Share

4. Anak Bos Besar

PESAN WA DARI JANDA SEBELAH

Part 4

"Lu kenapa mangap mulu, Dho? Kesambet lu?" bisik Ridwan pelan.

Dia memang berdiri di sampingku. Jadi leluasa untuk kami gibah bersama. Apalagi, tempat kami berdua yang berada di belakang. Amanlah si Sena nggak lihat. Kalau pun Sena lihat, malu gengsi aku jadi bawahan duda itu.

"Diam lu!" balasku juga berbisik.

Mataku sambil mendelik melihat ke arah Sena yang sedang di sisi bapaknya.

Pria tinggi semampai itu memakai kacamata hitam dengan balutan kemeja yang senada dengan warna celananya. Hitam-hitam semua, udah kayak mau ngelayat aja dia pakaiannya. Nggak style banget.

Desis-desis pegawai wanita tak hentinya berbisik dengan tatapan mengarah pada Sena. Hih, dasar wanita! Lihat yang bening dikit udah nggak bisa berpaling. Gantengan juga gue di sini.

"Selamat pagi semua," sambut Sena setelah melepas kacamata lalu diselipkan di kancing kemejanya.

"Pagi, Pak," jawab kami serentak.

"Perkenalkan, saya Adi Sena. Atasan baru kalian yang akan sepenuhnya mengambil alih pekerjaan Ayah saya. Mohon kerjasamanya ya semua untuk kemajuan perusahaan kita bersama. Terimakasih." Sena lantang berkata. Terakhir, tak lupa ia membubuhkan senyum diakhir kalimatnya. Sama seperti pagi tadi, senyum Sena sungguh memuakkan.

"Oya, terkait kebijakan baru untuk perusahaan ini. Besok akan saya umumkan. Sekarang, silakan kalian bekerja kembali." Sena melenggang ke arah lift. Dan semua pegawai bubar ke tempat masing-masing.

*

Jam makan siang tiba. Kubuka tas kotak bekal yang dibawakan Meisya.

Ada kertas kecil yang menempel di atas kotak tersebut.

[Selamat makan siang, Mas. Aku sengaja bikin tumis tauge lagi. Biar kamu makin subur.] Tulisan dari kertas itu membuatku bergegas membuka kotaknya.

Napas gusar meluncur. Astaga! Tauge lagi tauge lagi. Kusandarkan punggung lemas. Belum makan aja udah eneg duluan.

Subur apaan, makin melungker kayak tauge ini iya. Apa sih maunya Meisya? Kenapa jadi begini?

Ting!

Notifikasi HP-ku berbunyi. Satu pesan di aplikasi hijau menampilkan nama Parman Ojol. Ya, jelas itu pesan dari Marimar yang sengaja kuberi nama samaran. Agar Meisya tidak curiga aku menyimpan kontak nama wanita lain.

[Kita pergi makan siang yuk, Mas. Kebetulan aku lagi santai.] Pesan dari Marimar membuat senyumku mengembang.

Ini yang membuatku kembali semangat.

[Ayo, Cantik. Kita ketemuan di mana?] balasku.

[Di kafe biasanya, Mas. Aku otewe nih.]

[Siap, aku juga otewe.] Gegas kumatikan ponsel dan cepat menyusul Marimar di kafe yang lumayan dekat dari kantor ini.

*

Selesai melahap makanan. Tangan Marimar terangasur padaku.

Ah, dia ini selalu peka. Minta digenggam pasti tangan halusnya.

Cepat kutangkup telapak tangan Marimar sembari mengulum senyum manis.

"Eh, apaan sih, Mas! Pakai meremas tanganku segala? Aku lagi minta duit buat bayar makanannya. Malah kamu kasih tangan. Mana dompet kamu?" sungut Marimar.

Aku baru ingat, aku 'kan nggak bawa banyak uang. Mana cuma ada 20 ribu lagi. Pasti nggak akan cukup buat bayar makanan ini.

"Em … pakai uangmu dulu ya, nanti aku ganti. Sekarang, dompetku lagi disita sama Meisya. Dan parahnya lagi, dia cuma kasih aku uang 20 ribu buat beli bensin. Kejam sekali kan dia!" Aduku, berharap Marimar memaklumi.

"Ya udah, mana uangmu?"

Kurogoh saku kemeja. Dengan berat mengangsurkan selembar uang ini pada Marimar.

"Buat apa ya itu? Kan nanti mau aku beliin bensin pas pulang," protesku.

"Lumayanlah, Mas. Buat bayar makanan kamu sendiri. Meski aku juga yang harus nombokin."

"Lah, kalau uang itu kamu ambil. Aku beli bensinnya gimana?"

"Itu urusan kamu, Mas. Makanya jadi suami jangan takut sama istri. Yang keras dikit Napa?!" Marimar berlalu ke arah kasir.

Kutepuk jidat. Ini pulangnya gimana, ntar? Semoga masih ada bensin dalam tangki motorku.

*

Set!

Motorku tiba-tiba mogok di tengah jalan sepulang kerja. Mana langit gelap banget, pasti bentar lagi hujan.

Setelah kuperiksa. Ternyata aku kehabisan bensin. Arggh! Auto dorong dah ini.

Mau minta bantuan Ridho, ponselku baterainya lowbat. Terpaksa dorong ini kuda besi sampai rumah. Jujur, ini sakit tapi tak berarah.

Mobil hitam mengkilap menepi di depanku.

Sesosok pria berkacamata hitam ke luar dari sana.

Dia lagi, dia lagi, pasti mau nertawain gue.

"Mogok ya Mas, motornya?"

Kurasa … dunia ini begitu sempit. Di manapun selalu ada Sena. Ingin pindah ke planet Mars saja kalau begini.

"Atau, lagi kehabisan bensin?" tanya Sena lagi. Pria itu menatapku entah.

"Em … enggak kok. Emang sengaja aku dorong. Biasa olahraga," jawabku. Tentu aku bohong. Malulah, mengakui kalau kehabisan bensin.

"Oh, ya udah. Kalau gitu saya duluan ya, Mas." Sena berbalik menuju mobil.

Duh, bisa pegal-pegal nanti kalau dorong ini motor sampai rumah.

"Sena …!" panggilku berteriak.

Ia menoleh.

"Ya, Mas. Kenapa?"

"Bisa pinjam uang nggak? Hehe, motor saya kehabisan bensin. Tadinya mau jujur, tapi malu." Kuhela napas, dan dan akhirnya egoku kalah juga.

"Oalah, kenapa nggak jujur aja sih, Mas. Kalau gitu, ini uang buat beli bensin." Sedikit lega aku, ternyata Sena tidak banyak bertanya lebih rinci.

Selembar uang berwarna merah disodorkan padaku.

"Segini kurang nggak, Mas?" cetusnya.

"Nggak kok. Tenang aja, nanti saya balikin." Uang itu sudah pindah ke tanganku.

"Tenang aja, Mas. Nggak usah dibalikin," kata Sena enteng.

Ini yang aku suka. Yang geratis memang lebih membahagiakan.

"Serius ini nggak usah dibalikin?" tanyaku memastikan. Jaga-jagalah, takut kena prank. Lagian, jarang-jarang loh ada situasi begini.

"Iya, Mas. Kita kan tetangga, jadi harus saling tolong menolong. Apalagi, kamu sekarang karyawan aku kan di kantor. Sebagai atasan, harus baik sama bawahan." Sena menepuk pelan pundak kiriku.

Asem! Ternyata dia tahu kalau aku kerja di kantornya. Makin rendah pula posisiku sekarang.

"Kenapa melamun, Mas?"

Aku tersentak. Lantas melihat ke arahnya.

"Nggak pa-pa kok, Bos," cecarku. Dengan embel-embel panggilan Bos di belakangnya.

"Nggak usah panggil Boslah Mas kalau di luar. Kalau gitu saya pulang dulu ya," pamit Sena, ia beringsut pergi lalu hilang di balik pintu mobil.

Uang kertas ini kumasukan ke saku. Lanjut mendorong motor sambil melihat mobil mengkilap Sena melesat jauh.

Kapan aku begitu? Jadi duda yang modis dan berkelimang harta. Tanpa harus pusing mikirin anak istri. Kayaknya, jadi duda lebih enak. Lebih bisa bebas.

*

Aku terkejut, tatkala menemukan orang asing tengah menggendong Arga di teras.

"Kamu siapa? Kenapa anda gedong anak saya?" tanyaku setelah mematikan mesin motor.

"Saya …."

"Dia Yuli, pengasuh baru Arga." Tiba-tiba Meisya nyahut dari ambang pintu.

"Hah! Pengasuh? Kamu mau ngapain Mei, pakai jasa pengasuh segala. Buang-buang duit aja," sungutku. Kali ini aku kesal dengan tingkah Meisya. Dia itu wanita macam apa? Di rumah nggak kerja apa-apa malah pakai asisten segala. Benar-benar boros.

"Mulai besok aku kerja, jadi kamu nggak perlu ngeluh pusing mikirin cari uang buat anak istri," jawab Meisya lantang.

"Mau kerja apa kamu, Mei? Mana ada yang mau nerima Ibu rumah tangga kayak kamu. Palingan ada, tapi ya … cuma buruh kasar." Aku tertawa mengatakan. Pasti Meisya hanya bercanda kalau dia mau kerja.

"Lihat saja besok," ketusnya lalu masuk lagi ke dalam.

*

Hidup ini hampa, sudah dua hari makan hanya apa adanya. Meisya enggan memasak. Bahkan semalam aku minta jatah pun dia beralasan repot sama Arga. Jalan satu-satunya ya ke Marimar, tapi Marimar akhir-akhir ini juga sibuk. Entah kerja apa dia.

Tepat pukul jam 9 pagi. Aku, Ridwan dan yang lain ikut meeting di ruangan khusus.

Meja panjang serta kursi berjajar pun penuh kami duduki. Kecuali, kursi milik Sena. Lelaki itu tadi minta kami berkumpul, tapi malah dia sendiri yang belum hadir.

Derap langkah mendekat.

Sena datang bersama seorang wanita yang mengenakan masker hitam. Wanita itu berkulit putih, tinggi langsing, serta rambut berwarna pirang bergelombang.

Dress maroon selutut sukses berpadu dengan heels tinggi yang ujungnya lancip. Secara keseluruhan, meski tertutup masker saja sudah terlihat aura cantiknya. Bikin penasaran.

"Semua sudah hadir?" tanya Sena pada kami semua.

"Sudah, Pak," jawab asisten Sena.

"Oke, langsung saya mulai saja ya. Perusahaan kita kan sudah lama memproduksi kain yang juga diekspor ke luar negeri. Jadi, untuk itu saya akan mengenalkan brand ambassador baru kita. Yang nantinya akan memakai kain batik dari pabrik kita sendiri. Intinya begini, sekarang kita nggak cuma produksi kain saja. Tapi kita juga akan produksi semua hal yang berkaitan dengan fashion." Sena menjelaskan serius. Lalu menoleh pada wanita di sampingnya. "Silakan kenalkan diri kamu," katanya kemudian.

Detik-detik perempuan tersebut membuka masker.

"Perkenalkan, saya Meisya Anjani."

Aku menganga melihatnya. Nggak, itu nggak mungkin Meisya! Kenapa dia bisa berubah cantik begitu? Dan kenapa juga dia bisa jadi brand ambassador perusahaan ini.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status