Helen benar-benar tidak pulang, dia menginap di hotel tanpa memberitahu Davin. Esoknya dia keluar dari kamarnya dan melakukan Check out untuk akhirnya pergi ke kampus. Didalam lift Helen melamun, kekacauan didalam kepalanya membuatnya tidak fokus, sampai akhirnya seseorang menyapanya.
"Nona," panggil seorang pria dalam lift, seketika lamunan Helen buyar, dia kemudian menoleh ke arah suara yang memanggilnya itu.
Ia mendapati beberapa orang pria berpakaian rapi dengan Jas hitam, "Ya? Apakah kita saling mengenal?" Tanya Helen, memperhatikan dengan teliti beberapa pria berjas berdiri di belakangnya itu, dimana yang salah satunya nampak tidak asing.
Terhenti sejenak, orang yang memanggilnya tersenyum canggung sementara Helen menaruh tangan di dagunya dan berusaha mengingat orang yang tak asing itu.
"Nona, beliau Tuan Ken. Beberapa hari yang lalu kami pernah membawa Nona pulang ke kediaman Tuan, apakah sudah ingat?" Tanya pria di sebelah Ken, kini Helen dapat mengingatnya.
Ken melirik sinis Helena, "Masih muda sudah pikun, benar-benar deh anak muda jaman sekarang," cibir Ken dengan tatapan dingin, "Ada di hotel pagi-pagi pula, ampun deh," tambahnya.
Helen mengkerutkan alisnya, "Tuan! Memangnya kenapa kalau saya ada di hotel, toh saya bukan anak SMA. Dan juga saya di sini tidak melakukan hal yang tidak senonoh ya," balas Helen tak mau kalah.
"Oh benarkah? Coba saya lihat bagian leher kamu, pasti banyak tanda yang tertinggal 'kan. Heh!" Ia tersenyum merendahkan membuat Helen semakin kesal.
"Baik, lihat saja! Mana ada tanda!" Balas Helen, dia kemudian membuka kerah bajunya dan menunjukan bagian lehernya pada Ken, tidak ada apapun disana.
Gluk!!
Ken malah menelan ludah ketika melihat leher putih nan ramping menggairahkan itu, tak dia mendapati sesuatu dibagian belakang, "Tunggu ... Apa ini?" Tanya Ken sambil menyibakan rambut Helen dan melihat sebuah bekas luka di bagian tengkuk.
"Apa? Tanda lahir?" Helen malah balik bertanya.
Ken sedikit menjauh dari Helen sambil berkata, "Heh! Kalau anak perempuan baik baik mana ada bekas luka seperti itu. Apa kau main dengan om gengster?" celetuknya.
"Terserah deh, mau om gengster ataupun Paman mafia terserah anda," balas Helen, karna penasaran dia pu menyentuh bekas luka itu, "tapi aku ... Benar-benar tidak ingat bagaimana aku mendapatkan luka itu," balas Helen dengan nada rendah. Ken terperangah mendengar pengakuan Helen.
Tak lama pintu lift terbuka dan mereka sampai di lobby kemudian Check out bersama-sama. Helen tidak menanyakan lebih lanjut tentang kenapa mereka bisa berada di hotel, sebagai seorang pengusaha mungkin karna urusan bisnis. Tapi mungkin juga karna hal lain.
Setelah itu, Ken menawarkan tumpangan namun Helen menolak. Yang kemudian mengakhiri pertemuan hari itu dengan saling bertukar nomor ponsel, "Aku pergi, sampai jumpa," ucap Helen seraya meninggalkan mereka.
Ken tak berkedip memandang kepergian Helen, "Dio, cari semua informasi tentang wanita itu. Malam nanti aku ingin melihat laporan lengkapnya," ucap Ken pada sekretaris Dio.
"Baik, Tuan."
"Tanda itu, apakah dia orangnya? Jika memang benar, aku tidak akan pernah melepaskannya lagi, tidak akan pernah!" Gumam Ken dalam hati.
Menjelang sore, selesai kelas Helen langsung pulang ke rumah. Sejak pagi ponselnya terus berbunyi, didalamnya terselip nama ibu Davin dan itu membuatnya merasa tidak enak.
Sesampainya dia membuka pintu dengan perlahan. Dia mengira mungkin Davin masih di kantor, tapi ternyata sudah pulang dengan membawa seseorang pula, "Annie ... Kau disini?" Tanya Helen pada dua orang yang tengah terduduk dengan beberapa berkas diatas meja.
Mereka barulah menyadari kedatangan Helen, Annie tersenyum sambil berkata, "Ya, ada beberapa berkas yang harus di selesaikan hari ini."
Helen berasumsi, mereka pasti bermalam bersama saat tak ada dirinya. Dia menanggapi perkataan Annie hanya dengan anggukkan kepala, "Aku ke kamar dulu," ucapnya lalu pergi.
Terdiam, terlihat kekhawatiran dimata Davin saat melihat Helen berlalu pergi dari hadapannya. Annie menyadari hal itu, "Davin, sampai kapan kau akan seperti ini?" Tanyanya.
Davin menghela napas kasar, "Entahlah, aku hanya tidak ingin terus merasa bersalah padanya," balas Davin.
Annie merasa tidak puas dengan jawaban Davin, "5 tahun lalu, bahkan dia sudah tidak ingat apapun lagi kenapa kau harus merasa bersalah? Itu hanya kecelakaan. Dan lagi, tidakkah kau merasa dengan ikatan pernikahan ini justru malah saling menyakiti saja?"
"Cukup Annie, yang aku mau saat ini menebus apa yang terjadi dulu dan membuatnya bahagia. Jika aku berusaha ... Aku pasti bisa mencintainya, tapi tidak untuk saat ini ...," ucapnya terhenti dengan nada rendah, "... Mungkin."
"Lalu bagaimana denganku?"
Davin tersentak mendengarnya namun malah memalingkan wajahnya, "Annie, pulanglah. Terima kasih, aku akan menemui Helen dulu," ucap Davin sambil beranjak dari sofa dan kemudian pergi untuk menemui Helen.
Beberapa saat kemudian tiba di depan pintu kamar Helen, Davin mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu namun dia ragu untuk melakukannya, "Helen, boleh masuk?" Tanya Davin diluar kamar.
"Masuk saja, tidak dikunci," balas Helen.
Davin pun membuka pintu kamar dan melihat Helen yang tengah fokus pada laptopnya. Dia melangkah perlahan mendekati Helen, ada sesuatu yang ingin dia katakan padanya namun terasa sangat sulit untuk mengatakannya.
"Annie sudah pulang?" Tanya Helen dengan tetap fokus pada pekerjaannya.
"Hm," balas Davin, karna tidak ingin mengganggu Helen Davin pun duduk di tepi ranjang dan menemani Helen menyelesaikan tugasnya.
"Perusahaan RB group atau Moon group yang paling bagus? Bagaimana ini?" Helen bergumam sendiri.
Davin yang mendengar hal itu lantas menaikkan alisnya, "Ada apa? Ada apa dengan RB group dan Moon group?" Tanya Davin sambil mendekatkan diri.
Helen memutar kursinya hingga menghadap Davin, "Ah itu, Aku ada tugas magang di perusahaan, menurutmu ... Mana yang lebih bagus dari RB dan Moon group?" Tanya Helen.
"Kenapa harus dua perusahaan itu? Linkai group juga termasuk yang terbaik di kota, aku bisa bantu kamu magang di situ," balas Davin.
"Tidak, kamu Direktur utamanya, kalau begitu berarti aku masuk lewat jalur belakang," ucap Helen menolak.
"Kalau begitu aku suruh Annie bantu kamu masuk," ucapnya lagi.
"Tidak mau, aku tidak mau mengandalkan orang lain," lagi-lagi menolak sambil kembali memutar kursinya. Davin terdiam, sampai akhirnya dia pergi dari kamar tanpa sepengetahuan Helen. Helen kembali murung, Davin bahkan tidak bertanya dimana Helen bermalam.
Sementara itu di waktu yang sama.
Didalam ruangan sunyi dan tenteram dengan wangi parfum yang ditinggalkan oleh seseorang ditempat itu, seseorang datang, "Tuan, saya membawa laporan tentang Nona Helen, seperti yang anda minta," ucap sekretaris Dio.
"Masuklah," balas Ken.
Sekretaris Dio masuk kemudian menyerahkan berkas laporan informasi tentang Helen. Dengan sesekali meneguk secangkir teh hangat, Ken membuka lembar demi lembar berkas itu.
"Helen Aurora ...."
"Helen Aurora, mahasiswa Universitas Mada, anak bungsu dari pasangan Herles dan Ami. Apa hanya informasi seperti ini saja?" Tanya Ken dengan nada sedikit kesal dan melemparkan lembar berkas itu ke atas meja."T-tuan, saya mendapat informasi dari sebuah rumah sakit yang mengatakan bahwa dia mengalami amnesia sejak 5 tahun lalu karna suatu tragedi yang di alami oleh Nona Helen, sepertinya sebuah penculikan yang membuatnya trauma. Dan satu tahun ini, Nona Helen sudah menikah," beber Dio menambahkan informasi tentang Helen.Tak lama Ken memasang senyum seringai, "Tidak disangka bisa bertemu dengannya lagi. Dio, Universitas Mada ada tugas magang di perusahaan, undang Helen untuk interview dan pastikan terima dia di perusahaan. Beri dia posisi asisten pribadi," ucap Ken memberi perintah pada Dio."Baik, Tuan," balas Dio.Sudah ditemukan, gadis SMA yang 5 tahun lalu Ken cari sudah hampir berada di dalam genggamannya dan Ken tidak ingin melepaskannya lagi. Tidak
"Kau! Siapa kau?" Tanya Helen pada pria asing di depannya itu."Perkenalkan, saya Erwin Bryan, wakil Direktur RB group. Senang bertemu dengan Nona Helen, kami mendengar bahwa Uni Mada menugaskan magang bagi mahasiswanya sebagai gambaran dan percobaan bergelut di bidang perkantoran. Anda mendapatkan nilai terbaik dan kami sangat tertarik. Ini berkas kontrak, silahkan diperhatikan baik-baik kemudian mohon tanda tangan," ucap Erwin, wajahnya asing namun terlihat sangat familiar.Helen jadi gugup, "Tuan, saya ingin memulainya dari posisi biasa saja seperti divisi pemasaran," ucap Helen bernegosiasi."Oh jangan khawatir, justru posisi ini yang terbaik sebagai bahan pembelajaran. Di lembar kertas terakhir, isilah nominal gaji yang Nona inginkan. Dan juga, berhubung magang ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, lebih baik Nona tidak menyia-nyiakan kesempatan ini," ucap Erwin bersikeras.Helen membuka lembar demi lembar berkas kontrak yang harus ia tand
"Tuan sudah pulang?" tanya bibi sesaat setelah Davin tiba dirumah siang itu. Davin tidak banyak bicara dan melangkah pergi ke lantai atas menuju kamarnya. Bibi terus menatap Davin seperti ada yang ingin dia katakan padanya, "Tuan ... Semalam Nona Helen menunggu Tuan pulang," ucap bibi.Davin berhenti sejenak, dia sedikit menoleh sambil melempar tatapan dingin, "Setiap malam dia selalu menungguku pulang, dia juga tahu aku jarang pulang ke rumah 'kan." Katanya, kemudian melanjutkan langkahnya."T-tapi Tuan, semalam Nona memasak banyak makanan untuk merayakan diterimanya dia bekerja. Nona ... Nona juga Berdandan dan menunggu Tuan pulang, tapi Tuan tidak pulang," ucap bibi."Nanti aku jelaskan ke dia, bibi jangan khawatir," balas Davin terdengar acuh tak acuh. Seiring menghilangnya Davin dari pandangan, bibi menghela napas kasar.Sementara itu.Hari pertama bekerja Helen akan melakukan yang terbaik, dia sudah mempunyai nama sebagai ma
Malam hari, Davin turun kelantai bawah untuk menyantap makan malam. Setibanya dia tidak melihat Helen disana kemudian dia meminta menghampiri bibi dan berkata, "Panggil Nona untuk makan malam," perintahnya.Alih-alih menjalankan perintah Davin, bibi malah diam dengan raut wajah ragu seperti ada ingin dia katakan, "Tuan ... itu ... Sebenarnya Nona---""Aku tidak makan dirumah," ucap Helena yang tiba-tiba muncul dengan gaun yang sangat cantik dan riasan wajah cantik membuat Davin terpesona seketika saat melihatnya. Ditentengnya tas kecil sembari berjalan anggun dengan sepatu heelsnya.Davin menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala lalu bertanya, "Kemana kau akan pergi?"Helen sedikit mengabaikan pertanyaan Davin yang diajukan untuknya, dia berjalan pergi, "Aku ada makan malam bareng atasan, jadi tidak makan dirumah. Tidak pulang larut malam juga kok," ucap Helen kemudian pergi begitu saja.Gaun cantik yang sedikit terbuka membuat Davin se
Satu jam kemudian mereka sampai di rumah, Davin menggendong Helen yang tertidur dan membawanya ke kamar. Dibaringkannya tubuh ringan Helen, Davin menatap Helen cukup lama pada wajah yang sudah kehilangan senyumnya saat bersama dengannya."Helen ... Andai peristiwa itu tidak pernah terjadi, kita mungkin tidak akan seperti ini. Tidak akan saling menyakiti," ucapnya pada Helen yang tengah tertidur. Tak lama Davin menaruh tangannya di kepala Helen, kemudian mengelusnya lembut, "Tapi hal itu juga tidak luput kesalahanku, Helen maafkan aku," tambahnya.Malam berlalu, Davin menemani Helen tertidur. Sebenarnya dia sendiri tidak bisa memahami perasaannya pada Helen. Jika mengatakan Davin mencintai Helen itu sangat naif, faktanya Davin menikahi Helen hanya karna rasa bersalah atas peristiwa 5 tahun lalu yang telah menimpa Helen.Sesuatu yang sangat ia simpan rapat-rapat dan menyembunyikannya dari Helen. Bersyukur Helen mengalami amnesia sejak saat itu, jika tidak, entah s
Dengan menggunakan segala cara dan juga bujukan, Helen akhirnya lolos dari hukuman dan omelan sang Boss, disayangnya dia harus merelakan bekal makan siangnya, "Ah bekal makan siangku ... Huhuhu ...," gumamnya dalam hati sembari menemani Ken menyantap sarapannya.Meski lolos dari hukuman berat, Ken tetap menyuruh Helen untuk berdiri di dekat pintu sebagai peringatan untuknya. Tak butuh waktu lama, Ken menyikat habis makan siang milik Helen tersebut, "Lumayan," ucap Ken sambil menyeka bibirnya menggunakan tisu."Ja-jadi ... Apa saya sudah bisa duduk sekarang?" tanya Helen."Tidak, belum. Kemarilah." pintanya, Helen tidak tahu apa yang dia inginkan namun dia memilih untuk mematuhinya dan mulai berjalan menghampirinya. Entah apa yang sedang Ken pikirkan didalam kepalanya dengan senyum menyeringainya itu, menanti kedatangan Helen.Merasa ada yang tidak beres dan mencurigakan dari sikap Ken, Helen menghentikan langkahnya untuk berjaga-jaga. Seekor kelinci
"Tch ... Dasar pria mesum, mencari kesempatan dalam kesempitan," gerutu Helen saat keluar dari ruangan Direktur saat jam pulang tiba. Dia menggerutu soal Ken yang dengan semena-mena menciumnya.Untuk meminta maaf Ken menawarkan tumpangan untuknya namun Helen menolak, yang membuatnya berjalan dengan tergesa karna tidak ingin jika Ken sampai menyusul.Sampai didepan lift Helen pun berdiri menunggu pintu lift terbuka, sementara itu dia berpapasan dengan Sekretaris Dio yang datang dengan tergesa dan wajah yang panik. Helen tidak sempat menyapanya.Dan tak lama sekretaris Dio masuk ke ruangan Direktur, "Tuan Ken, ada apa?" tanya sekretaris Dio."Dio, cari informasi tentang orang tua dan juga saudara laki-laki Helen di negara J, selengkap mungkin. Bila perlu, utus seseorang untuk menyelidikinya langsung. Lalu ... Kelompok mafia Lordi itu, taruh mata-mata kita disana," ucap Ken pada Sekretaris Dio."Baik, Tuan," balas Dio kemudian berlalu pergi.Ke
Malam tiba, setelah makan malam Helen bersiap untuk menemani kakak ipar dan Fillo bermain di ruang tengah. Namun di dalam kamar dia sangat gugup, ia terduduk di depan meja rias dan menghadap ke cermin sedangkan Davin baru saja keluar dari kamar mandi dan sedang mengeringkan rambut dan tubuhnya.Karna malam ini Helen akan tidur dengan Davin, dia memakai piyama tidur yang tertutup dimana piyama itu berlengan dan celana panjang. Dia menyisir rambutnya sampai akhirnya mengikatnya tinggi.Tak lama Helen berdiri dari posisinya. "Aku ... kebawah duluan," ucap Helen sembari beranjak pergi, berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihat Davin yang tengah bertelanjang dada.Brak!Pintu tertutup, sejenak Helen terdiam didepan pintu kamar sembari menundukkan kepalanya. Helen menutup mata kemudian menghela nafas panjang. Lalu melangkahkan kakinya turun ke lantai bawah untuk menemui kakak iparnya.Setiap langkah Helen merasa lebih tenang dari sebelumnya, ruma