BAGIAN 50
POV ZULAIKA
BARA ASMARA
“Keterlaluan kamu, Ika! Sekasar itu kamu berucap kepada Mami!” Mami memukul meja dengan telapak tangannya. Seketika menimbulkan bunyi krompyang akibat kaca meja yang menghentak beberapa perlengkapan makan di atasnya.
“Percayalah padaku. Jiwa Mami memang sedang terganggu.”
Setelah puas mengucapkan kalimat tersebut, aku buru-buru masuk ke kamar. Membanting pintu kuat-kuat hingga rasanya rumah ini seketika menggelegar seperti kena gempa. Kurampas tas dari atas meja belajar, memanggulnya di atas kedua pundak, kemudian keluar dari kamar secepat kilat.
Sebelum pergi,
BAGIAN 51POV ZULAIKAJO MEMBONGKAR SEMUANYA Hampir pukul setengah satu siang aku tiba di depan gedung apartemen milik Daddy. Langkahku rada gontai tatkala turun dari taksi yang kutumpangi. Bukan karena hendak berjumpa dengan lelaki itu, tapi sebab pikiran ini tertuju kepada banyak hal yang tiba-tiba saja membuatku super galau. Satu sisi aku ingin sekali mengabari Jo kalau aku tengah berada di apartemen. Aku mau jumpa dengannya, sebab minggu lalu adalah kali terakhir pertemuan kami. Namun, di satu sisi lainnya, aku masih saja teringat akan perlakuan manis dari Bara, si ketua kelas. Meskipun masalahnya sepele, tapi mengapa sangat membekas di hati, ya? Ah, sialan! Aku memasuki lantai satu dan berjalan di ruang lobi dengan perasaan takut-takut. Tumben sekali ada banyak orang di sini. Beber
BAGIAN 52POV ZULAIKATEBUSAN UNTUK NYAWA PAPI Ponsel yang tergeletak di atas karpet tersebut bergetar lagi. Diriku yang tengah syok luar biasa dengan napas yang tercekat, semakin merasa gelisah tatkala memperhatikan benda pipih dengan softcase warna hitam tersebut. Tertera nama Jo pada layar ponselku. Ya Tuhan, anak itu …. Dia benar-benar membuatku seakan tak mampu berpijak lagi ke dunia ini. Jawaban apa yang harus kuberikan kepadanya? Kubiarkan ponsel itu terus bergetar. Berharap jikalau Jo menghentikan panggilannya. Akan tetapi, dugaanku sungguh meleset. Lelaki itu pantang menyerah dan terus menelepon. Kegelisahanku sudah berada di puncaknya. Dengan tangan yang gemetar, kuraih ponsel yang berada beberapa j
BAGIAN 53POV ZULAIKADUA KALI DITIMPA MALAPETAKA “T-ti-dak, Dad. A-aku … akan mengusahakannya,” ucapku tergagap-gagap seraya berjanji kepada Daddy. Pria tua bangka yang telah menindih tubuhku tersebut kini menatap dengan mata elangnya. Tajam sekali. Aku kini semakin gemetar ketakutan. “Nyawamu akan melayang kalau kamu berbohong! Ingat itu, Sweetheart,” ancam Daddy sambil meremas kedua pipiku dengan jemari gendutnya. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Air mata ini belum juga kering, sementara kedua kakiku sudah lemas luar biasa. Belum lagi sesaknya napas akibat dadaku yang tertindih oleh t
BAGIAN 54POV ZULAIKAKIKAN MASUK PERANGKAP “Bee, maafkan aku ….” Jo berkata lirih sambil merangkul tubuhku. Aku hanya diam saja. Menatap nanar pada langit-langit kamarnya yang dipasangi lampu kristal besar bewarna hangat. Hatiku sudah telanjur beku karena perlakuan Jo lima menit lalu. Tanpa pemanasan, tanpa cumbu rayu yang mesra, dia melakukannya begitu saja dengan tempo yang sangat cepat. Kata maaf yang dia ucapkan barusan menurutku sangat tak relevan dengan tingkah lakunya yang menyebalkan. Apa gunanya minta maaf setelah nasi menjadi bubur? “Hei, kamu memaafkanku, kan?” Jo mendekatkan wajahnya kepadaku. Lelaki itu mengecup pipiku mesra, seolah aku mengizinkan dia untuk melakukan semua tindakan tak terpujinya tersebut.&nbs
BAGIAN 55POV ZULAIKADAN DINDA PUN IKUT TERJEBLOS Aku tiba di rumah Kikan sekitar pukul 15.40 sore. Mamanya Kikan menyambut kedatanganku dengan hangat. Wanita berusia sekitar 35 tahunan tersebut tampak semringah tatkala membukakan pintu untuk tamu anaknya ini. “Halo, Ika. Apa kabar?” Mamanya Kikan langsung memeluk tubuhku erat. Perempuan dengan rambut keriting sebahu dengan hidung mancung plus kulit sawo matang tersebut tampak sangat cantik dengan stelan pakaian rumahan bercorak batik. Beliau juga tercium harum, seperti orang yang habis mandi sore. “Baik, Tante. Kikannya ada, Tan?” tanyaku sambil tersenyum hangat ke arahnya.&nbs
BAGIAN 56POV ZULAIKARUJUKAN KE PSIKIATER Kikan dan Dinda dengan semudah itu telah menyerahkan jiwa raganya kepadaku. Keduanya menjadi ‘sukarelawan’ untuk misi besok hari. Aku yang kini sedang menandaskan setengah cetak besar puding buah suguhan Kikan, merasa bahagia yang bukan kepalang. Jikalau bisa berteriak, aku rasanya kepingin sekali menyuarakan ungkapan bahagia sekaligus syukur nikmat atas karunia sore ini. Gila! Sepertinya aku memang berbakat untuk jadi mucikari. Sebuah kata yang dulunya kerap kudengar di berita-berita kriminal televisi. Kupikir, mucikari itu begitu buruk dan pekerjaan yang menyeramkan saat kelas enam SD, seorang teman memberi tahu arti dari kata tresebut. Namun, kenyataannya tidak juga setelah dijalani sendiri. Profesi yang mulia bagiku. Bisa membantu mewujudkan cita-cita orang lain, contohnya punya ponsel mahal dan uang berlimpah. S
BAGIAN 57POV ZULAIKASI BIADAB DATANG LAGI “Iya, Ika. Mami juga nggak mau kehilangan kalian. Mami minta maaf ya, Nak, sekali lagi.” Sore itu, berkas-berkas jingga senja yang menyelinap dari kisi-kisi lubang angin, menerpa tubuhku dan Mami. Suasana menjadi semakin syahdu sekaligus membuat hati terasa cukup pilu. Tak pernah kubayangkan, betapa di kehidupan ini akan terjadi episode mengejutkan seperti yang dialami oleh Mami hari ini. Rasa benci yang sempat menggeliat dalam jiwa, kini perlahan redup berganti jadi simpati. Pintu hati yang dulunya tertutup, bahkan ikut terbuka perlahan untuk menyambut kasih sayang serta permintaan maaf dari Mami. Seolah aku sudah berlapang dada dengan segala yan
BAGIAN 58POV ZULAIKATUBUH YANG TERKULAI LEMAS “Sebelum Papi membongkar semuanya, kupastikan kepala Papi sudah bolong duluan tertembus timah panas.” Tak perlu panjang lebar untuk menusuk seorang penjahat. Penjahat tetaplah penjahat, meskipun di antara kami mengalir DNA yang sama. Mendengar serangan balik yang cukup pedas dariku, tentu saja Papi bungkam. Mau jawab apa lagi dia? Sedangkan kendali kini berada di tanganku. “Punya mulut nggak dididik, ya?” Saking geramnya, terlontar juga pertanyaan tak sopan sekaligus tak pantas tersebut.Nuraniku sebagai seorang putri yang dia besarkan deng