapan dihati yang hampir kuputuskan untuk ku lupakan dan ku kubur dalam - dalam setelah pencarian selama ini, akhirnya yang ku cari susah payah justru datang menghamoiri dengan sendirinya. Sedangkan sakit yang kurasakan mungkin karena melihat gadis yang kucintai setelah sekian lama justru aku melihatnya melempar senyum pada pria lain dan dengan riangnya bicara dengan pria tersebut. Senyum itu seharusnya hanya untukku. Liana.. Mengapa kamu, sungguh tega.. Seolah setelah meninggalkanku tanpa sepatah katapun dan menghilang begitu saja selama dua tahun ini tanpa jejak, dia nampak begitu baik - baik saja tanpa beban dan rasa bersalah terhadapku. Tanganku mengepal disisi tubuhku. 'Baiklah, karena kamu datang dengan sendirinya saat ini, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kamu jangan harap bisa lari lagi.' Tekadku dalam hati. Aku menatap sosoknya tersebut dari atas sampai bawah dari tempatku berdiri. Harry dan Liana sejak tadi asik mengobrol. Liana memang begitu ramah dan terbuka pada semua orang. Hal itu juga yang membuatku sering cemburu di masa lalu saat kami masih bersama. Saat sedang asik memperhatikan mereka dari kejauhan tiba - tiba Harry mendaratkan tangannya dibahu Liana menepuk - nepuk menyemangatinya seraya bercanda memberi arahan tentang diriku yang harus dengan lapang dada dihadapi atau tidak akan ada sekretaris kesebelas nantinya ya? 'Heh.. Seburuk itukah aku haha.' Batinku menatap remeh Harry. Aku tertawa pahit. Dan lihat saja, Liana begitu riang menanggapi perkataannya. Tanpa sadar membuat suatu gejolak seperti kemarahan dalam hatiku, dan gejolak itu mendorong langkah kakiku berjalan masuk kedalam ruangan tersebut. Aku berdiri dalam diam. Lihat saja betapa asiknya Harry dan Liana sampai tak sadar keberadaan atasan mereka. Aku menatap punggung gadis yang ku kenal dan ku rindukan ini. Sungguh.. Membuat suasana hatiku rumit. Harry yang baru menyadari keberadaanku karena menghadap ke sisi ini menyapaku. Namun aku menatapnya sekilas dan hanya mengangguk. Masih menunggu gadis ini berbalik kearahku, ingin tau ekspresinya saat melihatku. Kekasih yang dia tjnggalkan dan campakkan begitu saja, justru sekarang dia akan selalu berada dibawah pengawasanku, bekerja untukku. Tentu saja Liana, kali ini kamu tidak akan bisa lari lagi. Mataku masih dan hanya fokus pada gadis yang berdiri memunggungiku ini. Dia akhirnya berbalik.Liana sampai di kostnya dan bergegas masuk. Dia merebahkan diri seolah pundaknya dipenuhi dengan beban.“Huft.. Menyebalkan sekali.” Keluhnya sambil menghela nafas.“Apa - apaan maksudnya ngomong kaya gitu? Dia pikir aku digaji buat dengarin curhatan dia? Dia lagi sindir aku yang pergi ninggalin dia? Apa dia gk mikir kenapa aku pergi hah?” Liana terus menggerutu kesal, sesekali memukul - mukul bantalnya. “Menyebalkan! Dasar BOS SI MANUSIA ES KIMO BODOH! Aku benci kamu! BAHKAN DARI DULU AKU BENCI! Mau ngundurin diri aja sebel deh! ARGGHHHH” Seolah malam itu dia sedang melampiaskan kekesalannya bersama kesunyian malam. Sesekali dirinya memukuli bantal seolah itu adalah David itu sendiri.Setelah dirasa cukup Liana pun pergi mandi, dengan jubah tidurnya dia keluar dan mengeringkan rambut setelah itu keluar.“Oh iya.. Kayanya aku mau cari Apart terdekat. Biar lebih nyaman..” Liana menatap langit - langit kamarnya.“Upgrade dikit, bangga dong aku kan udah kerja dan punya gaji sendiri heh
“Namun, dua tahun yang lalu dia tiba – tiba menghilang…” Lanjut David dengan ekspresi kalem, nadanya yang tenang menutupi kesedihan pada kata – kata yang baru saja ia ucapkan.Mendengar hal tersebut, seketika Liana menundukkan kepalanya tak berani menatap David.Wajahnya nampak sedih dan merasa bersalah namun ada sesuatu dalam diri dan hatinya yang seolah ingin keluar untuk menjelaskan sesuatu yang kontras dengan raut wajahnya.Mungkin saja perasaan kecewa?“Setelah kepergiannya yang tanpa kabar atau bahkan sepatah kata itupun, duniaku seakan – akan runtuh saat itu juga..” Kali ini nada bicara David terdengar sedikit suram dan kecewa.“Selama dua tahun belakangan ini aku berusaha mencari keberadaannya, bertanya – tanya kenapa dia pergi meninggalkanku begitu saja dan dimana dia? Bagaimana kondisinya? Apakah dia hidup dengan baik? Atau… Apakah dia baik – baik saja tanpaku?”.David membuka matanya mengintip untuk mengetahui reaksi Liana setelah ia berkata seperti itu.Dilihatnya Liana me
Setelah mendapatkan perintah dari dalam, Liana masuk dan mendapati sosok David tengah menyibukkan diri tenggelam dalam tumpukkan dokumen di hadapannya.Fitur wajahnya yang tampan nan tegas begitu dingin dan serius menatap benda - benda tersebut.Wibawanya terasa begitu lekat dan kuat.Seketika hati Liana dipenuhi sesuatu, Liana merasa sosok di depannya tersebut terasa begitu asing.Dirinya terdiam beberapa saat berdiri di ambang pintu, sebelum berbicara, "Tuan David.. ini... Kopi anda.".Mendengar suara tersebut David sontak mendongak sekilas untuk melihat kearah sumber suara tersebut.Dengan dingin dan acuh tak acuh ia menatap sosok gadis di depanya tersebut, kemudian ia kembali menunduk membaca dokumen yang ada di genggamannya.Liana yang hanya mendapati lirikan singkat nan dingin tersebut secara singkat membuat dahinya berkerut bingung."Letakan saja di meja." Katanya singkat setelah keheningan beberapa saat.Namun bagi Liana perintah tersebut terasa ambigu.'Meja yang mana?' Batin
David's PoVDan setelahnya dia membuatku agak dongkol. "Kalau begitu cuti lima hari boleh?" Wilson bertanya dengan ragu dan canggung. "Boleh.." Jawabku dengan santai, tenang dan halus. Mataku masih sibuk dengan berkas - berkas di hadapanku ini. "Bagaimana kalau satu minggu?" Tanyanya lagi aku dapat mendengar keraguan dqlam nada bicaranya. Namun tak masalah. Kalau dia mau begitu akan kuberikan. "Boleh.." jawabku masih sama. "Kalau satu bulan..... B-boleh?" Hatiku terasa dongkol, pandanganku masih menunduk dan sudut mataku sedokit berkedut kesal namun aku kembali tenang. "Boleh.. Segitu juga gk masalah.." Namu aku masih menjawabnya dengan sama, sangat tenang. "Hah? Serius? Tuan..." Aku dapat mengetahui bahwa dia terkejut tanpa melihat ekspresinya, hanya dengan nada bicaranya. "Tentu saja." Ku hentikan aktivitasku, kemudian aku mendongak menatap Wilson dengan senyuman yang menyiratkan kedongkolan.Sebelum mulut Wilson terbuka untuk mengatakan sesuatu yang masih tertahan di da
David's PoV Entah mengapa melihat ekspresinya tadi yang begitu senang dan puas saat melihat dekorasi ruang kerjanya membuatku memiliki suasana hati yang cukup cerah dan bagus hari ini. Tanpa sadar senyuman dibibirku terukir tipis. Aku menatap jauh langit biru yang cerah di luar jendela. Seketika terlintas dalam benakku apa yang barusan saja ku lihat. Reaksinya terlihat senang dan nyaman, terutama saat menggambarkan perasaannya pada bunga melati di dalam lukisan itu. Wilson sungguh terima kasih, pengaturannya tidak buruk juga. Bahkan sangat baik."Liana.. Aku masih ingat detail tentangmu, semua.. Termasuk apapun yang kamu sukai.. Sekarang akan kuberikan perlahan." Aku tersenyum puas dengan mata terpejam kemudian kembali membukanya untuk melihat pemandangan hamparan satu kota Lincoln dari jendela yang sedang ku tatap. "Heh, gadis kecil masih bersemangat dan penuh tekad seperti dulu ha. Kita lihat saja bagaimana kedepannya, bukan berarti aku gk akan memberikanmu pelajaran, gadis n
Tangannya mengepal melihat sosok dalam foto di layar laptopnya itu."Hm.. Ternyata dia.." Seketika ekspresi David menjadi sangat serius, ada kilatan amarah dan posesif dalam matanya."Liana.. Sama dia sekalipun, gk akan ku kasih. Jangan harap..."Tangannya mengepal, beberapa saat kemudian jari - jarinya dengan cekatan menggerakan mouse mengarahkan kursor dengan tepat pada suatu halaman.Matanya menatap serius dan menjelajahi dengan cermat isi halaman tersebut."Kita lihat saja nanti..."Kemudian dirinya menelpon seseorang......KlikBunyi pintu terbuka.Wilson mendongak dengan ekspresi agak senang.Liana tersenyum ramah melihat sosok Wilson yang sedang duduk di meja kerjanya yang menatap kerah Liana dengan riang."Kamu sudah kembali?" Wilson memiringkan kepalanya pandangannya teralih kearah dua cangkir dengan kepulan asap yang berada dalam genggaman Liana. Alis Wilson menyatu seolah 'Apa sebegitu beratnya tugas yang diberikan, sampai harus minum dua cangkir? Kenapa tidak pakai yang