"Eh, ada Mba Tia! Udah lama Mba?" tanyaku basa basi, karena pasti dia malas ngomong denganku.
Yang ditanya hanya diam sambil menaikan alisnya, tanda 'iya, sudah lama disini', Ya Allah, sabar!"Dek, udah sampe ya?" Bang Rafi yang malah gelagapan."Iya, aku dari tadi Bang, sampenya," biar pada penasaran kalau pembicaraan mereka tadi ngerasa jangan-jangan sudah terdengar olehku."Eh, mmm ... Fiza, itu kamu bawa apa!" tiba-tiba Mba Tia bersuara dengan raut jutek, tumben, pikirku."Oh, ini makan malam Mba. Tadi Bang Rafi sudah memesan sebelumnya. Mba Tia sudah makan?" tanyaku lagi-lagi basa-basi padanya."Yaudah, Dek. Siapin makan ya, buat Mba Tia sama kamu aja yang makan. Mas nanti aja," dengan cepat Bang Rafi mengutarakan lebih dulu, khawatir aku ngomong macam-macam depan kakaknya itu.Aku yang tahu bahwa memang sudah menjadi sifat Bang Rafi selalu mendahulukan saudaranya ketimbang diri sendiri. Akhirnya ku siapkan dua piring makan.Satu jelas untuk Bang Rafi, karena dia dari tadi sudah kelaparan. Dan satunya jelas bukan untukku. Biar mereka berdua saja yang makan, batinku.Aku bersiap menghidangkan makanan ini ke meja, lalu tiba-tiba Mba Tia malah nyeletuk."Harusnya kamu itu nanti makannya! Biar Rafi dulu yang makan. Gak kesian apa suami gak dikasih makan? Sementara kamu menghidangkan hanya untuk kamu saja!" Aku sedikit mencelos dihati rasanya, bisa-bisanya Mba Tia berkata begitu. Seolah-olah menjadi orang paling tahu disituasi ini."Owalah ... Mba Tia kayak gak tau aja sih? Orang memang cuma dua bungkus makanannya! Ya kalau Fiza tau dari tadi Mba mau datang kesini, pasti Fiza pesankan tiga porsi dong ..." sahutku dengan senyum penuh arti dihadapan muka Mba Tia langsung.Mba Tia langsung mencebik, lalu memalingkan pandangannya dariku. Terserah saja, kata ku dalam hati."Ini satu buat Abang. Ayo Bang, dimakan dulu," ujarku lagi."Nah, gitu dong Fiza! Sini yang satunya! Kamu entaran aja makannya!" sahut Mba Tia sambil hendak merebut piring yang satunya."Eits!" elak ku dengan sengaja, lalu ku sodorkan kembali ke Mba Tia. Terlihat sekali dia kesal dengan ulahku barusan."Nah, yang ini kan awalnya punya Fiza ya Mba ... tapi kayaknya Mba Tia udah kayak orang kelaperan seharian gak dikasih makan? Ini ambil buat Mba aja deh, kesian ..." kataku lagi pura-pura peduli.Dasar tamu tak tahu diri bukannya jenguk kesini bawa buah tangan, ini malah minta makan!Sudahlah, ikhlas. Yang penting sudah tahu motifnya kesini.Tanpa rasa malu, Mba Tia mengambil makanan jatahku itu.Tak apalah Fiza, sesekali ini. Eh, bukan sesekali, tapi sering kali kejadian seperti ini. Terpaksa aku menahan lapar dulu sementara.Ku perhatikan mereka berdua yang asik makan dengan lahapnya. Bahkan Mba Tia sesekali mengambil poto selfi saat lagi makan. Kuambil juga beberapa poto nya saat lagi makan dengan lapar dan lahap. Hihihi, ini pasti lucu nantinya!Setelah selesai memesan makanan via ojek online, karena aku sudah malas untuk keluar lagi, aku kembali fokus pada Putra yang terbangun minta minum.Sementara Bang Rafi dan Mba Tia sibuk melanjutkan pembicaraan mereka dengan suara yang pelan. Tapi telingaku masih bisa menangkap apa yang mereka bicarakan."Gimana, Raf? Besok harus sudah ada lho! Coba nanti kamu usahakan, ambil kartu ATM mu di Fiza," "Iya ..." Bang Rafi tampak pasrah dengan keinginan kakaknya itu.Bang Rafi berdiri dan memberanikan diri bertanya kearahku. Tapi langsung dicegah Mba Tia."Nanti Rafi! Nanti! Jangan tanya ke Fiza nya didepan kakak!" bisiknya sedikit kesal.Aku masih pura-pura tak melihat kelakuan mereka. Namun sudut ekor mataku tetap melihat aksi tarik menarik tangan Mba Tia pada Bang Rafi."Oh! Iāiya!" makin terlihat bingung Bang Rafi dengan kelakuan kakaknya."Fiza ... Mba pamit! Semoga lekas sehat ya anakmu!" "Aamiin, makasih Mba!" jawabku sekenanya.Padahal tadi berharap tantenya Putra ini menghampiri Putra walau hanya sedetik melihat kearahnya. Ternyata tidak, sekedar nyebut nama Putra saja dia enggan.Ah sudahlah Fiza, jangan lebay apalagi baper! Berpikir positif saja! Batinku bergemuruh.Mba Tia langsung berjalan menuju pintu keluar dan diikuti oleh Bang Rafi yang ikut mengantarnya.Tiba-tiba driver ojek online makanan yang kupesan juga sudah tiba depan pintu kamar ini."Ruang VIP anggrek tiga, dengan Ibu Fiza?" kata sang Driver."Benar, saya suaminya." Ujar Bang Rafi."Saya mau mengantar makanan pesanan Bu Fiza ya Pak. Ini mohon diterima," driver ojek online itu menyodorkan satu bungkus makanan pesanku.Aku mengekor menuju pintu kamar."Fiza apa-apaan sih! Tadi Mba dikasih nasi bungkus, dia malah pesan makanan enak!" celetuk Mba Tia."Sini Raf, buat Mba aja! Kamu pesankan lagi buat dia nanti!" Mba Tia merebut pesanan ku dari tangan Bang Rafi."Eh, ada bapak Driver online! Mana Pak pesanan saya?" Sengaja ku tekankan kalimat itu."Sudah sama ibu ini, Bu," katanya."Lho, kok bisa?""Sudah Dek, nanti pesan lagi ya?" lagi-lagi Bang Rafi membela kakaknya itu."Yasudah Pak, saya ga terima ya pesanannya! Langsung ke ibu itu aja," lanjutku."Ini Bu, tagihannya!" si Driver memberikan nota pembayaran pada Mba Tia."Lho, kok saya yang bayar? Kan dia yang pesan Pak!" Mba Tia kaget karena harus mengeluarkan uang."Tapi kan Ibu nya yang ngambil makanannya?" Driver nya ternyata polos.Aku terkekeh dalam hati."Ini uangnya, Pak." Bang Rafi menyodorkan uang selembar dua puluh ribuan."Kurang, pak. Maaf," sanggah si Driver."Kurang? kan itu tulisannya lima belas ribu tujuh ratus," sahut Bang Rafi."Ini Pak. Seratus lima puluh tujuh ribu," si Driver memperlihatkan aplikasi total pesananku pada Bang Rafi "Kamu gimana sih Raf! Ini makanan enak kok cuma lima belas ribu! Ini Mba tambahin sepuluh ribu, cepet bayar sana, Mba mo pulang!" Mba Tia akhirnya pulang tanpa pamit lagi pada adiknya yang masih merogoh kantong mencari uang."Dek, pinjem uangnya dulu ya, besok tak ganti! Abang belum sempet ambil ke ATM tadi," ujar Bang Rafi."Ini uangnya!" dengan kesal kukasih juga uang senilai yang tertera dan telah kuoersiapkan dari tadi pada Bang Rafi."Makasih Bu Fiza, saya pamit," ujar driver langsung berjalan meninggalkan ruangan ini."Terus adek makan apa, Bang? Makan angin?" "Pesen lagi aja ya?" sahut Bang Rafi dengan entengnya.Aku yang sudah malas rasanya berdebat dengan Bang Rafi soal kelakuan saudara-saudaranya itu. Lebih memilih memesan kembali makan malam yang tertunda untuk kedua kalinya."Yah, abis nih menu nya!" gerutu ku saat melihat layar pada gawaiku."Emang pesan apa sih dek, ampe mahal begitu?""Aku kan lagi nerapin pola hidup sehat, Bang. Ya wajarlah agak mahal dikit," "Pesan apa?" tanya nya lagi."Tanya aja sama Mba Tia, semoga dia suka!" jawabku.Malam ini akhirnya aku hanya makan buah naga dan anggur, pengganti salad tadi yang diembat Mba Tia. Kopi yang ku beli tadi langsung kusuguhkan pula pada Bang Rafi. Tak lama, gawai Bang Rafi berdering."Dek, Mba Tia telpon nih," kata Bang Rafi."Yaudah angkat Bang. Loud speaker sekalian, mana tau mau ucapin makasih udah dikasih makan malam kedua punyaku!" kataku dengan sedikit kesal, tapi penasaran."Halo, Mba Tia," Bang Rafi benar-benar me-loud speaker panggilan kakaknya itu."Besok kembaliin uang sepuluh ribu yang tadi! Apa-apaan si Fiza pesan makan beginian! Ga enak! Nyesel udah kasih sepuluh ribu tadi!""Emang isinya apaan, Mba?!" Bang Rafi masih penasaran."Salad sayuran pake minyak gada rasa gitu! Hiihh!"Tut! Tut!Sambungan diputus oleh Mba Tia."Hahahaha! Maka nya Bang, bilang sama kakaknya, jangan asal ambil makanan orang!" Ledek ku."Ya ampun dek, Dek ..." Bang Rafi malah narik napas lalu geleng-geleng kepala di hadapanku. "Lha? kenapa Bang?!" tanyaku heran."Kan bisa dibilang dari awal kalo itu adalah salad sayuran, jadi Mba Tia gak bakal mau. Dan kamu bisa makan malam," ujarnya dengan begitu enteng."What? Maaf ya Bang, adek selama hidup gak pernah diajarin ngambil barang tanpa izin. Yang main ambil tadi siapa? Yang bilang ambil aja nanti Fiza pesen lagi, siapa? Kok jadi nyalahin menunya sih. Apa sekalian Abang mau nyalahin Adek juga, karena menu itu gak sesuai harapan Mba Tia?"Ku tinggalkan dia yang terlihat baru menyadari perkataan ku barusan. Aku kesal bukan main rasanya pada Bang Rafi. "Abang gak nyalahin kamu, Dek. Gak sama sekali kok! Yaudah, abang yang minta maaf ya ..." ujarnya merasa bersalah.Aku hanya mengangguk sekali, karena masih kesal. Lalu kubuka aplikasi hijauku pada gawai, untuk meredam rasa kesal ini. Mataku tertuju pada satu status.'Jagain keponakan yang sakit ampe kelaparan! Ibunya gak tau kemana, lama amat!'Status Mba Tia lengkap dengan poto selfi nya sedang makan dengan background Putra yang terbaring.'Sesekali makan ini gak papa lah, enak juga walau mahal!' Status Mba Tia selanjutnya dengan poto Salad Sayuran yang dia bilang tak suka tadi.Langsung ku sodorkan gawaiku pada Bang Rafi agar membaca dan melihat langsung status kakaknya itu!Bang Rafi kaget, dan terlihat marah serta agak malu padaku setelah membacanya.Terkadang bukti-bukti kecil yang ada harus segera dibeberkan pada Bang Rafi agar pikirannya terbuka lebar."Dek ..."Bersambung ...āļøāļøāļøāļøāļøāļøPesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. āApa benar itu dia ā¦?āāJika benar itu adalah dia, aku ⦠aku ā¦āAku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia
TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas
TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah CanakenāMau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!ā aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.āHei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...ā jawabnya enteng.āHalo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?ā Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.āYa, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,ā ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! āHahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?ā Fandy meng
TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah CanakenāPapa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,ā lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. āApa itu, Sil?ā jawabku penasaran.āMaukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,ā suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.āApa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!ā kataku lagi.āOke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!ā Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s