"Kanker otak stadium empat. Dia juga dirawat di sini," kataku dengan pandangan yang lurus ke depan."Di ruangan apa dia dirawat? Aku ingin menemuinya," ujar Dion. Aku pun pergi ke ruangan Mas Mirza dengan diikuti Dion dari belakang.Setelah beberapa saat berjalan, sampailah kami di ruangan dimana Mas Mirza berada. Sepertinya Papa juga sudah berada di sini. Aku masuk dengan mengucapkan salam dan dijawab serentak dari dalam.Wajah Dion sangat syok saat pertama dia melihat Mas Mirza. Wajar, kini Mas Mirza tidak segagah dulu."Mirza, ini kamu?" tanya Dion tidak percaya."Ya, beginilah diriku sekarang, Yon. Jelek, ya?""Tidak, bukan itu. Kamu masih tampan, tapi ... terlihat pucat saja." Mereka saling melempar senyum. Keakraban terlihat pada keduanya. Bagaimana tidak, mereka sahabat dekat yang selalu bersama."Ada Papa rupanya. Mama ke mana?" tanyaku pada peria tua yang tengah duduk di sofa."Mama pulang, Papa menyuruh Mama, untuk menjaga Thalita. Biar Papa yang di sini menemani Mirza. Nant
Aku menjauh dari ranajang Mas Mirza, menyandarkan punggung pada tembok. Kubekap mulut agar tidak terdengar suara tangisku.Semua orang panik, terlebih diriku yang baru pertama kali melihat Mas Mirza menahan sakit. Reza menyuntikkan obat yang berbeda pada labu infus juga pada punggung tangan Mas Mirza.Perlahan tubuh Mas Mirza melemah, dia tidak berteriak lagi. Mas Mirza terkulai lemas di ranjangnya. Aku yang sesegukkan menangis di belakang Papa, kini menghampirinya. Aku naik ke atas ranjang Mas Mirza kupeluk tubuh ringkih yang tidak berdaya itu.Tidak peduli dengan dua orang yang melihatku dengan iba atau tidak suka. Aku menangis dengan sebelah tangan kusimpan di atas perutnya. Kucium pundaknya berkali-kali. Takut, sungguh aku sangat takut untuk kehilangannya.“Za, apa sebaiknya kita bawa Mas Mirza berobat ke luar negeri saja? Aku yakin dia akan sembuh jika kita bawa dia ke rumah sakit yang lebih besar dan canggih,” kataku memberikan usul.Reza menggeleng, lalu dia berjalan dan duduk
“Seharusnya kamu tidak melakukan ini, Al. Kamu bukan istriku lagi, kita tidak memiliki hubungan seperti dulu,” ujarnya sendu.“Ssttt, aku memang bukan istrimu, tapi aku sustermu, perawatmu. Jadi, jangan sungkan untuk meminta bantuanku, ok?”“Muntah lagi, Al?” tanya Reza yang baru saja datang usai memberikan laporan kepada dokter seniornya.“Heem, itu artinya, penyakitnya keluar dan Mas Mirza akan segera sembuh. Iya, kan?” kataku dengan senyum yang dipaksakan.“Sus, minta selimut baru, ya? Yang ini sudah kotor,” pintaku pada seorang perawat yang datang membawa sarapan untuk Mas Mirza.“Baik, Bu.” Suster berlalu dengan membawa selimut yang aku berikan.“Mau makan? Aku suapin, ya?” tawarku pada Mas Mirza. Tapi sayang Mas Mirza menggeleng.“Mual, Al.”“Satu saja, ya?” Aku tersenyum saat Mas Mirza mengangguk.Susah payah Mas Mirza menelan makanannya. Lalu dia minta minum agar makanannya segera masuk ke dalam perut.“Sudah, Al. Aku kenyang.” Mas Mirza menjauhkan mulutnya saat aku hendak men
“Sini, Al. Duduk di deket, Mas.” Mas Mirza melambaikan tangan menyuruhku mendekat.Aku menghampirinya dan duduk di kursi yang berada di dekat ranjang.“Mas ingin menyampaikan sesuatu padamu, Al.”“Aku akan mendengarkannya,” ucapku.“Kamu tahu, Al. Aku sangat menyayangimu?”“Hmm.” Aku mengangguk.“Aku tidak pernah minta apa pun darimu selama pernikahan kita. Tapi, untuk kali ini aku harap kau mau mengabulkan permintaanku.”“Apa, Mas?” tanyaku. Perasaanku jadi tidak karuan.“Nanti, jika aku sudah tidak ada, berjanjilah kamu akan bahagi—““Jangan katakan itu, Mas. Aku mohon, kamu akan sembuh dan kita akan kembali seperti dulu.” Dengan cepat aku memotong ucapan Mas Mirza. Aku tidak ingin dia meninggalkanku. Aku sangat menyayanginya.Aku genggam tangannya dengan erat. Matanya aku tatap dengan lekat.“Al, aku belum selesai bicara. Dengarkanlah dulu,” ucap Mas Mirza. Suaranya semakin pelan dan lambat.“Ok, akan aku dengarkan.”“Aku sudah tidak bisa menjagamu lagi, aku sudah tidak sanggup ter
“Gara-gara dirimu, anakku jadi harus kehilangan rahimnya! Dasar anak tak berguna! Bisanya hanya menyusahkan saja!” Aku memegangi pipiku yang panas akibat tamparan Ibu Kak Melati. Dia tidak menghiraukan teriakkan dari anak serta suaminya.“Apa salah saya, Bu?” tanyaku tidak mengerti. Aku kaget saat Ibu tiba-tiba memukulku dengan keras.“Kau masih tanya apa salahmu? Kau itu bodoh, apa tolol? Jelas-jelas Melati kecelakaan itu semua gara-gara dirimu! Kau yang tak becus mengurus hidupmu sendiri, membuat Kakakmu harus selalu turun tangan dan mengurus semua masalahmu. Harusnya kau sadar, Aletta. Rasyid itu sudah punya anak dan istri. Tidak seharusnya kamu terus membebani dia dan selalu minta tolong padanya atas semua masalah hidupmu. Lihat akibatnya, anak dan cucuku yang harus jadi korban kebodohanmu itu!” ujar Ibu Kak Mel dengan geram.Dengan berkacak pinggang, dia menunjuk-nunjuk wajahku dan terus menyalahkanku atas kecelakaan yang dialami Kak Melati.“Demi Allah, aku tidak menyuruh Kak Ra
“Innalillahiwainnailaihirojiun,” ucap Papa dengam disambut teriakan histeris dari Mama.“Tidak, Mas Mirza tidak kalah. Dia hanya tidur, Reza! Dia hanya tidur!” Aku menghampiri Mas Mirza dan menggoyangkan tubuhnya.“Bangun, Mas. Bangun! Kamu tidak boleh tidur terus, Mas. Aku mohon bangun!”Reza melepaskan jarum infus yang menancap di punggung tangan Mas Mirza, dia juga menutup seluruh tubuh kakaknya dengan selimut. Aku menarik-narik baju Reza, ingin menghentikannya.“Jangan lakukan itu pada Mas Mirza, dia hanya tidur, Reza. Aku mohon hentikan!” racauku sembari terisak.Tidak berapa lama, dokter Wildan datang dengan dua perawat laki-laki. Mereka mendekati Mas Mirza dan berusaha membawa Mas Mirza.“Jangan, jangan, bawa dia!” Aku ingin menghalangi mereka agar tidak membawa Mas Mirza. Tapi aku tidak bisa karena tubuhku dipegang Reza dari belakang.“Lepaskan aku, Za! Jangan bawa Mas Mirza!” racauku. Kini tubuhku melemah, aku tidak bisa lagi menghalangi mereka.Mereka membawa Mas Mirza semak
Setelah menunggu Reza yang sedang mengurus kepulangan jenazah Mas Mirza, akhirnya semua selesai dan kita bisa pulang dengan membawa Mas Mirza.Mas Mirza dibawa menggunakan ambulans rumah sakit. Sedangkanku, pulang dengan mobilku yang dikendarai Kak Rasyid.Di dalam mobil, Kak Rasyid terus memberikan wejangan padaku agar tidak terus meratap dan harus kuat demi menguatkan Thalita. Apa yang harus aku katakan pada anak itu nanti setelah sampai.Jenazah Mas Mirza dibawa ke rumah Mama. Itu permintaan orang tuanya. Setelah beberapa saat perjalanan, kita sampai di rumah Mama. Ternyata di sana sudah banyak orang yang hendak melayad. Waktu menunjukkan dini hari, tapi tidak menyulutkan keinginan para tetangga dan kerabat untuk melihat jenazah dan mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya.Setelah dimandikan, dikafani dan disalatkan, kini jenazah siap untuk dikebumikan. Sesaat sebelum jenazah dibawa ke tempat pemakaman, Thalita yang dijemput Kak Rasyid datang bersama Niar dan semua penghuni r
SATU TAHUN KEMUDIANBunga mawar bermekaran dengan indah. Warna-warna kelopaknya membuatku ingin menyentuh dan menciumnya. Tapi sayang, tangkainya berduri, membuatku sulit untuk menggapainya.Seperti dia, yang selalu memberi jarak dan membuat tirai pemisah di antara kita. Meski tipis, tapi sangat sulit dihilangkan. Ah, bukan hanya dia, tapi aku juga. Hati yang sulit untuk menerima, bahwa sekarang kita lebih dari saudara.“Bu, Pak Dokter sudah ada di meja makan.” Seseorang memanggil dari belakang. Dia Bi Wati, pembantu di rumahku.Aku menyerahkan selang air yang sedari tadi aku pegang ke tangannya. Menyuruhnya menggantikan aku menyiram semua bunga-bunga kesayanganku.Aku masuk ke dalam ruang makan, ternyata benar, di sana sudah ada pria dengan baju putih andalannya. Dia duduk dengan ponsel yang tidak pernah lepas dari tangannya.“Dari mana? Menyiram bunga lagi?” tanyanya tanpa menatap lawan bicara.“Iya,” jawabku singkat.Kutuangkan nasi ke dalam piring beserta lauknya. Menyimpannya di