"Nona! Nona!" Seseorang mengguncang bahunya, membangunkannya sambil terus memanggil, "Nona, bangun sudah sampai," ucap supir mobil membangunkan Helen yang tertidur, rupanya mereka sudah sampai di depan rumah Helen.
Perlahan Helen membuka matanya, ia menggosok matanya seraya bangkit dari sandaran. Dia melihat paman supir berdiri diluar pintu, tak lama dia membukakan pintu mobil untuk Helen, Helen pun keluar dari mobil.
"Terima kasih," ucap Helen.
Paman supir kembali masuk ke dalam mobil, setelah itu pergi. Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul Heoen mulai melangkah kaki. Disana dia melihat mobil Davin terparkir di garasi, "Masih ingat pulang kah?" Batinnya.
Langkah demi langkah, sampailah di depan pintu rumah, dengan perlahan Helen mulai membuka pintu. Seketika suasana yang sangat dingin datang menyapa, membuatnya merasa tidak nyaman.
"Sudah pulang?" Suara itu tampak tidak asing, barulah Helen menyadari adanya seseorang duduk di sofa ruang tengah-Davin. Melihatnya berada di depan mata membuat Helen seketika ingin meledakkan beberapa pertanyaan saat itu juga, namun dia menahannya.
"Kenapa baru pulang jam segini? Kamu itu cewe lho," omelnya sembari berdiri.
Helen tak menggubris pertanyaan Davin, dia mengalihkannya, "Davin, aku dengar kamu pulang kemarin malam, kenapa tidak langsung pulang ke rumah? Apa kamu menginap di rumah ibu atau ...," ucap Helen terhenti.
Hening.
Davin menatap Helen, begitu juga dengan Helen. Jawaban apa yang akan Davin berikan padanya, Helen sudah lama menantikannya. Namun bukannya menjawab pertanyaan Helen, Davin malah membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi.
"Jangan ulang lagi!" Peringatnya tanpa menjawab pertanyaan yang Helen ajukan padanya.
Helen meratapi kepergian Davin, menatap punggung kuatnya. Lagi lagi dia hanya bisa dia melihat punggung Davin, hanya bisa berjalan di belakangnya. Annie sangat beruntung, sedikit demi sedikit dia bisa mengejar Davin dan berjalan di sampingnya, tidak seperti Helen.
Helen mengepalkan tangannya, dia tidak boleh terus seperti ini. Dia sadar dia tidak bisa mengejar Davin, karna itu, dia memutuskan untuk menyerah saja.
"Bibi, tolong bersihkan kamar tamu," ucap Helen pada pelayan, perkataan Helen membuat Davin menghentikan langkahnya.
Davin memutar kepalanya dan memberikan tatapan sini, "Apa maksudmu?" Tanyanya.
"Apa maksudku? Tentu aku akan tidur diruang tamu," balas Helen. Davin tak berkata apapun lagi, melihat reaksinya itu membuat Helen yakin dengan keputusannya. Dia kemudian pergi meninggalkan Davin.
Bruk!!
Sesampainya Helen menjatuhkan tubuhnya di ranjang yang dingin itu, tapi itu lebih baik. Helen menghela napas lega sambil menatap langit-langit kamar yang semakin lama semakin samar dilihat, Helen akhirnya tertidur.
Esoknya.
Helen bangun sangat pagi karna tidak mau terlambat lagi, meski begitu dia malah merasa enggan berangkat menggunakan mobil Davin dan akan mencoba dengan transportasi umum lagi.
Tidak perlu terburu buru lagi dan masih sempat menyantap sarapan pagi. Ketika sampai di lantai bawah, pagi itu Helen mendapati Davin yang duduk di ruang makan menunggu Helen untuk sarapan bersama.
Helen mengkerutkan dahinya, dia mengurungkan niatnya untuk sarapan, "Bibi hari ini tidak perlu membuatkan bekal, siang nanti aku ada janji sama teman," ucap Helen.
Bibi menatap Davin terlebih dahulu, "Baik, Nona," balasnya canggung.
Helen membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan ruang makan, namun langkahnya terhenti saat Davin mengajukan pertanyaan, "Teman yang mana?" Tanyanya dengan nada sinis.
"Teman baru," Helen menjawab, tanpa memutar tubuhnya dia melirik ke arah belakang dimana Davin berada, Helen ingin lihat bagaimana reaksi Davin ketika dia bertanya, "Kemarin malam ... bersama Annie kah?"
"Uhuk! Uhuk!" Davin dibuat tersedak oleh pertanyaan Helen, namun reaksinya itu sudah memberikan jawaban yang cukup jelas. Helen langsung mengalihkan pandangannya dari hal memuakkan itu.
Istri sendiri dibuat dingin dengan tidak pernah menyentuhnya, dia malah sibuk menghangatkan diri dengan wanita lain. Ironis, kadang berpikir untuk apa pernikahan itu terjadi? Jika tidak mencintainya kenapa harus menikahinya?
Namun kali ini, jauh dari lubuk hatinya Helen benar-benar ingin berubah. Hidupnya bukan tentang Davin saja, dia berhak bahagia. Helen melanjutkan langkahnya namun kembali terhenti tepat di depan pintu.
"Tolong beritahu aku, sebenarnya apa salahku? Jika tidak mencintaiku kenapa menikahiku?" Tanya Helen dengan segala keberaniannya.
Davin menundukkan kepalanya, "Maaf."
Siang hari, kelas Helen sudah selesai. Karna enggan pulang kerumah dia pun pergi ke tempat karaoke bersama teman temannya untuk melepas penat. Tahun ini Helen akan lulus dan dia sudah tidak sabar untuk segera mencari pekerjaan dan hidup mandiri.
"Helen, dengan nilai tinggi kau pasti akan diterima di perusahaan nomor satu di kota ini dengan mudah," ucap teman Helen, Mela.
"Benar. Oh ya, tugas yang dosen berikan tentang magang di suatu perusahaan itu, apa kalian sudah pikirkan akan magang di perusahaan yang mana?" Tanya Grey, teman Helen lainnya.
Helen menaruh tangannya di dagu, "Mm ... Bagaimana dengan Perusahaan RB group. Aku dengar CEO-nya seorang tuan muda tampan, Hehe," celetuk Helen mengumbar canda.
Tetiba Grey mengibaskan tangannya tepat didepan wajah Helen, "Hus! Bukannya kamu sudah menikah, tidak boleh lho membicarakan pria lain, Haha," ucap Grey membalas candaan Helen.
"Jangan dipikirkan lagi, ayolah giliran siapa menyanyi? Tolong dong lagu Kokoronashi, " pinta Helen, Mela mengambil bagian kemudian mulai bernyanyi.
Ah! Lagu yang sangat cocok untuk Helen, dimana dia tidak bisa pergi dari jeratan dan mungkin akan hancur didalamnya, "Kowashite hikisaite suki na youni shite yo (Kau hancurkan, kau robekkan, lakukanlah sesukamu)," salah satu lirik yang Mela nyanyikan.
Lirik lagu yang seperti sebuah tombak menusuk hati Helen, mengingat apa yang sudah terjadi membuatnya kembali bersedih. Matanya mulai berkaca-kaca namun dia berusaha menahannya.
Dia kemudian beranjak, "Aku ke toilet dulu," ucap Helen beralasan, kemudian pergi. Kedua temannya menatap heran kepergian Helen, mereka tahu Helen sedang mempunyai masalahnya namun belum siap memberitahukannya pada mereka.
Di toilet Helen berjongkok, sebisa mungkin menahan agar ia tak mengeluarkan suara tangisannya, "Ah sial," umpatnya. Padahal sudah memutuskan ingin menyerah, tapi masih saja memerdulikan hal itu.
Tak berapa lama Helen menyeka air matanya, membasuh wajahnya dengan air lalu merias diri dan memakai make up untuk menutupi mata lebamnya. Ingin sekali kesedihan itu segera berakhir, tapi bagaimana? Apa dengan bercerai?
Sedari dulu, jika tidak memikirkan perasaan orang tua Davin, Helen mungkin sudah bercerai dari Davin. Dia tidak ingin mengecewakan siapapun.
Helen bercermin menatap dirinya, "kau kuat!" Batinnya sambil menghela nafas panjang. Dia kemudian membalikkan tubuhnya dan berdiri dibelakang pintu, menguatkan dirinya lagi kemudian pergi.
Helen kembali ke ruang karaoke, "Maaf membuat kalian menunggu," ucapnya sambil memasang senyum lebar, kedua temannya menyambut dan mereka kembali bernyanyi.
Tak berapa lama ponsel Helen berbunyi, notifikasi pesan masuk ke ponsel Helen, dia mengambil ponselnya yang berada di dalam tas kemudian memeriksanya.
"Kalau sudah pulang beritahu aku, aku suruh supir jemput," isi pesan dari Davin. Perkataannya mungkin hangat, tapi sikap dan hatinya masih terasa sangat dingin.
Helen memilih untuk tidak membalasnya, sebelum kembali meletakkan ponselnya ke dalam tas, dia menonaktifkannya terlebih dahulu. Mungkin malam ini, dia juga tidak akan pulang.
Sementara itu di kantor Linkai, Davin tak kunjung mendapatkan balasan akhirnya mencoba menghubungi Helen, "Dia menonaktifkan ponselnya?" Geram.
Seorang wanita berdiri di belakang kursi kerja Davin, dia kemudian melingkarkan tangannya di leher Davin, "Ada apa, Davin?"
Helen benar-benar tidak pulang, dia menginap di hotel tanpa memberitahu Davin. Esoknya dia keluar dari kamarnya dan melakukan Check out untuk akhirnya pergi ke kampus. Didalam lift Helen melamun, kekacauan didalam kepalanya membuatnya tidak fokus, sampai akhirnya seseorang menyapanya."Nona," panggil seorang pria dalam lift, seketika lamunan Helen buyar, dia kemudian menoleh ke arah suara yang memanggilnya itu.Ia mendapati beberapa orang pria berpakaian rapi dengan Jas hitam, "Ya? Apakah kita saling mengenal?" Tanya Helen, memperhatikan dengan teliti beberapa pria berjas berdiri di belakangnya itu, dimana yang salah satunya nampak tidak asing.Terhenti sejenak, orang yang memanggilnya tersenyum canggung sementara Helen menaruh tangan di dagunya dan berusaha mengingat orang yang tak asing itu."Nona, beliau Tuan Ken. Beberapa hari yang lalu kami pernah membawa Nona pulang ke kediaman Tuan, apakah sudah ingat?" Tanya pria di sebelah Ken, kini Helen d
"Helen Aurora, mahasiswa Universitas Mada, anak bungsu dari pasangan Herles dan Ami. Apa hanya informasi seperti ini saja?" Tanya Ken dengan nada sedikit kesal dan melemparkan lembar berkas itu ke atas meja."T-tuan, saya mendapat informasi dari sebuah rumah sakit yang mengatakan bahwa dia mengalami amnesia sejak 5 tahun lalu karna suatu tragedi yang di alami oleh Nona Helen, sepertinya sebuah penculikan yang membuatnya trauma. Dan satu tahun ini, Nona Helen sudah menikah," beber Dio menambahkan informasi tentang Helen.Tak lama Ken memasang senyum seringai, "Tidak disangka bisa bertemu dengannya lagi. Dio, Universitas Mada ada tugas magang di perusahaan, undang Helen untuk interview dan pastikan terima dia di perusahaan. Beri dia posisi asisten pribadi," ucap Ken memberi perintah pada Dio."Baik, Tuan," balas Dio.Sudah ditemukan, gadis SMA yang 5 tahun lalu Ken cari sudah hampir berada di dalam genggamannya dan Ken tidak ingin melepaskannya lagi. Tidak
"Kau! Siapa kau?" Tanya Helen pada pria asing di depannya itu."Perkenalkan, saya Erwin Bryan, wakil Direktur RB group. Senang bertemu dengan Nona Helen, kami mendengar bahwa Uni Mada menugaskan magang bagi mahasiswanya sebagai gambaran dan percobaan bergelut di bidang perkantoran. Anda mendapatkan nilai terbaik dan kami sangat tertarik. Ini berkas kontrak, silahkan diperhatikan baik-baik kemudian mohon tanda tangan," ucap Erwin, wajahnya asing namun terlihat sangat familiar.Helen jadi gugup, "Tuan, saya ingin memulainya dari posisi biasa saja seperti divisi pemasaran," ucap Helen bernegosiasi."Oh jangan khawatir, justru posisi ini yang terbaik sebagai bahan pembelajaran. Di lembar kertas terakhir, isilah nominal gaji yang Nona inginkan. Dan juga, berhubung magang ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, lebih baik Nona tidak menyia-nyiakan kesempatan ini," ucap Erwin bersikeras.Helen membuka lembar demi lembar berkas kontrak yang harus ia tand
"Tuan sudah pulang?" tanya bibi sesaat setelah Davin tiba dirumah siang itu. Davin tidak banyak bicara dan melangkah pergi ke lantai atas menuju kamarnya. Bibi terus menatap Davin seperti ada yang ingin dia katakan padanya, "Tuan ... Semalam Nona Helen menunggu Tuan pulang," ucap bibi.Davin berhenti sejenak, dia sedikit menoleh sambil melempar tatapan dingin, "Setiap malam dia selalu menungguku pulang, dia juga tahu aku jarang pulang ke rumah 'kan." Katanya, kemudian melanjutkan langkahnya."T-tapi Tuan, semalam Nona memasak banyak makanan untuk merayakan diterimanya dia bekerja. Nona ... Nona juga Berdandan dan menunggu Tuan pulang, tapi Tuan tidak pulang," ucap bibi."Nanti aku jelaskan ke dia, bibi jangan khawatir," balas Davin terdengar acuh tak acuh. Seiring menghilangnya Davin dari pandangan, bibi menghela napas kasar.Sementara itu.Hari pertama bekerja Helen akan melakukan yang terbaik, dia sudah mempunyai nama sebagai ma
Malam hari, Davin turun kelantai bawah untuk menyantap makan malam. Setibanya dia tidak melihat Helen disana kemudian dia meminta menghampiri bibi dan berkata, "Panggil Nona untuk makan malam," perintahnya.Alih-alih menjalankan perintah Davin, bibi malah diam dengan raut wajah ragu seperti ada ingin dia katakan, "Tuan ... itu ... Sebenarnya Nona---""Aku tidak makan dirumah," ucap Helena yang tiba-tiba muncul dengan gaun yang sangat cantik dan riasan wajah cantik membuat Davin terpesona seketika saat melihatnya. Ditentengnya tas kecil sembari berjalan anggun dengan sepatu heelsnya.Davin menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala lalu bertanya, "Kemana kau akan pergi?"Helen sedikit mengabaikan pertanyaan Davin yang diajukan untuknya, dia berjalan pergi, "Aku ada makan malam bareng atasan, jadi tidak makan dirumah. Tidak pulang larut malam juga kok," ucap Helen kemudian pergi begitu saja.Gaun cantik yang sedikit terbuka membuat Davin se
Satu jam kemudian mereka sampai di rumah, Davin menggendong Helen yang tertidur dan membawanya ke kamar. Dibaringkannya tubuh ringan Helen, Davin menatap Helen cukup lama pada wajah yang sudah kehilangan senyumnya saat bersama dengannya."Helen ... Andai peristiwa itu tidak pernah terjadi, kita mungkin tidak akan seperti ini. Tidak akan saling menyakiti," ucapnya pada Helen yang tengah tertidur. Tak lama Davin menaruh tangannya di kepala Helen, kemudian mengelusnya lembut, "Tapi hal itu juga tidak luput kesalahanku, Helen maafkan aku," tambahnya.Malam berlalu, Davin menemani Helen tertidur. Sebenarnya dia sendiri tidak bisa memahami perasaannya pada Helen. Jika mengatakan Davin mencintai Helen itu sangat naif, faktanya Davin menikahi Helen hanya karna rasa bersalah atas peristiwa 5 tahun lalu yang telah menimpa Helen.Sesuatu yang sangat ia simpan rapat-rapat dan menyembunyikannya dari Helen. Bersyukur Helen mengalami amnesia sejak saat itu, jika tidak, entah s
Dengan menggunakan segala cara dan juga bujukan, Helen akhirnya lolos dari hukuman dan omelan sang Boss, disayangnya dia harus merelakan bekal makan siangnya, "Ah bekal makan siangku ... Huhuhu ...," gumamnya dalam hati sembari menemani Ken menyantap sarapannya.Meski lolos dari hukuman berat, Ken tetap menyuruh Helen untuk berdiri di dekat pintu sebagai peringatan untuknya. Tak butuh waktu lama, Ken menyikat habis makan siang milik Helen tersebut, "Lumayan," ucap Ken sambil menyeka bibirnya menggunakan tisu."Ja-jadi ... Apa saya sudah bisa duduk sekarang?" tanya Helen."Tidak, belum. Kemarilah." pintanya, Helen tidak tahu apa yang dia inginkan namun dia memilih untuk mematuhinya dan mulai berjalan menghampirinya. Entah apa yang sedang Ken pikirkan didalam kepalanya dengan senyum menyeringainya itu, menanti kedatangan Helen.Merasa ada yang tidak beres dan mencurigakan dari sikap Ken, Helen menghentikan langkahnya untuk berjaga-jaga. Seekor kelinci
"Tch ... Dasar pria mesum, mencari kesempatan dalam kesempitan," gerutu Helen saat keluar dari ruangan Direktur saat jam pulang tiba. Dia menggerutu soal Ken yang dengan semena-mena menciumnya.Untuk meminta maaf Ken menawarkan tumpangan untuknya namun Helen menolak, yang membuatnya berjalan dengan tergesa karna tidak ingin jika Ken sampai menyusul.Sampai didepan lift Helen pun berdiri menunggu pintu lift terbuka, sementara itu dia berpapasan dengan Sekretaris Dio yang datang dengan tergesa dan wajah yang panik. Helen tidak sempat menyapanya.Dan tak lama sekretaris Dio masuk ke ruangan Direktur, "Tuan Ken, ada apa?" tanya sekretaris Dio."Dio, cari informasi tentang orang tua dan juga saudara laki-laki Helen di negara J, selengkap mungkin. Bila perlu, utus seseorang untuk menyelidikinya langsung. Lalu ... Kelompok mafia Lordi itu, taruh mata-mata kita disana," ucap Ken pada Sekretaris Dio."Baik, Tuan," balas Dio kemudian berlalu pergi.Ke