Masuk“Kenapa? Kamu tidak suka?” tanya Arnold dengan cemas karena Sherin tidak kunjung berkomentar. “Atau kalau kamu tertarik dengan vila atau tempat lain, aku bisa─”“Tidak! tidak!” sela Sherin dengan cepat.Padahal kejutan sederhana semalam sudah membuatnya sangat bahagia. Tidak pernah terlintas sedikit pun ia akan mendapatkan hadiah luar biasa lainnya seperti ini, mana mungkin ia masih tidak bersyukur dan menginginkan hadiah yang lebih bernilai dibandingkan ini dari Arnold.“Bukan tidak suka. Tapi … aku rasa hadiah ini sedikit berlebihan,” cicit Sherin, tidak tahu harus bagaimana mengungkapkan rasa senangnya.Meskipun ia sudah lama tidak pernah merayakan ulang tahun, tetapi bukan berarti ia tidak pernah menerima hadiah dari seseorang. Hanya saja, hadiah yang biasa ia dapatkan biasanya sederhana, bisa diperoleh di toko-toko umum.Melihat kebingungan dan kecanggungan yang terlukis di wajah Sherin, Arnold pun terkekeh geli. Awalnya ia berencana mengembalikan semua karya Natalie Callen yang
“Kamu bilang apa?”Suara Arnold terdengar rendah seperti geraman. Rahangnya mengeras, sorot matanya menggelap saat mendengar laporan dari si penelepon di seberang.“Mereka semua ….”Suara Arnold perlahan mengecil sehingga sulit bagi Sherin untuk mendengar lebih jauh. Dari tempat duduknya, wanita itu dapat melihat betapa serius wajah Arnold saat berbicara dengan si penelepon tersebut.Meskipun ia tidak dapat mendengar pembicaraan Arnold dengan si penelepon, tetapi ia bisa merasakan ketegangan yang terpancar dari bahasa tubuh suaminya itu.Kepalan tangan Arnold pada pagar balkon tampak mengencang, seolah-olah ia sedang menahan emosi yang meluap.‘Apa sudah terjadi sesuatu yang buruk?’ batin Sherin, menerka-nerka. Ia hanya bisa menghela napas pelan, merasa tak berdaya untuk membantu pria itu meskipun ia mengetahui masalahnya sekalipun.Sherin pun kembali diingatkan pada pilihan yang telah ia buat. Memilih hidup bersama Arnold dan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang lebih serius berart
Sherin masih terpaku. Lidahnya terasa kelu. Tatapan biru yang menguncinya dengan intens membuatnya melupakan sejenak dunia di sekelilingnya.Perlahan, Sherin mengangkat tangannya, memberanikan diri mengelus lembut rahang kokoh pria itu. Tekstur jambang halus yang baru tumbuh di sana terasa menggelitik telapak tangannya."Maaf sudah membuatmu khawatir,” gumam Sherin, membalas tatapannya dengan tidak kalah intens-nya.Seulas senyuman tipis merekah di bibir wanita itu sebelum ia melanjutkan. “Aku tahu tidak seharusnya aku meragukanmu. Tapi … luka di masa lalu selalu membuatku takut untuk menerima sebuah hubungan.”“Sherin─”“Aku khawatir … semua hal yang kudapatkan saat ini hanyalah mimpi yang bisa hilang sewaktu-waktu,” imbuh Sherin, menyela Arnold dengan cepat. Manik mata zamrudnya telah berkaca-kaca, tetapi bukan kesedihan yang terlihat, melainkan rasa haru yang telah memenuhi dadanya.Sherin menarik napas dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan, “Tapi, kamu membuatku sekali lagi perc
‘Apa terjadi sesuatu sama Kak Leon?’Kecemasan perlahan menjalari pikiran Sherin. Jemarinya mencengkeram ponselnya dengan erat, berusaha menafsirkan makna di balik pesan singkat yang baru saja ia terima. Gaya pesan tersebut tidak seperti Leon yang biasa dikenalnya selalu santai dan diselimuti gurauan.Merasa janggal dan penasaran, akhirnya Sherin memutuskan untuk menghubunginya langsung. Baru saja ujung jarinya hendak menekan tombol panggil—“Sherin?”Suara Arnold terdengar dari ambang pintu.Sherin tersentak. Refleks, ia mematikan layar ponselnya. Gerakan spontan itu tidak luput dari perhatian Arnold.Pria itu melangkah masuk sambil membawa sebuah nampan berisi makanan yang telah dihangatkan. Kedua alisnya berkerut samar, tatapannya tertuju pada ponsel yang masih berada di genggaman istrinya.“Ada apa, Sayang? Ada yang meneleponmu?” tanya Arnold, berusaha terdengar santai.Namun Sherin tidak tahu bahwa di balik nada tenang itu, ada kegelisahan yang berusaha disembunyikan Arnold rapat
“Pa, tunggu!”Leon memanggil ayahnya dengan bersusah payah.Evander menoleh sekilas. Namun, bukan untuk mendengar permohonan putranya, melainkan untuk melontarkan ancaman terakhirnya. “Jauhi wanita itu! Buang jauh-jauh pikiranmu untuk memperistrinya, Leon. Atau bersiaplah untuk kehilangan segalanya termasuk ibumu!”Mata Leon terbelalak lebar. “Pa─ugh!”Rasa nyeri kembali menjalar tajam dari punggungnya hingga ke seluruh tubuh. Ia terpaksa bertumpu pada meja di belakangnya agar tidak kembali terjatuh.Napasnya terengah, dadanya naik turun dengan cepat, tetapi tatapannya tetap tertuju pada punggung sang ayah yang perlahan menjauh.Brak!Pintu terbanting keras, menyisakan Leon yang masih terduduk menahan nyeri. Ancaman ayahnya menggema di kepalanya.Sebagai putranya, ia tahu jelas jika ucapannya bukanlah sekadar gertakan, ayahnya benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya. Selama beberapa tahun terakhir ini, hubungan orang tuanya tidak sebaik yang terlihat di permukaan.Sudah sejak lama
Namun, Leon tidak gentar. Ia menatap ayahnya dalam-dalam dan berkata, “Pa, aku mohon … jangan libatkan Sherin. Dia sama sekali tidak berdosa. Lagian dia juga adalah keponakanmu, kan? Kalau Mama dan Kakek George tahu─”“Berhenti mengancamku dengan nama kakek tua itu dan ibumu,” desis Evander, menyela ucapan putranya lagi. Seraya mendengus sinis, ia bergumam pelan, “Kalau kamu tidak bicara, siapa yang akan tahu?”“Dan lagi, wanita itu jelas terlibat, Leon. Kamu jangan bodoh,” sergah Evander lebih lanjut, memperingatkan putranya dengan keras.Namun, Leon hanya menarik napas panjang. Ia benar-benar kehabisan akal untuk membujuk ayahnya agar tidak melukai gadis pujaannya.“Papa yakin, kebakaran kali ini juga pasti adalah ulah King dan kelompoknya,” lanjut Evander dengan penuh percaya diri.Sorot mata tajam pria paruh baya itu menancap lurus ke arah putranya. Dengan dengusan sinis yang sarat kekecewaan dan tuduhan, ia berkata, “Kalau saja kamu tidak menyelamatkan wanita itu kemarin, semua i







