"Kau! Siapa kau?" Tanya Helen pada pria asing di depannya itu.
"Perkenalkan, saya Erwin Bryan, wakil Direktur RB group. Senang bertemu dengan Nona Helen, kami mendengar bahwa Uni Mada menugaskan magang bagi mahasiswanya sebagai gambaran dan percobaan bergelut di bidang perkantoran. Anda mendapatkan nilai terbaik dan kami sangat tertarik. Ini berkas kontrak, silahkan diperhatikan baik-baik kemudian mohon tanda tangan," ucap Erwin, wajahnya asing namun terlihat sangat familiar.
Helen jadi gugup, "Tuan, saya ingin memulainya dari posisi biasa saja seperti divisi pemasaran," ucap Helen bernegosiasi.
"Oh jangan khawatir, justru posisi ini yang terbaik sebagai bahan pembelajaran. Di lembar kertas terakhir, isilah nominal gaji yang Nona inginkan. Dan juga, berhubung magang ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, lebih baik Nona tidak menyia-nyiakan kesempatan ini," ucap Erwin bersikeras.
Helen membuka lembar demi lembar berkas kontrak yang harus ia tandatangani, dia juga membacanya dengan sangat teliti.
Semua yang tertulis di sana sangat normal dan tidak ada unsur tipuan. Tentang gaji, Helen meminta sebagaimana normalnya saja.
Dengan senang hati dia pun menandatangani kontrak kerja itu.
"Selamat bergabung dengan perusahaan RB group, Asisten Helen. Kau bisa mulai pergi bekerja besok, ruanganmu ada di sebelah sana," ucap Erwin sembari menunjukan meja kerja Helen yang terletak tidak jauh dari meja kerja Erwin.
Helen menoleh mengikuti petunjuknya, "Terima kasih Tuan, mulai besok mohon bimbingannya. Kalau begitu saya pergi dulu," ucap Helen kemudian pamit untuk pergi.
Dalam hati Helen bergumam, "Hehe ... Ternyata jadi orang cerdas itu menyenangkan, bisa dapat kerja dengan mudah. Tidak perlu bergantung pada Davin lagi."
Seperginya Helen. Ekspresi wajah Erwin langsung berubah 180 derajat. Dia kemudian membuka ponselnya dan menghubungi seseorang, "Kak, dia sudah menandatangani kontrak kerja sebagai Asistenmu, jangan lupa dengan apa yang telah kau janjikan padaku," ucap Erwin.
"Ya, jangan khawatir. Terima kasih sudah membantu, adikku Erwin," ucap pria dalam telpon.
"Tentu saja, kakakku Ken," balas Erwin kemudian mengakhiri panggilan.
"Ternyata wanita itu yang kau cari? Huh, dunia memang terasa sempit. Kak, sekarang apa yang akan kau lakukan padanya? Pada wanita yang sudah kau cari sela 5 tahun tersebut."
Sementara itu.
Selesai interview Helen langsung pulang untuk membagi kabar baiknya itu dengan orang rumah, semua penghuni rumah ikut senang kecuali Davin yang saat mengantar Helen pulang dia langsung pergi entah kemana.
Helen kemudian menyuruh bibi belanja ke supermarket dan malam nanti dia akan memasak banyak makanan untuk merayakannya.
Kemudian Helen pergi ke kamar.
Di dalam kamar, Helen membuka lemari kamarnya dan memilih pakaian yang cantik untuk nanti malam. Dia ingin membuat Davin sedikit memperhatikannya.
"Apa masih bisa di perbaiki? Apa masih ada kesempatan? Malam ini, apa aku tanyakan saja tentang hubungannya dengan Annie? Aaarrghhh bagaimana ini," dilema datang menyapa.
Helen menggenggam ponselnya, mengirim pesan pada Mela dan Grey untuk meminta saran pada mereka tentang apa yang harus dia lakukan. Tak lupa Helen juga memberitahu kabar baik itu dan juga mengundang mereka datang ke rumah. Tapi keduanya tidak bisa datang malam itu.
"Setiap hari Helen tidak pernah pakai pakaian yang feminim, malam ini pakailah dress cantik," saran Grey.
"Dan juga, rambutmu lebih baik di gerai. Itu akan terlihat lebih seksi lho," tambah Mela sedikit menggoda Helen.
"Begitu kah? Baiklah akan aku coba," balas Helen.
Dia kembali membuka lemari pakaiannya dan memilih sebuah dress secara acak, dapatlah dres hitam dengan renda biru yang sangat cantik. Namun hatinya kembali bergelut kesah, Apakah dia akan menyukainya?
"Terserahlah, pakai saja!"
Pukul 7 malam, setelah selesai memasak diapun merias diri. Diruang tengah sudah menunggu paman dan bibi yang selama ini membantu mengurus rumah dan melayani Davin maupun Helen.
Helen mengirim pesan pada Davin, "Pulang jam berapa malam ini?" Isi pesan itu. Dia meletakkan ponsel yang sedang diisi daya itu kemudian bergegas turun ke bawah. Biasanya tidak lama lagi Davin akan pulang.
Tap! Tap! Tap! suara langkah kaki terdengar dari lantai atas, para bibi dan paman tidak sabar ingin melihat Helen yang merias diri, "Waaah, Nona sangat cantik, Tuan pasti tidak akan mengalihkan pandangannya dari Nona," puji Bibi.
"Ya benar," Tambah yang lainnya, Helen sangat senang mendengarnya, dia jadi lebih percaya diri untuk menghadapi Davin dengan penampilannya itu.
"Paman Gu, sudah tanya Asisten Yona kapan tuan akan pulang?" Tanya Helen pada paman Gu.
Tetiba paman Gu memasang raut wajah sedikit murung, "Sudah, tapi ... Asisten Yona belum membalas pesan. S-sebentar lagi tuan pasti pulang," balasnya menghibur.
Mereka kemudian duduk bersama, semua orang tidak berani mengatakan apapun lagi saat melihat raut wajah kecewa Helen. Mereka menunggu dan berharap semoga Davin segera pulang dan tidak mengecewakan Helen.
1 jam telah berlalu.
2 jam berlalu.
3 jam.
Hingga malam sudah larut dan makanan sudah dingin, Davin belum juga pulang.
Brak!!
Helen berdiri sembari menggebrak meja makan, raut wajah kesal dan kecewa terpampang, semua yang melihatnya tidak berani mengatakan apapun lagi, "Bibi, Paman, maaf makanannya jadi dingin," ucapnya dengan wajah dingin.
Semua orang jadi khawatir, "Nona tidak perlu meminta maaf," ucap Mereka.
"Kalian bisa membuangnya dan membuat makanan baru, aku ke kamar dulu," ucap Helen membalikan tubuhnya. Kepala yang terus tertunduk dengan ekspresi kecewanya membuat para bibi dan paman mengkhawatirkannya.
Lagi lagi Davin tidak pulang.
Segera setelah masuk ke dalam kamar Helen memeriksa ponselnya, dia berharap Davin membalas pesannya dan mengatakan alasannya tidak pulang malam itu. Tapi tidak ada pesan atau apapun dari Davin-suaminya itu.
Di ruang makan, barulah paman Gu mengatakan suatu kebenaran, "Tuan Davin, Asisten Yona mengatakan bahwa dia sedang bersama nona Annie. B-bagaimana bisa aku mengatakan hal itu di depan nona Helen," ucapnya dengan nada rendah.
"Kenapa tuan melakukan hal itu pada Nona Helen? Dia adalah wanita yang baik tidak seharusnya mendapatkan perlakuan seperti itu," ucap salah satu bibi.
Sedangkan di kamar, Helen sudah merasa tidak tahan lagi dengan sikap Davin. Kekecewaan memuncak membuat emosinya meningkat, dia merobek gaun yang dia pakai malam itu juga melempar ponsel ke jendela yang membuat kaca jendela retak.
Ia kemudian jatuh terduduk. Bodoh sekali dirinya itu! Padahal sudah berniat untuk menyerah namun masih saja berharap, bodoh! Helen menangis tersedu sambil memeluk lututnya, sepanjang malam sampai akhirnya tertidur.
Hari berganti, malam kelam sudah berlalu. Helen bangun pagi karna harus pergi ke kantor di hari pertamanya bekerja.
Suasana hening dirumah mulai terasa, tidak ada yang berani mengungkit hal semalam namun sesekali orang rumah menyapa Helen.
"Dia tidak pulang?" Tanya Helen pada orang rumah.
"Y-ya Nona," balas mereka ragu.
Helen menghela nafas panjang sembari memejamkan matanya. Dia berjanji pada dirinya sendiri dia tidak akan pernah jatuh ke lubang rasa sakit yang sama lagi.
Tak lama bibi Niu, "Nona, bibi buatkan bekal makan siang," ucap Bibi dengan tas bekal di tangannya, Helen menerimanya kemudian pergi.
Esok hari di kamar Helen, Ken dan yang lainnya datang pagi-pagi sekali untuk membahas rencana lebih lanjutnya, dan untungnya team susulan sudah datang tepat waktu yang terdiri dari Dio, Alice, Yohan dan Mike. Mereka duduk lesehan diatas karpet dengan posisi melingkar untuk mendiskusikan rencananya."Dengarkan, hanya aku yang memiliki kartu undangan disini dan sesuai aturan bahwa aku bisa pergi dengan seorang pendamping wanita nanti. Tapi rencanaku adalah, Erwin akan pergi menggantikanku dengan Helen sebagai pendamping wanitanya," ucap Ken."A-apa? Kenapa aku?" kaget Erwin, yang lainnya hanya mengangguk-anggukan kepala mereka tanda setuju sedangkan Helen nampaknya masih linglung."Kau dan aku seperti saudara kembar, tidak ada yang mengenali apakah itu aku atau kau. Biar aku jelaskan, mereka mengetahui bahwa Jackly juga mengundangku di acara itu dan mereka pasti tidak akan tinggal diam. Mereka akan mengira kau sebagai aku dan perhatian mereka akan selalu tertuju p
Rumah Davin.Malam hari seseorang menekan bel pintu rumah Davin, Davin yang tengah terduduk di ruang tengah nampaknya memang sedang menunggu seseorang itu datang. Segera setelah itu dia pun beranjak dan membukakan pintu.Disana berdiri Annie dengan dress cantik, dia menghampiri dan langsung memeluk Davin. "Selamat malam, Davin," ucapnya. Davin terdiam, Annie kemudian mendekatkan wajahnya hendak mencium Davin namun Davin menghindar."Bukankah Helen tidak dirumah?" tanya Annie.Davin melepaskan tangan Annie yang tengah bertengger di lehernya. "Aku memintamu datang karna ada urusan kantor," ucap Davin seraya masuk ke dalam rumah."Aku tahu, tapi bukankah ini sudah terlalu lama? Kau juga baru kembali, 'kan." Annie kembali memeluk Davin dari belakang."Annie jaga sikapmu, ada orang lain dirumah ini," peringat Davin dengan nada datar, dia kembali melepaskan tangan Annie dan mereka pergi ke ruang kerja untuk membahas pekerjaan.Seperti perus
Beberapa hari kemudian, Helen akhirnya mendapatkan ijin dari Davin. Meski begitu, malam itu tidak ada hal lain yang terjadi diantara mereka. Lebih cepat lebih baik, siang nanti mereka sudah akan pergi ke negara S.Ken, Erwin dan Helen pergi ke bandara diantar oleh beberapa pekerja lainnya, mereka menaruh harapan besar pada mereka bertiga. Untuk pertama kalinya juga Helen akan pergi ke luar negeri."Suaminya memberikannya ijin untuk pergi, Davin mungkin bersikap abai pada Helen tapi jika menyangkut reputasinya dia tidak akan dengan mudah memberikan ijin pada Helen untuk pergi bersama pria lain. Itu berarti mungkinkah ...." Segera Ken menoleh ke arah Helen. Hah?" kaget Ken, dia menghentikan langkahnya.Erwin dan Helen terheran, namun Ken kemudian memegang tangan Helen dan memutar badan Helen seperti sedang memeriksa sesuatu, "Helen apakah dia menyentuhmu?" tanya Ken membuat mereka terkejut."A-apa yang kau katakan.""Katakan padaku apa dia menyentuhm
Esoknya, di kantor.Jam kerja sudah masuk 5 menit lebih namun Helen belum juga sampai di ruangan, hal itu membuat Ken kesal. Ken terus menghubungi nomor Helen namun Helen tidak mengangkat telponnya. "Wanita ini sudah berani kah?" kesalnya menggenggam erat ponselnya.Brak!Tetiba pintu terbanting dan berdiri Helen disana dengan napas terengah. "Maaf aku terlambat," ucap Helen kemudian menutup pintu lalu berjalan menuju meja kerjanya."Bonus minum 5 juta karna telat, minum 5 juta sudah membanting pintu ruangan Derektur," ucap Ken."Ya, terserah bos saja," balasnya acuh tak acuh. Ken tidak tahu apa yang terjadi pada Helen pagi itu. Biasanya jika menyangkut uang Helen akan heboh sendiri, namun kali ini dia terlihat tak acuh.Ada yang Helen lupakan, Ken berdiri dan beranjak dari tempat duduknya untuk menagih kopi paginya. Suara langkah kaki terdengar sangat jelas, namun Helen tidak menghiraukan hal itu.Brak!Ken menggeb
Beberapa saat kemudian, Dio datang dengan membawa banyak makanan dan camilan serta beberapa minuman untuk mereka.Dio menatap Ken dengan menaikkan alisnya, tersirat sebuah kalimat yang ia tanyakan pada Ken. Kemudian Ken membalasnya dengan tangan berbentuk 'OK' dengan senyuman nakal di bibirnya."M-mereka bersekongkol," gumam Helen yang mengetahui hal itu. Tak lama setelah itu ponsel Ken berdering, dia beranjak dan pergi untuk mengangkat telpon."Ya Erwin? Bagaimana?" tanyanya."Kak, aku sudah dapat informasinya, tapi akan lebih jelas jika dibicarakan secara langsung. Aku akan pulang malam ini dan membahasnya denganmu," balas Erwin dalam telpon."Baiklah, tapi bisa beritahukan secara garis besarnya?" tanya Ken yang merasa penasaran dengan hasil penyelidikan Erwin."Baiklah. Orang tua Helen tinggal dengan baik disini bersama seorang pria muda yang kemungkinan adalah Kakak Helen, dia CEO dari suatu perusahaan di negara J," tutur Erwin."
Bang!Bang!"Tidaaaaaaak!! Marck tolong aku!" teriak Sean tak kala tubuhnya diseret oleh monster yang sangat besar, sementara Marck terus menembak monster itu dengan pistol di tangannya."Sean! Jangan bergerak, aku pasti akan menyelamatkanmu!" seru Marck seraya berlari menghampiri Sean, kini dia memegang sebuah bom di tangannya."Tidak! Jangan lakukan itu Marck. Tak apa, tinggalkan saja aku disini. Pergilah Marck, tetap lah hidup," ucap Sean dengan berlinang air mata, tidak ada yang bisa diselamatkan lagi, desa dan orang-orang sudah dibinasakan oleh monster itu."Sean ... kita ... kita akan hidup bersama, 'kan? Kita akan mempunyai anak yang manis dan lucu, karna itu ... karna itu ... pasti akan menyelamatkanmu," ucap Marck menahan air mata."Marc, aku mencintaimu. Aku ingin kau tetap hidup, hanya kau. Pergilah Marck!" balas Sean. Tanpa disangka, Sean mengambil sebuah bom dari balik pakaiannya.Bruk! Menyaksikan hal itu membuat lutut M