"Ini adalah pesta yang digelar oleh pemilik majalah lifestyle ternama. Masuklah lebih dulu, sebut namaku saat orang-orang menanyakan mu." Clovis pergi menggunakan mobil, membiarkan Meiva masuk ke dalam tempat acara itu sendirian.
Meiva sering mendengar pesta ini dari infotainment, meskipun ia menjadi aktris, Meiva tak pernah bisa memasuki pesta ini sejak dulu. Karena ia bukan dari kalangan sosialita. Namun kali ini, tiba-tiba Clovis membawanya ke acara mewah ini, kemudian meninggalkan sendirian sebab ada urusan yang harus diselesaikan mendadak. "Ternyata Clovis memang bukan orang sembarangan." Meiva melihat orang-orang di sekelilingnya, mereka memakai busana serba glamor dan mewah elegan, para artis pun hadir papan atas pun turut hadir. Mereka bicara dengan kelompoknya masing-masing. Meiva bingung sebab, tak ada yang mengenalnya. Dia hanya memainkan ponselnya sambil mengobati kejenuhannya, sambil berdiri di samping kolam sembari menunggu Clovis datang. "Meiva?" Meiva menoleh mencari sumber suara. Ternyata itu adalah Ellen. Dengan wajah bingung menghampirinya. Ia sama sekali tidak antusias, justru melirik malas. Masih jelas dalam ingatan, bagaimana kejadian malam itu. Setiap kata-kata yang diucapkan Ellen dan Alden masih membekas dalam hatinya. Ellen mengamati penampilan Meiva yang kini sedang mengenakan dress hitam berhiaskan lace motif bunga. "Ternyata kamu ada di sini? Siapa yang mengundangmu? Aku tidak percaya melihatmu, padahal di tahun-tahun sebelumnya kamu tidak pernah terlihat." Ellen melihat ke sekeliling mencari orang yang datang bersama Meiva. Sambil dengan sengaja menenteng tas branded keluaran terbaru di tangannya yang jari-jarinya dihiasi berlian. Membuat Meiva sangat muak melihatnya. "Aku datang sendirian ke mari. Dan di sini aku tidak kenal siapa pun, kecuali kamu," ucap Meiva menatap mata Ellen seolah masih ingin mencoba kebaikan perempuan itu. "Kamu mau, ‘kan, temani aku mengobrol di sini?" Antara mengangguk dan menggeleng, Ellen melihat ke arah perempuan yang datang di belakang Meiva. "Kupikir kamu datang bersama Alden, tetapi ternyata tidak. Alden bilang, dia juga akan datang ke mari malam ini." "Bahkan kamu lebih tahu rencana yang akan dilakukan Alden daripada aku,” ucap Meiva dengan nada datar, lalu dengan tenang Meiva kembali berkata, “Sebenarnya kamu pacarnya atau aku?" "Alden tidak memberitahumu?" Ellen berpura-pura terkejut. "Kebiasaan Alden memang tidak pernah berubah, apa pun selalu aku yang diberitahu duluan. Padahal sudah sering kubilang, untuk melibatkanmu dalan hal apa pun. Tapi, dia justru lebih menghubungiku, saat meminta bantuan. Mungkin dia tahu kamu sibuk, itu sebabnya dia tidak ingin mengganggumu." Kepala Meiva semakin panas mendengar ucapan Ellen yang seolah membuatnya untuk semakin cemburu. "Minuman ini untukku, aku haus." Ellen mengambil minuman dari tangan Meiva. Sebelum perempuan itu meminum, Meiva sudah dulu mengambilnya. "Ini milikku. Kamu bisa mengambilnya sendiri di sana." "Meiv, aku hanya mau minum. Kenapa kamu pelit sekali?" "Tidak semua yang kumiliki bisa kamu ambil tanpa izin, Ellen. Ini adalah minuman milikku, maka ini hakku mau melarang siapa pun meminumnya." Meiva tidak sudi kalau minum bekas dari bibir perempuan yang pernah beradu bibir dengan pacarnya sendiri. Ellen terlihat tidak suka, tetapi masih berusaha bicara dengan Meiva. "Aku harus menemui teman-temanku yang lain. Maaf, Mei, temanku banyak di sini, tidak mungkin kalau aku cuma diam diri di sini tanpa menyapa mereka." Meiva pura-pura tersenyum, walau dia sudah tahu apa yang dipikirkan Ellen. “Silakan.” Gerakan tangannya membiarkan Ellen pergi karena sebenarnya ia sangat malas berinteraksi dengan perempuan itu. "Nyonya Raline." Ellen tersenyum menghampiri perempuan cantik, tinggi yang tersenyum ramah padanya meninggalkan Meiva. Meiva hanya melihat mereka yang sedang bicara akrab, seperti biasa Ellen menunjukkan bakatnya sebagai penjilat pada orang-orang kelas atas. Ia melirik malas dari kejauhan sambil kembali memainkan ponselnya. "Nyonya Raline, aku tidak tahu kalau kamu ternyata mengenal Meiva. Kalau aku tahu dia akan datang ke pesta ini, bisa janjian datang sama-sama kemarin," ucap Ellen sambil melihat Meiva. "Meiva? Meiva siapa?" Pertanyaan Raline menyita para tamu yang disekelilingnya. Hingga perhatian mereka beralih menatap Meiva yang seorang diri di dekat kolam tersenyum canggung. "Maksudmu, kamu tidak kenal Meiva?" Ellen dengan wajah polosnya, dia semakin menarik perhatian orang-orang. "Aku tidak kenal siapa dia." Raline menatap Meiva kebingungan. "Kalau kamu tidak kenal, bagaimana dia bisa di sini? Apa selain kamu dan suami, ada orang lain yang membagikan undangan?" Raline menggeleng. Meiva mencoba tersenyum menenangkan diri melihat Ellen yang mencoba mempermalukannya. "Ada apa, Sayang?" tanya pria memakai stelan jas rapi menghampiri Raline. "Siapa dia, Morgan? Apa kamu mengenalnya?" tanya Raline. Morgan menggeleng sambil memperhatikan Meiva. Meiva melangkah maju untuk memperkenalkan diri. "Bukannya dia artis yang merangkap pekerjaan menjadi simpanan pria kaya, ya?" ucapan seseorang perempuan membuat Meiva seketika menoleh. Langkahnya berbalik sambil menarik napas dalam. Lagi-lagi berita bohong itu masih saja dibicarakan. Meiva tidak terima langsung menghampiri perempuan itu sambil menyiramkan segelas minuman ke arahnya. "Baju mahalku!" Perempuan itu tidak terima dress putih yang dia kenakan kini kotor. Bukan hanya perempuan itu, bahkan orang-orang di sebelahnya tampak terkejut dengan apa yang dilakukan Meiva. "Tolong ucapannya dijaga! Jangan bicara hal yang belum tentu benar," ucap Meiva menatap tajam. Dia tidak peduli walaupun perempuan itu punya banyak teman di sampingnya. Yang dia tahu adalah memberi pelajaran. "Kurang ajar! Kamu tidak tahu kalau baju ini sangat mahal!" "Percuma memakai baju mahal, kalau mulut murahan Anda bicara sembarangan!" balas Meiva. Perempuan itu mengangkat tangan akan menampar. Beruntung Meiva sigap menangkap pergelangan tangannya kemudian kembali menampar. "Berhenti!" Tangan pria yang merupakan suami pemilik acara itu mencengkram tangan Meiva. "Kamu siapa? Beraninya buat kekacauan di pesta saya?!" tanya Raline marah. Orang yang baru saja berseteru dengan Meiva adalah tamu istimewa. "Tunjukkan undanganmu!" "Aku tidak punya undangannya. Aku datang bersama—" “Meiv, aku tahu kamu baru pertama kali datang ke pesta ini, tapi setidaknya jangan membuat keributan. Tolong hargai pemilik acara,” ucap Ellen ikut-ikutan memojokkan Meiva. Kalau bukan karena hutangnya pada Clovis, Meiva tidak akan datang ke tempat ini. Satu orang penjaga dipanggil, langsung sigap mencekal tangan Meiva. "Usir dia, sudah datang tanpa undangan, tambah lagi buat keributan!" perintah Raline. Sedangkan Ellen, pura-pura tidak melihat dengan apa yang terjadi. Dia justru bersembunyi di belakang tamu yang sedang melihat Meiva. Meiva ditarik keluar, tetapi belum juga beberapa langkah, Clovis mencekal satu tangannya membuat penjaga itu melepaskan tangan dan seketika menunduk. "Siapa yang berani mengusirnya?" Suara Clovis terdengar dingin. Membuat orang-orang yang ada di sana terdiam. Namun, di balik sorot matanya yang tajam ke arah mereka, tangan pria itu melingkar ke pinggang ramping Meiva kemudian menatap dengan sorot mata teduh hingga netra mereka saling bertemu.“Ini rincian naskah yang sebenarnya?” Clovis mengernyitkan dahi membaca isi naskah yang diberikan oleh penulis.Sutradara Niel, penulis dan produser terlihat bingung setelah melihat naskah ke atas meja begitu saja.“Kenapa Anda terkejut begitu, Pak? Maaf, bukannya Anda sudah membaca naskahnya sebelumnya?” tanya penulis bernama Rully itu.Begitu juga dengan sutradara Niel yang kini turut mengangguk. “Benar, sebelumnya Anda membacanya, bahkan dengan sangat detail, lalu setuju dengan semuanya.”Wajah Clovis tampak muram jari telunjuknya mengusap-usap pelipisnya seiring dengan mata terpejam, sontak membuat suasana dalam ruangan itu terasa mencekam.“Kurasa, pemeran utama juga tidak akan keberatan dengan adegan itu, mereka sangat professional,” ucap Rully.Clovis sontak menggeleng. ‘Dia adalah wanitaku,’ batinya.“Sebaiknya hilangkan saja adegannya,” ucapnya kemudian.“Pak Clovis, semua adegan dan teks di dalamnya sudah diatur sejak lama, kalau tiba-tiba meminta kami untuk menghilangkan ad
Tanpa Meiva dan Clovis sadari, di antara banyaknya wartawan. Ada satu media masa yang melihat mereka turun dari mobil secara bergantian. Gerak gerik Meiva yang menyelinap masuk ke gedung menimbulkan kecurigaan langsung menggerakkan tangan wartawan itu untuk mengangkat kamerannya, menggambil foto Meiva tersembunyi. Meiva masuk dengan santai setelah lolos dari kerumunan wartawan. Dia segera ke ruangan pertemuan yang ada di lantai lima. Sambil berjalan tergesa-gesa ia mengeluarkan ponselnya mencoba menghubungi Emeli yang seharusnya sudah di sini sebelum dia sampai. “Apa kamu sudah sampai, Meiv?” Meiva memejamkan mata mendesah kesal. “Bukankah kamu yang seharusnya lebih dulu sampai di sini?” “Maaf, Meiv, mendadak kakakku menelepon minta aku mengantar ke rumah sakit. Ini baru saja aku dalam perjalanan ke sana, kamu masuklah duluan, aku akan segara menyusul.” “Oke.” Secara bersamaan Meiva membuka pintu, tubuh rampingnya hampir saja tertabrak oleh tubuh tegap yang akan keluar da
“Lumayan.” Mendengar kata ‘lumayan membuat Meiva seketika menoleh. Entah apa maksud Clovis mengatakannya. “Sudah kubilang, kalau dia adalah Perempuan yang baik.” Pipinya bersemu merah saat mendengar pujian itu. Tangannya memotong daging panggang di atas piring hadapannya. “Ya, mama benar. Dia gadis baik.” “Dan juga patuh.” Clovis melirik sambil menyeringai di samping Meiva. Tapi, entah kenapa ia merasa lirikkan itu seperti sebuah ancaman. Ia mengusap-usap belakang leher sendiri, ketika merasakan takut, juga canggung. Acara pertemuan kali sangat berangsur sangat formal, para pelayan pun menyajikan makanan secara khusus. Nyoya Liona sibuk mencicipi makanan satu persatu sebelum menyuruh yang lain menyantapnya. “Clovis memiliki alargi susu, oleh sebab itu, aku harus memastikan kalau tidak ada kandungan susu dalam setiap menunya.” “Dan kamu juga harus mengingatnya, Lily, supaya di masa depan berhati-hati.” “Hanya masalah kecil, tidak perlu dibicarakan,” potong Clovis ti
Pasok udara di sekitarnya semakin menipis. Di dalam kegelapan saja, membuatnya merasa sesak, apa lagi sekarang tangan kekar Clovis terus membekapnya. 'Pria ini gila, seperti yang dikatakan Austin.'Saat tenaganya hampir saja habis, Clovis mengendurkan tangannya. Meiva langsung meraup napas sebanyak-banyaknya, untuk memasukkan oksigen dalam dadanya terpenuhi. "Ka—" Secara bersamaan Meiva membuka mulut ingin bicara, lampu dalam kamar mandi itu menyala. Mata kecoklatannya, bertatapan dengan netra hitam pekat milik Clovis. Saat ini lelaki itu baru menyadari, kalau perempuan yang bersamanya sejak tadi adalah Meiva? Dahi Clovis mengkerut dalam, saat menyadarinya. Antara malu, dan juga canggung saat perempuan itu menatapnya dengan napas terengah-engah karena ulahnya. "Bagus sekali, Pak Clovis," ucap Meiva dengan suara pelan sambil tersenyum sinis. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Mereka sudah bertemu sejak beberapa jam yang lalu, tapi kini Clovis bersikap seolah baru saja bangun dari
Bab 45 Saat menyadari langkah kaki lelaki itu masuk melalui celah pintu yang terbuka, Meiva reflek mundur, tangannya yang gemetar mengarahkan senter di ponselnya ke wajah lelaki itu, tapi karena panik ponselnya terjatuh ke lantai, meski pun tidak mati, Cahaya itu berbalik meyorot ke kaki jenjangnya.Dalam ruang yang minim pencahayaan itu, Meiva sama sekali tidak merasakan sikap baik laki-laki itu, bayangan hitam itu semakin mendekat seperti malaikat maut. Tanganya terulur ke belakang pinggang ramping Meiva, guyuran air dingin menerpa kulit Meiva Kemudian memejamkan mata, tersentak, kala buliran air terjun bebas melewati kelopak matanya. Hawa panas dari tubuh lelaki kian mendekat, Meiva mendongak saat jari lelaki itu mengangkat dagunya, Meiva berusaha mengamati wajah itu, meski pun tidak jelas di balik sama-samarnya pencahayaan, ia bisa merasakan hawa penindasan yang begitu kuat. “Lepaskan aku!” Meiva menggunakan keberaniannya untuk menyingkirkan tangan lelaki itu. ia bergera
Kaki jenjang berkulit putih Meiva berangsur mundur, ketika dia menyadari kalau sudah salah memilih tempat berpijak. Meski pun ia tak melihat wajah pria di balik bayangan hitam itu, tapi, aura menyeramkan telah memenuhi ruangan membuat Meiva lagi dan lagi menelan saliva. ‘Aku menghargai Nyonya Liona, tapi aku juga menghargai nyawaku sendiri, lebih baik meninggalkan tempat ini dari pada meninggal untuk selama-lamanya,’ batinnya, mengamati benda-benda yang diletakkan di meja dan lingerie di atas ranjang, dengan cepat kemudian dengan cepat ia berbalik. Tidak menoleh lagi, ia segera membuka pintu keluar dari tempat menyeramkan itu. Namun, berulang kali tangan berkulit putihnya memutar handle pintu, tapi tak kunjung terbuka. Tanpa menyerah, ia mengulangi dengan cepat, berharap keajaiban terjadi.“Permainan belum dimulai, kau mau pergi, Nona?” Clovis sengaja tidak menunjukkan wajahnya, sebab ia tidak ingin perempuan itu mengenalinya setelah keluar dari sini. Statusnya sebagai anak Liona