Share

Helm

Babang ojol berlari mendekatiku. Dag dig dug jantungku berdegup kencang saat melihatnya, dia terlihat begitu manis setelah membuka helmnya. Duh, bisa diabetes ini, Mas.

“Ada apa, Mas? Aku ‘kan udah bayar!”

Lagi, dia tersenyum kepadaku. Ya Allah, meleleh hati ini. Dia mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Apakah dia mau kenalan? Tahan senyum, Syifa! Jangan bertingkah bodoh.

“Helmnya, Neng,” ucapnya sambil tersenyum.

Sial, pipiku sudah semerah kepiting rebus. Rasanya aku ingin mengubur diriku hidup-hidup.

“Maaf, Mas. Kelupaan.” Aku segera melepas helm dan mengembalikan kepadanya.

“Meskipun jelek begini, harganya mahal, Neng. Lebih mahal daripada gaji saya sehari.”

Aku melihat helm hitam dengan kaca bening itu. Di belakangnya ada tulisan ‘H*nda' yang sudah sangat familiar. Dasar babang ojol tukang bohong, helm gratisan aja bilangnya mahal. Dikiranya aku bohoh? Heh!

“Iya-iya, maaf, Mas. Saya ‘kan udah bilang kalau lupa. Saya buru-buru, dosennya galak banget!” Tanpa menghiraukan ucapannya, aku berbalik dan berlari karena harus segera sampai kelas.

“Neng, tunggu!”

“Ada apa lagi, Mas?”

Dia tersenyum lagi, please kuatkan hatimu, Syifa.

“Lipstiknya sampai jidat," ucapnya sambil menyentuh jidatnya.

“Apa?”

Aku segera membuka tas dan mengambil ponsel lalu menghidupkan kamera untuk melihat wajahku. Namun, jam di ponsel menyadarkanku akan hal yang lebih penting. Kumasukkan kembali ponselku. Aku sudah membayar dan mengembalikan helmnya. Yang terpenting aku harus segera sampai di kelas sebelum jam delapan.

Aku berlari secepat kilat meninggalkan babang ojol dan mengabaikan beberapa pasang mata yang menatapku heran. Mungkin mereka terpana melihat wanita cantik lari terbirit-birit seperti dikejar induk ayam. Apa jangan-jangan lipstikku memang sampai jidat?

Aku berhenti sejenak kemudian mengambil napas dalam-dalam. Aku baru ingat, aku ‘kan nggak pernah memakai make up? Aku menepuk jidat seketika. Dasar babang ojol sialan! Awas saja kalau sampai ketemu dia lagi.

Sesampainya di depan kelas, aku memelankan langkah. Keadaan sangat sepi dan sunyi. Aku berjalan menunduk agar tidak terlihat dari jendela. Mengapa tidak ada suara sama sekali? Apa jangan-jangan mereka dihukum Bu Endang?

Ya Allah selamatkan hambamu ini. Semoga aku selamat dari amukan Bu Endang. Aku merapalkan berbagai doa sebelum masuk kelas, berharap diperbolehkan masuk. Aku mulai melafalkan doa mau makan sampai doa sapu jagat.

“Robbana aatina fid dunya hasanah, wafil aakhiroti hasanah, waqina adzabannar. Aamiiin.” Kutangkupkan kedua tangan ke wajah.

Kuketuk pintu pelan, tetapi hening dan tidak ada jawaban sama sekali. Masuk tidak, masuk tidak? Aku mulai menghitung kancing kemejaku yang entah berapa jumlahnya. Aku semakin bingung, masuk nggak, ya?

Bismillah, aku harus masuk. Kuputar gagang pintu ke arah kanan. Kulihat meja dosen masih kosong. Huft, aku bernapas lega. Namun, baru selangkah masuk, aku dikejutkan dengan suara terompet dan balon meletus.

“Happy birthday, Syifa!” Ya Allah, aku kena prank! Bagaimana aku bisa lupa dengan hari ulang tahunku?

Teman-teman menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil membawa kue. Brownis kecil dengan lilin berbentuk angka 19 menghiasi di atasnya. Aku terharu hingga menitikkan air mata, ingusku pun juga ikut keluar.

“Ini tisunya, Fa. Sudah aku siapkan.” Mizka memberikan sekotak tisu kepadaku.

“Tiup lilinnya, tiup lilinnya. Tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang juga, sekarang juga.” Semua temanku ikut menyanyikan lagu kebangsaan ketika ulang tahun.

“Make a wish dulu, Fa,” ucap Nabil.

Aku segera menyampaikan semua harapanku di usiaku yang ke-19 ini. “Semoga Allah menunjukkan jalan yang lurus kepada kita semua, aamiiin.”

Aku merasa selama ini hidupku terlalu jauh dari jalan-Nya. Berpakaian seperti lelaki, barbar, dan galak. Bertindak semauku dan tidak memedulikan orang lain. Aku ingin kembali ke jalan yang lurus.

Setelahnya teman-teman ikut mengamini doaku. Aku meniup lilin hingga apinya padam. Mereka bersorak bergembira kemudian menumpahkan kuenya tepat di wajahku. Mereka juga melemparkan tepung dan telur ke tubuhku. Aku hendak berlari, tetapi dua teman memegangi tanganku. Aku sudah tidak bisa mengelak lagi. Mereka terlalu kuat karena main keroyokan.

“Ampun, please! Bajuku kotor semua ini.” Aku berteriak kencang, tetapi mereka tidak menghiraukan. Mereka tetap melempari tepung hingga aku sudah mirip adonan kue yang sudah siap dioven.

“Ini buat kamu.” Ibrahim ketua kelas kami memberikan sebuah kado. Dia pernah menyatakan perasaannya kepadaku beberapa waktu yang lalu, tetapi kutolak. Aku tidak ingin pacaran sampai lulus kuliah. Aku harus harus waspada padanya. Zaman sekarang cinta ditolak dukun beraksi.

“Apa ini?” tanyaku pada Ibra.

“Buka saja! Hadiah kecil dari kami. Tenang aja, ini patungan, kok.”

Aku hendak menolak, tetapi tidak enak. Lumayan lah, daripada tidak dapat apa-apa sama sekali.

Aku membuka kado tersebut dan ternyata isinya adalah pakaian muslim. Mereka memberikanku gamis warna pink dengan jilbab senada. Padahal aku tidak suka memakai jilbab. Namun, aku tidak memiliki pilihan lain. Dengan terpaksa aku berganti baju.

Kali ini aku harus berhati-hati ketika masuk kelas. Ruangan ini memang sudah dibersihkan, tetapi bisa jadi mereka akan memberikan kejutan lagi. Kudengar Bu Endang sedang tidak enak badan, alhamdulillah aku selamat. Aku sedikit lega karena jam kosong.

Dengan santai aku memasuki kelas, tetapi betapa terkejutnya ketika melihat ada seorang laki-laki berdiri tepat di samping meja dosen. Aku mengucek mataku berulang kali, aku tidak salah lihat ‘kan?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Shofie Widdianto
siapa hayoh?
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Siapa lelaki yg berdiri disamping meja dosen,ya? Jangan jangan.....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status