Share

Rekaman cctv

"Nggak, nggak mungkin. Saya nggak tau kalung itu ada di tas, besan percayalah!"

Ibu tetap pada pendiriannya kalo tidak mencuri kalung mertua. Aku pun percaya ibu tidak mungkin melakukan itu, semiskin dan sesusah apapun beliau tidak pernah berniat mencuri.

"Ayu, itu nggak benar! Kamu percayakan kalo Ibu nggak mungkin melakukan itu," rajuk Ibu meminta pembelaan.

"Ya, Bu! Ayu percaya."

"Ma, Ayu mohon! Ibu memang nggak mencuri kalung. Bukankah Mama sendiri yang melarang Ibu masuk kamar Mama? Ibu juga nggak berani naik ke atas, lalu bagaimana mungkin Ibu tau letak kalung Mama," protesku beralih ke mertua.

Mertua cuma mencibir dan tidak mau menerimanya. Aku tidak tau lagi harus bagaimana meyakinkannya, apalagi bukti itu sungguh jelas. Kalung mertua ada di tas Ibu, tapi siapa yang sudah tega melakukan itu?

"Dasar pencuri! Sana pergi, bawa ibumu yang miskin itu keluar dari rumah ini!" hardik mertua mengacungkan tangannya ke arah pintu rumah.

"Ma, demi Allah! Ibuku nggak ada mencuri kalung Mama," kataku memohon.

Namun, rengekan demi rengekan ibuku tidak digubris. Malah mertua tega menendang ibu hingga tersungkur. Aku memeluk ibu yang meringis kesakitan. Belum puas, mertua juga melempar tas pakaian ibu keluar rumah.

"Cukup, Ma! Jangan sakiti ibuku lagi. Bagaimana mungkin Mama lebih percaya wanita itu daripada menantu Mama sendiri," teriakku emosi sambil menunjuk Maya.

"Alah, nggak usah mengelak kamu! Bukankah sudah terbukti kalung Tante ada di tas ibu kamu," cetus Maya mencibir, pelakor sekaligus dalang di balik keributan ini.

Aku menatap Maya yang berdiri di samping mertua. Dengan senyumnya yang menyeringai, terlihat senang. Aku pun curiga pasti dia yang melakukan ini semua. Namun, aku tidak punya bukti untuk menuduhnya.

Satu yang pasti, yakni saat aku sedang naik tangga tadi untuk menuju kamar, terlihat Maya diam-diam menyelinap ke kamar mertua.

Awalnya aku tak curiga mengira mertua ada di kamar. Makanya, tetap berpikir positif lalu menuju kamarku sendiri membawa pakaian dari jemuran. Namun, kelakuan Maya itu penyebab ibuku kena fitnah. Dia juga yang melapor. Alhasil, mertua marah besar sampai menyakiti ibu.

Dengan amarah meluap, aku berjalan ke arah Maya lalu menampar pipinya.

Plak!!

"Kamu yang sudah memfitnah ibuku, apa kamu pikir aku nggak lihat kalo kamu yang sudah masuk ke kamar Mama, hah!" teriakku lantang.

"Ayu, apa-apaan kamu hah?" pekik mertua kaget. 

Semua orang di ruangan itu kaget melihatku menampar Maya. Mertua menghampiri Maya yang berakting dengan menangis memegang pipinya.  

"Sakit, Maya?" tanya Mertua sambil mengelus pipinya. 

Maya mengangguk dan ekspresi wajahnya dibuat sesedih mungkin. Huh, dasar pelakor masih saja bisa bersandiwara. Sepertinya tamparan dariku belum cukup untuk membuatnya jera. 

"Ada apa ini?" tanya Mas Lucky tiba-tiba sudah berdiri bergabung. 

"Ini, istrimu menampar Maya yang nggak tau apa-apa. Padahal ibunya sendiri yang mencuri kalung Mama dan itu sudah terbukti kalung Mama ada di tas ibunya Ayu," lapor Mertua sambil marah. 

"Benar itu?" tanya Mas Lucky ketus. 

"Mas, itu nggak benar. Ibu nggak mencuri tepatnya nggak mungkin mencuri," jawabku sambil memeluk ibu. 

"Itu benar, Mas! Buktinya aku dan Tante melihat sendiri kalung itu ada di tas ibunya Ayu," timpal Maya nyengir, Mertua juga ikut mengangguk membenarkan. 

Mas Lucky menatapku dan ibu dengan tajam. Aku tak mungkin mendapat pembelaan darinya. Mas Lucky selalu percaya pada mertua, selain itu juga tidak menyukai ibuku. 

"Jadi ini kelakuan ibumu, Yu! Kemarin kamu masih marah kalo Mas nggak mengajak ibu ngobrol tapi kenyataannya malah mencuri. Buat malu aja kamu!" hardik Mas Lucky. 

"Mas, udah aku katakan ibu nggak mencuri karena saat itu lagi di belakang rumah dengan Bi Inem. Malah aku lihat Maya-lah yang masuk ke kamar Mama. Maya!" Aku berteriak keras karena sangat marah. 

Mertua melotot demi mendengar suaraku yang keras. Masa' bodoh dengan mereka, hatiku sudah sangat kesal. Tidak ada satupun dari mereka yang membela apalagi percaya padaku dan ibu. 

"Ayu! Nggak usah kamu teriak-teriak di rumah ini, mana buktinya kalo Maya yang mengambil kalung Mama?" protes Mertua sambil berkacak pinggang. 

"Oh, ternyata kalian semua bodoh! Walaupun kalian nggak percaya apa yang aku tuduh, lihat bukankah di atas sana ada CCTV. Kalian bisa memeriksanya sendiri." 

Aku menunjuk ke arah CCTV dan mereka semua mengikuti tanganku. Mertua dan Mas Lucky terlihat seperti orang yang minim ilmu. Ya di rumah yang besar ini mertua memang menyuruh orang memasang CCTV. 

Dulu saat aku baru menikah, melihatku yang miskin mertua tidak percaya. Selalu memantau gerak gerik diriku, sampai memasang CCTV. Namun, aku selalu berbuat yang wajar karena aku tau bagaimana bersikap di rumah besar ini. 

Bila ada yang bertanya kenapa mertua tidak mengenali ibuku. Karena saat menikah dulu mertua tidak mau hadir. Pernikahan kami sendiri diadakan secara sederhana di rumahku jadi mertua malu untuk datang. 

Mas Lucky sendiri yang merayu mamanya agar mengizinkan aku tinggal di rumah mereka. Sengaja Mas Lucky tidak membeli rumah karena mertua tidak mengizinkan suamiku jauh darinya. Mama mertua kesepian tinggal sendiri sebab Papa mertua sudah berpulang ke Rahmatullah. 

Hari demi hari saat melewati hidup bersama, awal yang penuh kesukaran hingga jalan dua tahun mertua sedikit demi sedikit mulai menerima kehadiranku. Tapi, bukan berarti dia memberi kebebasan, bila aku dan Mas Lucky ada masalah beliau pasti ikut campur hingga kami jadi bertengkar. 

Seketika aku sadar dari lamunan, melihat wajah Maya yang berubah pucat. Ya aku tau rekaman CCTV itu pasti bisa membuktikan siapa pelaku sebenarnya. Aku menyungging senyum kemenangan saat Maya melirikku. 

Kamu tidak bisa lari, Maya. Sebentar lagi, kamu pasti akan malu akibat perbuatan tanganmu sendiri, batinku menyeringai. 

Mas Lucky lalu berjalan ke ruang kerja tempat memeriksa rekaman CCTV. Sebelum melangkah jauh, Maya berlari ke arah Mas Lucky dan mencekal tangannya. Mereka terlihat berbicara pelan sambil melirikku. 

Entah apa yang mereka bicarakan hingga Mas Lucky berbalik dan kembali ke tempat semula. Mertua masih tetap tak bergerak dan terus memperhatikan kami. Saat Maya mengejar Mas Lucky pun diam saja membiarkan. 

"Ayu, CCTV itu nggak hidup karena Mama bilang sudah rusak. Iya nggak, Ma?" tanya Mas Lucky menodong Mamanya. 

"Eh, iya, iya. CCTV itu sebenarnya sudah nggak berfungsi seminggu ini," jawab Mertua gelagapan. 

Aku mengerinyitkan dahi heran. Melihat sikap mertua yang gugup aku tau pasti beliau berbohong. Tatapanku beralih pada Mas Lucky yang terlihat santai dan Maya yang menyunggingkan senyum. 

Sebenarnya apa yang terjadi? Mereka masih berpura-pura terus, aku tidak bisa tinggal diam. Aku yang akan memeriksa sendiri CCTV itu. 

"Kalian bohong, kan? CCTV itu nggak mungkin mati, lihat lampu kecil dibawanya itu pertanda kamera aktif. Apa kalian masih mau bersandiwara, baiklah aku sendiri yang akan memeriksanya," kataku sambil berjalan menuju ruang kerja. 

Langkahku berhenti kala dicegat Mas Lucky. Aku tetap menerobos tapi Mas Lucky menangkap tanganku dan memegangnya kuat. Terpaksa aku tidak bisa melanjutkan berjalan. 

"Lepas, Mas! Aku akan buktikan sendiri dan melapor ke polisi agar Maya dan Mama kamu ditangkap," kataku keras. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status