"Lepas, Mas! Aku akan buktikan sendiri dan melapor ke polisi agar Maya dan Mama kamu ditangkap," kataku keras.
"Apa kamu bilang, Yu! Seenaknya aja kamu main lapor," sergah Mertua tak terima. "Ya, seharusnya Maya dan Mama ditangkap. Maya yang sudah memfitnah dan sebagai pelaku pencurian serta Mama yang sudah menyeret serta menendang ibuku sampai luka. Rekaman itu cukup untuk memasukkan kalian ke penjara," jeritku menantang mereka. Ketiga manusia zalim itu menciut nyalinya mendengar ancamanku. Mereka yang awalnya angkuh dan zolim terlihat lemas dan tak berdaya. Mereka semua terdiam cukup lama seraya saling memandang satu sama lain tanpa bicara. "Ayu, gini aja! Kita lupakan aja masalah ini. Mama akan maafkan ibumu dan nggak mengusirnya tapi terserah apa ibumu masih mau tinggal di sini atau nggak!" ucap Mertua akhirnya angkat bicara dan melunak. "Iya, Yu! Jangan laporkan Mama ya sayang. Mama sudah tua apa kamu nggak kasihan padanya?" rayu Mas Lucky memegang tanganku. Aku menatap aneh pada Mas Lucky, selama ini tak pernah memanggilku sayang. Akan tetapi, demi merayu agar mamanya tak dipenjara kata manis itu baru keluar dari mulutnya. Aku masih diam saja melihat rayuan mereka padaku. Tiba-tiba, ibu mendekat dan menepuk bahuku. Aku menoleh kearah Ibu dan melihat wajahnya yang tersenyum lembut. "Yu, maafkanlah mereka, Nak! Semua ini salah paham, yang penting mereka sudah mengaku. Jangan marah lagi, lapangkan hatimu insya Allah semua jadi berkah," tutur Ibu menasehati. Air mataku luruh, perasaan bercampur aduk antara marah, benci, kesal juga terharu atas kebaikan ibu. Sudah disiksa ibu masih saja mau memaafkan. "Baiklah, kalo Ibu ikhlas! Ayu akan maafkan mereka. Dan Ayu minta Ibu terus di sini menemani Ayu, boleh 'kan Mama?" tanyaku pada mertua."Boleh, Yu! Mama nggak melarang, oke sekarang Mama mau ke kamar dulu. Capek!" jawabnya beranjak bangun lalu berjalan naik ke atas. Mas Lucky juga pergi ke kamar setelah melirik Maya. Sedangkan Maya menghentakkan kakinya dengan kesal dan pergi dari rumah. Jangan coba bermain-main denganku, pelakor! gumamku kesal menatap kepergian Maya. **Setelah semua orang bubar dan pergi, aku mengambil tas ibu lalu memasukkan baju yang sudah diacak-acak mertuaa tadi ke dalam tas. Kemudian menuntun ibu ke kamar belakang, mengambil obat lalu mengoleskan luka di siku dan tangannya. Terlihat ibu menahan perih akibat obat yang dioleskan. Hatiku begitu terenyuh tak terasa air mata menetes dan tak bisa menahannya. Aku sudah bersalah pada ibu hingga dia harus tersiksa begini karena aku. "Yu, kenapa kamu menangis?" tanya Ibu sambil memegang pipiku. "Maafkan Ayu, Bu! Selama ini Ayu nggak pernah menjenguk Ibu dan juga harus menerima siksaan di sini demi Ayu," ucapku menatapnya sedih. Ibu mengelap air mataku dan tersenyum. "Sudahlah, Yu! Nggak apa-apa, Ibu lebih senang dengan begini bisa lebih dekat kamu." Kembali terisak dan memeluk ibu. Beliau mengelus lembut punggungku. Tubuh kurusnya begitu terasa saat dipeluk, sudah setahun juga aku tidak pernah bersua dengan ibu, itu karena mertua yang melarang pulang atau aku menerima konsekuensinya. Selesai mengolesi obat, kurapikan baju ibu di lemari dan menyimpan tasnya. Di kamar ini ibu tidur sendiri karena di sebelahnya adalah kamar Bi Inem. Ibu tidak masalah di tempatkan di kamar pembantu, lebih nyaman katanya. Keluar dari kamar ibu, aku bergegas menuju ruang kerja. Terlebih dahulu melihat ke lantai atas, kedua pintu dalam keadaan tertutup pasti mertua dan Mas Lucky masih di dalam. Aman, aku masuk ke ruangan yang mirip kantor. Begitu tiba di meja, aku membuka laptop dan menghubungkan ke CCTV. Untung saja rekaman itu belum diambil Mas Lucky. Dengan kemampuan yang tersembunyi, mengotak-atik untuk mengambil data dari laptop lalu kupindahkan ke ponselku. File berpindah cepat dan selesai, aku langsung menghapusnya dari laptop. Bukti rekaman bisa dipakai sewaktu-waktu nanti. Aku tersenyum puas dan saat mataku tertuju pada layar, terlihat Mas Lucky keluar dari kamar mertua dan berjalan turun. Aku harus cepat-cepat keluar dari sini sebelum Mas Lucky curiga. Masih ada jarak sebelum suamiku sampai jadi aku keluar dan menyelinap ke dapur. Pura-pura mengambil minum untuk ibu. Saat berpapasan dengan Mas Lucky, dia menatap tajam lalu pandangannya tertuju ke tanganku yang memegang gelas. "Untuk Ibu!" kataku ketus sambil melengos pergi. Syukurlah, Mas Lucky tidak curiga. Aku membawa gelas air ke kamar ibu dan melihatnya sudah tertidur. Ibu pasti lelah karena tubuhnya sakit akibat ditendang tadi. Aku menghampiri Bi Inem di kamarnya. "Bi Inem, boleh Ayu masuk?" kataku seraya mengetuk pintu. "Masuk aja, Non!" jawab Bi Inem dari dalam. Bi Inem sedang melipat pakaian. Melihatku masuk, Bi Inem berlutut. "Apa yang Bibi lakukan?" kataku kaget lalu menyuruhnya bangun. "Maafkan Bibi, Non! Bibi nggak bisa bantu saat Ibu Non Ayu tadi disakiti Nyonya. Bibi takut dipecat, Non!" sesalnya memohon. "Sudahlah, Bi! Ayu nggak menyalahkan, sebaliknya Ayu ingin minta tolong Bi Inem. Mau kan?" "Apa itu, Non? Asal nggak buat Nyonya marah," cetusnya berharap. "Bi Inem bisa buatkan ibu minuman jamu 'kan, kasihan Ibu pasti tubuhnya luka di dalam," kataku sedih. "Oh, itu gampang! Bibi akan buat, tapi apa nggak sebaiknya dibawa ke dokter aja Non?" tanya Bi Inem heran. "Ibu nggak mau, Bi! Lagian, Ayu nggak ada uang. Bibi taulah selama Ayu tinggal di sini, Ayu nggak pernah pegang uang." "Pakai uang Bibi aja, mau?" tawarnya. "Nggak usah, Bi! Terima kasih, oh ya udah Ayu mau ke kamar dulu. Jangan lupa jamu ibu," pintaku. Bi Inem mengangguk dan mengantar keluar kamar. Bi Inem menuju dapur, sedangkan aku naik ke lantai atas untuk mandi. Selesai mandi, aku duduk menyisir dan memakai bedak. Mas Lucky masuk dengan wajah masam. Aku tak pedulikan dan terus bercermin. Mas Lucky terus menatapku seperti ingin bicara tapi ragu. Membalikkan badan lalu memandangnya tak berkedip. "Ada apa? Kenapa menatap terus?" tanyaku menaikkan alis. "Mas tadi dari ruang kerja memeriksa CCTV, kok nggak ada ya!" jawabnya gugup dan salah tingkah. Aku mendengus dalam hati, pasti kamu mau menghapus rekaman itukan Mas. Untung saja tadi aku cepat memeriksa dan memindahkannya. "Apanya yang nggak ada? Apa Mas mau melihat siapa yang jadi maling sebenarnya? Yakin Mas nggak terkejut nanti atau Mas udah tau sebenarnya?" tanyaku menjebaknya. "Eh, eng-nggak kok! Mungkin memang benar rusak. Ya udah, nggak usah dibahas lagi. Mas mau mandi dulu," katanya sambil masuk ke kamar mandi. Aku tertawa dalam hati, terus sajalah kamu membohongiku Mas. Satu bukti sudah ada di tanganku, tinggal mencari bukti perselingkuhan kalian. Sengaja aku masih menyuruh ibu tinggal di sini untuk memuluskan rencanaku.Suara azan Subuh mengalun merdu, membangunkan tidurku yang lelap. Saat mataku terbuka kulihat Mas Adit masih tertidur di sampingku. Wajah tampannya begitu sempurna, alis tebal dan hidung mancung ditambah kulit yang bersih. Aku mengelus pipi dan mengecup keningnya. "Mas, bangun! Kita sholat Subuh berjamaah yuk!" bisik ku ditelinga suamiku. "Hum, sudah pagi, Yang?" ujarnya bergumam. Tanpa menunggu Mas Adit yang belum bangun, aku masuk ke kamar mandi duluan membersihkan diri sambil keramas. Saat mandi, aku tersenyum mengingat sebagai pengantin baru mulai ijab qobul, resepsi hingga malam pertama semua berseliwaran dimata. Keluar dari kamar mandi, Mas Adit sudah duduk di tepi ranjang dengan mata mengantuk. Aku terkekeh melihat wajahnya yang masih capek. "Mas, sudah sana mandi keburu siang!" ujarku sambil mengelap rambut yang basah. "Yang, sini peluk dong!" ucapnya manja sambil merentangkan tangannya. "Mandi dulu, Mas! Sholat bareng kita, baru deh peluk," jawabku tersenyum sambil mem
Kasus persidangan Mas Lucky pun bergulir. Setelah memberi keterangan di kantor polisi, aku dan Mas Adit hadir di pengadilan sebagai saksi. Turut di temani Ibu dan Om Seno yang ingin melihat langsung jalannya persidangan. Selain kami, datang juga istri pria gembul itu dan juga rekan-rekannya. Menurut kabar pria gembul itu tidak akan diperkarakan. Tapi, orang tua Maya sudah menuntut balik atas perzinahan yang dilakukannya. Malangnya, istri pria gembul itu tidak percaya perbuatan mesum suaminya. Untuk membantu orang tua Maya, aku akan laporkan kepala HRD itu atas kasus korupsi penggelapan uang proyek. Pengacara yang sudah ku sewa juga turut hadir. Selain membantu orang tua Maya, aku ingin meringankan hukuman Mas Lucky. Bagaimanapun dia sudah menyesali perbuatannya dan berjanji akan merubah sikap dan hidupnya. Begitu hakim masuk, semua yang hadir berdiri memberi hormat. Seperti sidang yang sudah-sudah, kali ini prosesnya juga sama. Jaksa penuntut umum membacakan segala rentetan kejadia
POV Author Saat masih dalam kamar mayat itulah, terbuka pintu dari luar. Kemudian terdengar suara keras bersamaan masuk beberapa pria berseragam. "Itu dia orangnya yang sudah membunuh, Pak!" ujar pria gembul itu menunjuk Lucky. Lucky dan kedua orang tua Maya terkejut dengan kedatangan polisi. Beberapa pria berseragam itu segera berlari mendekati Lucky dan menangkapnya, tanpa perlawanan dari pelaku. Tangan Lucky segera diborgol dan dibawa keluar. Ramai para pengunjung rumah sakit berkerumun ingin tau. Komandan polisi lalu bertanya pada orang tua Maya. "Anda siapanya korban?" tanya komandan polisi. "Kami orang tuanya, Pak!" "Berdasarkan saksi mata, kami menangkap pelaku. Jadi, saat interogasi dan sidang nanti kalian wajib datang untuk diminta keterangan!" jelas komandan polisi itu. Setelah menerangkan polisi itu keluar dengan pria gembul itu. Akan tetapi, orang tua Maya segera memanggilnya. "Tunggu!" Komandan polisi dan pria gembul itu berhenti dan menoleh. Bapak Maya maju untu
"Apa kamu bilang?" Mas Lucky akan menaikkan tangannya ke atas, seperti ingin menampar lagi. Tiba-tiba sebuah tangan gembul menghentikan tangan Mas Lucky. "Cukup! Jangan sakiti wanitaku dan anakku!" hardiknya menepis tangan Mas Lucky. Kami semua menoleh ke arah pria itu dan terkejut. Dia kan kepala HRD di perusahaanku, juga pacar gelapnya Maya. Berani benar dia terang-terangan mengaku di hadapan semua orang kalo anak yang dikandung Maya itu anaknya. "Oh, jadi kamu yang sudah menghamili istriku! Dasar tua bangka!" hardik Mas Lucky meninju pria gembul itu hingga tersungkur. Dengan susah payah Maya berdiri dan menghalangi Mas Lucky memukul pacarnya. Namun, Mas Lucky sudah sangat marah hingga saat akan menyerang lagi Maya yang berada di depannya pun terkena pukulan kuat hingga terjatuh. "Aaaawww, aduh!" teriak Maya kesakitan sambil memegang perutnya. Darah merembes keluar mengalir ke kakinya. Kami lagi-lagi terkejut, pria gembul itu segera bangkit dan mendekati Maya. "Aduh, Om! Tolon
"Tante nggak berhak melarang, awas aja kalo sampai Tante menyakiti Bi Inem, Ayu nggak tinggal diam!" ancamku. Tante Ratna tertawa. "Eh, perempuan miskin jangan belagu jadi orang. Mentang-mentang punya pacar kaya berani main ancam. Berkaca dulu, yang kaya itu pacarnya bukan kamu!" ledek Tante Ratna angkuh. Saat aku mau membalas lagi, Mas Adit mencegah. "Sudah, Yang! Kita pulang aja, nggak perlu memamerkan siapa diri kita. Ntar Tante Ratna akan tau juga." Kulihat Tante Ratna hanya mencibir. Mantan mertuaku itu masih dengan sikap sombongnya. Aku ada akal ingin memberinya kejutan, sambil celingukan ke dalam aku bertanya pada Bi Inem. "Bi, Maya kemana kok nggak nampak?" "Anu, Non Ayu! Maya kalo siang gini sering pergi keluar dan nggak mau berdiam di rumah katanya bosan," jawab Bi Inem sambil melirik majikannya yang mendelik. "Eh, Ayu! Untuk apa tanya-tanya Maya? Menantuku itu nggak seperti kamu, yang cuma ndekam di rumah. Maya keluar untuk menghibur diri biar gak bosenan," cetus Tant
Esoknya, pagi-pagi setelah sarapan Lik Slamet dan keluarganya mulai berkemas. Ibu masih menyuruh mereka untuk sarapan sebagai etika tuan rumah. Walaupun dengan perasaan malu, mereka tetap makan untuk mengganjal perut di jalan. Saat Bulik Marni dan Risa di kamar berkemas, Ibu memanggil Lik Slamet. "Slamet, ini Mbak ada sedikit pemberian untuk kamu. Ambil, gunakan untuk buka usaha." "Nggak usah, Mbak! Saya nggak enak menerimanya!" tolak Lik Slamet tidak enakan. "Sudah ambil aja, kalo akangmu masih hidup Mbak yakin pasti akan memberimu. Pemberian ini sebagai rasa syukur Mbak dan Ayu dengan kehidupan sekarang. Ambillah, ingat Ayu masih butuh kamu sebagai wali nikahnya nanti," ujar ibu sambil menyerahkan amplop berisi uang. "Terima kasih banyak, Mbak! Saya akan gunakan uang ini dengan baik," kata Lik Slamet terharu dan menyimpannya di saku baju. "Jangan tau Marni dan Risa, bungkusan yang ini baru beri pada istrimu. Semoga hidup kalian semakin bagus nanti." Lik Slamet mengangguk. "Aam