Saat keluar dari ruang belajar, Pits sudah menunggu Laras di depan pintu.
"Pits?" Laras heran dan bingung melihat Pits."Kita pulang bareng." Pits segera meraih tangan Laras dan menggandengnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dia juga tidak peduli dengan setiap mata yang melihat."Pits, jangan lepaskan!" Laras berusaha menepis tangan Pits, tetapi pria itu malah semakin erat menggenggamnya dan membaawanya berjalan.Pits juga meminta Laras segera naik ke atas motornya."Begini!" Pits menuntut tangan Laras melingkari pinggangnya.Laras memeluk erat pinggang pria di depannya, sebenarnya dia tidak ingin melakukan itu tapi Pits memaksanya. Laras merasa canggung, selama ini dia tidak dekat dengan pria itu. Pits melajukan motornya dengan santai, pria itu ingin menikmati kebersamaannya dengan Laras."Bagaimana kalau kita makan dulu?" ucap Pits dari motornya."Terserah kamu," ucap Laras pasrah.Pits menghentikan motornya di depan rumah makan sederhanaHubungan antara Laras dan Pits semakin dekat, hal itu membuat Bram merasa gundah. Pria itu menjadi urung-uringan setiap hari, baik di kantor maupun di rumah. Tidak jarang Laras pun terkena imbasnya. Seperti pagi ini, Laras sudah menyiapkan sarapan dan membereskan rumah. Gadis itu sudah bersiap untuk berangkat kuliah. Saat melintasi Bram, Laras enggan untuk menyapanya karena beberapa hari ini Bram selalu cuek padanya. "Aku akan mengantarmu," ucap Bram tiba-tiba. "Tapi aku sudah dijemput Pits, Kak." "Tidak ada bantahan!" Bram menarik tangan Laras dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sebelum masuk, Bram melihat ke arah Pits dengan wajah marah. Pits membalas pandangan mata Bram dengan tajam pula. Bram berjalan menghampiri pria dengan kuda besinya. "Mulai sekarang aku yang akan antar jemput Laras. Terima kasih selama ini kamu sudah menjaganya," ucap Bram penuh penekanan. "Jangan memaksakan kehendak Anda, Tuan! Laras tidak menyukaimu, dia lebih
Seperti biasa pagi ini Laras bersiap untuk ke kampus. dia berjalan ke luar kamarnya. Saat dia berjalan hendak keluar rumah, Bram sudah mengikutinya dari belakang dan langsung memeluk pinggang rampingnya. Laras seketika terkejut dan berbalik memukulnya dengan buku yang dia bawa. "Dasar kurang ajar!" ucap Laras sambil memukul keras. "Ampun!" teriak Bram sambil melindungi kepalanya dengan tangan. "Kak Bram?" Laras berhenti memukul. Laras kesal dan kaget karena Bram tiba-tiba memeluknya. "Kamu galak banget." Bram mengusap bagian tubuhnya yang menjadi sasaran empuk pukulan Laras. "Lagian Kakak main peluk saja. Aku kaget Kak." Laras tersipu malu. "Maaf. Berarti aku berhasil donk sudah membuat kejutan untukmu." Bram masih saja menggoda Laras dengan kedipan matanya yang genit. "Apaan sih, Kakak ini?" ucap Laras malu. Pipinya serta merta langsung merona membuat Bram semakin gemas dan mencubitnya. "Sakit, Kak." Laras menepis tangan Bram
Bagai singa kelaparan Pits terus bergumul mencoba menguasai tubuh Laras. Gadis itu semakin kehilangan tenaga. Bukk! Tubuh Pits terjungkal di atas lantai kasar. Amarah dan tatapan tajam Bram seolah ingin melahap habis pria yang sudah berani menyentuh Laras. Suara deru napasnya memburu. "Sialan!" maki Pits memegang kepalanya yang sakit setelah tersadar apa yang telah memukulnya.Pits berdiri menguatkan kakinya. Matanya merah marah karena Bram sudah menghentikan gairah napsu bejatnya. "Berani kamu menyentuhnya!" Bram sangat marah. Pits menyeringai sadis. "Ternyata sang pangeran datang juga. Halo Kakak ipar, akhirnya kamu datang juga," ucap Pits sambil tertawa lepas. "Dasar manusia rusak!" Bram semakin marah mendengar sapaan Pits.Tanpa banyak bicara Pits maju menyerang Bram dengan membabi-buta. Bram yang memang pernah pelatihan karate dengan mudah dapat melumpuhkan Pits. Pria itu berhasil dibekuk. Polisi yang sebelumnya sudah dihubungi oleh Br
Rere membayar orang untuk mencelakai Laras adik tirinya. Dia berharap bisa menghilangkan Laras dan membuatnya jera. Entah dendam apa yang membuat Rere tega melakukan itu, tapi yang jelas wanita itu sakit hati karna Bram lebih memilih adik tirinya sebagai penggantinya. Awalnya Rere menerima kesalahannya yang menyebabkan dirinya dan Bram bercerai. Rere tidak akan mencampuri kehidupan Bram, seandainya bukan Laras yang menjadi kekasih Bram. Kini ceritanya berbeda saat dia mendengar bahwa Laras yang akan menggantikan posisinya. Dengan rencana yang dia pikir sudah matang, orang-orang bayaran Laras mulai bergerak. Beberapa hari sebelum aksinya dijalankan, beberapa orang telah mengikuti Laras dan memperhatikan kebiasaannya. Mereka mengalami kesulitan karna Bram selalu mengantar dan menjemputya di waktu kuliah. Bahkan Bram tidak membiarkan Laras keluar rumah sendiri. Belajar dari pengalaman yang pernah terjadi, Bram semakin ketat menjaga Laras. Sebenarnya gadis itu tidak mau diperlakukan sep
Suasana kampus sudah sepi, para mahasiswa satu persatu meninggalkan kampus. Bahkan jam kuliah sore pun nampak lengang. Seorang gadis masih setia berdiri menanti jemputan. Sesekali matanya melihat ke arah arloji di tangannya.Gadis itu nampak sangat gelisah, seolah sedang menunggu seseorang. Tangan gadis itu menenteng beberapa buku yang bisa dibilang lumayan banyak.Dengan sedikit kesulitan, gadis itu mencoba mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Butuh kerja ekstra rupanya untuk mendapatkan benda yang kini nagkring di tangannya.Dengan cepat, dia menekan nomor pada ponselnya dan mendekatkan ponselnya pada telinga sebelah kanan. Sekali lagi dia menekan nomor yang sama, tidak ada jawaban."Tumben banget sih kak Bram telat jemputnya, mana ga diangkat juga teleponnya," ucap gadis itu dengan wajah mulai kesal.Untuk beberapa saat gadis itu masih setia menunggu. Hingga jarum jam menunjuk pada angka enam sore."Apa aku pulang sendiri saja ya? Iyalah aku pulang sendiri saja, lebih baik aku pesa
Sudah tiga hari Laras menantikan Bram untuk tersadar. Gadis polos itu selalu bergantian dengan mamanya Bram menunggu pria itu di Rumah Sakit. Kesedihan selalu nampak pada wajah cantik Laras.Setiap kali jam besuk, Laras selalu mengajak Bram berbicara. Gadis itu berharap dengan berbicara dengannya maka akan membantu mempercepat proses bangunnya Bram.Tidak ada kata putus asa dalam hati gadis cantik itu dalam menemani dan menanti Bram untuk sadar. Bahkan gadis itu rela tidur di kursi tunggu Rumah Sakit.Soya, mamanya Bram selalu menyuruhnya untuk beristirahat dan fokus pada kuliahnya, tapi Laras selalu menolak. Dia tetap berkeras kepala untuk menggantikan wanita setengah baya itu untuk menunggu Bram."Laras," panggil seorang wanita dari arah belakang."Kak Rere," ucapnya terkejut saat melihat kakak tirinya berdiri di belakangnya."Bagaimana keadaan Bram?""Kak Bram masih belum sadar, Kak. Dia masih menggunakan mesin untuk membantunya bernapas," ucapnya sedi
Sudah satu bulan lebih penantian Laras dan keluarga menunggu Bram untuk bangun. Jadi sudah satu bulan pria tampan itu tidak sadarkan diri dan terbaring lemah di ruang ICU sumah sakit. Tidak adanya perkembangan pada kesehatan lelaki itu membuat keluarga semakin putus asa dan pasrah.Hari itu hanya Laras yang selalu menemani tubuh pria yang terkulai tak berdaya, sedangkan keluarganya sedang mengurus perusahaan yang ditinggalkan oleh Bram selama pria itu tidak sadarkan diri.Sore hari, keluarga Bram menemui dokter yang merawat putranya. Mereka melakukan diskusi tentang kondisi putranya yang sampai saat ini tidak ada perkembangan sama sekali."Maaf, Tuan dan Nyonya, sepertinya keadaan putra Anda sudah tidak ada harapan lagi. Sampai sekarang pasien tidak juga menunjukkan perkembangan. Hal ini bisa menjadi pertimbangan untuk keluarga, apakah akan tetap membiarkan pasien seperti ini terus menerus atau akan melepas semua alat yang ada pada tubuhnya," ucap dokter berusaha menjela
Para tim medis sedang sibuk membereskan alat-alat yang ada pada Bram. Sedangkan dokter memberi penjelasan pada keluarga tentang kematian pasien.Tanpa menunggu dokter selesai menjelaskan, Laras langsung berlari memeluk tubuh Bram yang masih terpasang alat monitor."Kak, jangan tinggalin Laras sendiri," ucap gadis itu sembari menangis memeluknya erat."Kamu jahat, Kak!"Gadis itu terus menangis dan memanggil nama Bram. Soya dan suaminya mendekati gadis itu. Wanita itu pun turut menangis dan memeluk tubuh putranya yang terbujur lemah."Nak, ikhlaskan Bram," ucap Grey, papanya Bram."Laras belum bisa ikhlas, Om. Laras mencintai kak Bram.""Aku tau, Nak, tapi kita harus mengikhlaskannya. Biarkan Bram pergi dengan tenang.""Pa, Bram anak kita satu-satunya," ucap Soya dalam tangisnya."Ma, sabar.""Aku tidak akan mengampuni orang yang sudah membuat putraku celaka. Aku akan menghukumnya, kalau perlu dia juga harus mati," ucap Grey penuh dendam."