Aku melirik Reza yang duduk anteng menungguku mengambil nasi. Bagaimana aku mengatakan padanya kalau nasi yang dia tunggu masih berbentuk bulir beras yang utuh."Sayang, kok lama, kenapa? Susah ngambilnya, ya? Aku bantuin ya?""Jangan!" Aku mengangkat sepuluh jariku mengisyaratkan untuk dia tetap di tempatnya."Kenapa?" tanyanya heran."Emh, anu ... eh, gimana ngomongnya, ya?" Lidahku kelu, rasa malu, takut, kesal, bercampur menjadi satu.Aku berbalik melihat isi dari rice kooker itu. Isinya masih sama, beras mentah. Tidak berubah sama sekali meskipun aku sudah beberapa kali menutup dan membuka tutupnya."Kenapa, Al?" Tanya Reza yang sudah berdiri di belakangku.Dadaku berdetak sangat cepat. Buru-buru aku menutup rice kooker dengan keras."Ti-tidak apa-apa. Emh, gimana kalau kita makan di luar siang ini?" tawarku pada Reza."Aku yang traktir," lanjutku lagi.Reza mengernyitkan kening, dia menggeser tubuhku dan membuka tutup penanak nasi itu. Aku memejamkan mata dengan wajah yang meren
"Hey, kenapa? Jangan karena nasi yang kamu masak tidak matang, kamu jadi berpikir mau bunuh diri. Ngaco kamu.""Aku sedih aja, Za. Aku berharap makan siang ini jadi romantis, malah jadi dramatis," ujarku menatap Reza."Yang dramatis itu kamu. Aku mah enggak, lihat, nih aku malah sangat menikmati makan siang ini. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah melupakan momen istimewa ini. Terima kasih ya, Al. Kamu sudah mempersiapkan semuanya untukku."Aku mengangguk dengan senyum yang dipaksakan.Aku juga tidak akan melupakan momen romantis yang paling memalukan ini. Di mana aku pernah jadi seorang istri yang ceroboh."Sayang, udah, dong jangan diam saja. Aku tidak suka, ya kamu malah diem terus begitu. Katanya ini hari spesial, tapi kamunya cemberut terus. Senyum, dong biar tambah cantik."Aku pun menarik kedua sudut bibirku."Nah, kalau gitu, kan aku jadi tambah cinta. Makan lagi, ya?"Akhirnya kami pun kembali melanjutkan makan siang. Tanpa nasi tentunya, karena berasnya yang enggan berub
Baru sebentar aku merasakan ketenangan dan kebahagiaan, kini aku harus kembali dihadapkan pada berita yang membuat tubuhku terasa lemas.“Za, cepetan bawa mobilnya,” ujarku menggoyangkan lengan kiri Reza.“Tenang, Al. Kalau kita grasa-grusu, nanti kita yang celaka.”Hatiku tidak bisa tenang, apalagi ini tentang Thalita. Putri semata wayangku. Semangat hidupku.“Aku takut, Za. Aku takut Thalita kenapa-napa.”“Berdoa Aletta, bukan hanya menangis saja,” ujar Reza. Aku tahu, dia berkata seperti itu karena dia juga mengkhawatirkan putriku.Perjalanan ke sekolah Thalita, berasa lama meskipun Reza mengendarai mobilnya dengan lumayan cepat.Kita sampai di depan sekolah Thalita, aku dan Reza turun dari mobil. Di sana sudah ada Niar juga Pak Ari. Keduanya menunduk, enggan menatap wajahku. Mungkin takut dan merasa bersalah.“Bagaimana kejadiannya, kenapa bisa seperti ini?” Reza memegang kerah baju Pak Ari. Sedangkan yang ditanya, hanya menunduk lesu.“Jawab!” Reza berteriak emosi.“Za.” Aku meme
Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe
“Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam
“Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki