LOGIN“Sudahlah, David. Kalau Sherin tidak mau menikah dengan Marco, percuma saja memaksanya,” celetuk Penelope setelah Sherin menghilang dari pandangan mereka.
Sambil mengusapkan kompres dingin ke pergelangan tangan suaminya yang memar, wanita itu menambahkan, “Bukankah masih ada Paula? Dia lebih baik dari Sherin. Marco juga pasti tidak keberatan.”
Paula, yang berdiri tak jauh dari mereka, langsung tersenyum tipis mendengar dukungan ibunya. Ia sudah membayangkan sang ayah akan mengiyakan usulan itu. Namun, harapannya runtuh begitu saja saat mendengar jawabannya.
“Bukan Marco yang keberatan, tapi Tuan Besar Langdon!” cetus David berdecak kesal.
Dengan nada frustrasi, ia melanjutkan, “Kamu tidak dengar tadi? Dia hanya mau Sherin yang jadi menantunya, bukan Paula!”
Senyuman di wajah Paula pun lenyap, diiringi dengan ekspresi masam di wajahnya. Sejak awal ia sudah tahu, Frans Langdon memang hanya mengakui Sherin seorang sebagai menantu keluarga Langdon. Karena hal inilah, Marco tidak dapat berbuat apa-apa saat Paula menuntutnya untuk memutuskan Sherin dan itu membuat Paula semakin membenci saudara tirinya itu.
Bahkan demi menyenangkan hati Frans Langdon dan menutupi aib tentang perselingkuhan mereka yang telah diungkapkan Sherin di acara resepsi tadi, Marco sampai terpaksa berbohong dengan mengatakan bahwa rekaman yang dipertontonkan Sherin hanyalah rekayasa belaka.
Meskipun kesal, saat ini Paula hanya bisa menerima saran Marco untuk tetap bersabar hingga pria itu bisa mendapatkan hati ayahnya terlebih dahulu.
“Memangnya apa bagusnya gadis kurang ajar itu?” Paula mendesis geram. Padahal ia merasa jauh lebih unggul dari Sherin dari segi apa pun.
Penelope mengangguk setuju dan berkata, “Kalau kamu tidak bisa bicara, biar aku saja yang menemui Tuan Besar Langdon dan menjelaskan semuanya, David.”
Namun, David malah membentaknya, “Apa masalahku kurang banyak?! Lebih baik diam kalau kamu tidak tahu apa-apa, Pene!”
Kompresan di tangan Penelope terjatuh ke lantai. Wajahnya memerah karena malu sekaligus kesal. Tanpa sepatah kata pun, ia memutar badan dan pergi, diikuti Paula yang mendengus kesal di belakangnya.
David tidak peduli sedikit pun dengan tingkah istri dan putri bungsunya itu. Ia mendudukkan diri di sofa dan termenung. Wajahnya menggelap tatkala teringat dengan keangkuhan Sherin sebelumnya.
“Dasar gadis bodoh. Dia pikir … dia bisa apa tanpa keluarga Scarlet,” desis David, menyeringai sinis. “Aku mau lihat … sampai sejauh mana kamu bisa bertahan, Sherin.”
Saat ini kondisi Clover dalam ambang krisis. David sangat yakin putri sulungnya itu tidak akan mampu mempertahankannya. Ia berpikir, cepat atau lambat, Sherin akan kembali padanya dengan kepala tertunduk dan penuh penyesalan.
Seulas senyuman puas mengukir di bibir pria paruh baya itu. Namun, kegembiraannya tidak bertahan lama. Ada satu hal lain yang mengganggu pikirannya.
Arnold Windsor.
Tatapan dan sikap misterius Arnold serta ketenangan dan keberaniannya menunjukkan bahwa pria itu tidak seperti petugas hotel biasa.
David pun mengeluarkan ponselnya dan melakukan penelusuran terhadap informasi yang dibutuhkannya. Ia khawatir pria itu dan sosok penerus utama keluarga Windsor adalah orang yang sama.
Akan tetapi, mata David menyipit saat tidak menemukan foto jelas dari sosok tersebut. Hanya ada sederet berita yang memuat kiprah “Arnold Windsor” di dunia bisnis internasional.
“Aneh sekali,” gumamnya dengan alis berkerut.
David, yang tidak puas, kembali menggulir layarnya terus ke laman-laman berita lainnya. Gerakan jarinya akhirnya terhenti saat menemukan satu foto yang cukup jelas di sebuah artikel.
Ia menatapnya beberapa detik dan mendengus sinis. “Ck. Ternyata aku saja yang terlalu paranoid," gumamnya, menghela napas lega.
Namun, rasa kesal terhadap Arnold yang mempermalukannya tadi tidak bisa hilang begitu saja. "Kalau bertemu lagi, aku akan pastikan dia membayar mahal kesombongannya itu," desisnya dengan kemarahan yang tertahan.
***
Sementara itu, di dalam mobil, Sherin menyandarkan kepalanya di jendela, menatap kosong keluar. Lampu-lampu kota berkelebat bercampur dengan bayangan air hujan yang mengalir perlahan.
Pandangan Sherin terlihat kabur. Bukan hanya karena tetesan hujan, tetapi juga karena emosi yang berbaur di dalam dadanya.
Arnold menyetir dalam diam, membiarkan gadis itu menikmati ketenangannya. Namun, sesaat kemudian, mobil berhenti ketika lampu lalu lintas berubah merah.
Pria itu melirik ke arahnya. “Menangislah. Tidak usah ditahan,” ucapnya, datar.
Sherin menoleh malas. “Aku tidak selemah itu,” sahutnya ketus.
“Gadis batu,” ledek Arnold seraya menggeleng pelan dan menyeringai tipis. Padahal ia dapat melihat jelas usaha keras gadis itu untuk menahan air matanya.
“Apa kamu bilang?” Sherin memelototinya. “Bisa tidak berhenti memberiku julukan seenaknya? Aku punya nama, Paman!”
“Paman?” Arnold mendengus kasar. Walaupun kesal mendengar panggilan itu, tetapi melihat kondisi gadis itu saat ini, Arnold tidak ingin memperpanjang perdebatan.
Ia kembali melirik gadis itu, kali ini lebih lama. “Jadi apa rencanamu sekarang? Apa kamu punya tujuan?”
Pertanyaan itu membuat Sherin terdiam. Tentu saja ia tidak memiliki tempat tinggal. Bahkan ia tidak membawa sepeser uang pun di tangannya.
“Aku rasa … aku akan bermalam di rumah temanku dulu,” jawab Sherin, terdengar ragu.
Namun, begitu ia membuka ponsel untuk menghubungi sahabat terbaiknya─Hailey Flynn, layar ponselnya langsung mati. Baterai benar-benar habis.
Sherin mendesah frustrasi, lalu menoleh pada Arnold. “Boleh pinjam ponselmu?”
Arnold tanpa banyak bicara menyerahkan gawainya.
Sherin segera menekan nomor yang teringat di dalam kepalanya. Akan tetapi, panggilan tersebut tidak terhubung. Hanya suara penjawab otomatis dari operator yang terdengar di telinganya.
“Ke mana sih dia? Giliran dicari dia malah menghilang,” gerutu Sherin sembari membuang napasnya dengan kasar.
Arnold melirik. “Kenapa tidak coba hubungi yang lain?”
Sherin diam.
“Jangan bilang kamu cuma ingat satu nomor?” ledek pria itu.
Sherin melototinya. "Tidak usah sok tahu!"
Arnold terkekeh pelan, malah semakin sengaja menggodanya, “Atau … jangan-jangan kamu memang tidak punya teman atau saudara lain?”
Sherin mengalihkan wajahnya, menahan emosi. Ucapan Arnold sangat tepat sasaran.
Selama ini gadis itu memang tidak memiliki banyak teman. Meskipun Sherin merupakan putri keluarga Scarlet yang cukup terpandang, tetapi sejak ibunya tiada, berkat hasutan dan gosip yang disebarkan Penelope dan Paula, semua orang menjauhinya.
Tidak jarang pula Sherin menjadi sasaran perundungan semasa sekolahnya karena ulah Paula. Karena itulah, Sherin memilih untuk menutup diri dan membatasi pertemananya.
Hanya Hailey Flynn yang mau berteman dengannya tanpa melihat latar belakang ataupun isu buruk yang beredar.
Melihat wajah muram gadis itu, Arnold pun merasa ucapannya telah menyinggung perasaannya. Ia sempat berniat meminta maaf, tetapi suara Sherin mendahuluinya.
“Eh? Bukannya ini … handphone edisi terbatas yang baru rilis minggu lalu, kan?"
Perubahan topik pembicaraan itu mengalihkan pandangan Arnold pada ponsel miliknya yang berada dalam genggaman Sherin. Gadis itu terlihat serius mengamati gawai tersebut.
“Tiruan. Aku beli di black market. Hanya tiga ratus dolar," jawab Arnold dengan santai.
“Serius?” Sherin tercengang.
Sebelumnya Hailey memiliki ponsel yang serupa. Dari cerita sahabatnya itu, harga ponsel tersebut sangat mahal. Bahkan Hailey sendiri yang merupakan putri keluarga kaya saja sampai harus menghabiskan tiga bulan uang jajan yang diberikan orang tuanya.
Sherin merasa ponsel di tangannya ini terlihat terlalu mewah untuk ukuran "barang tiruan”. Ditambah sikap Arnold .…
Kecurigaan yang sejak tadi ia pendam kembali muncul.
“Arnold,” Suara Sherin mendadak serius. Matanya menyipit tajam. “Jawab jujur … kamu beneran bukan penerus keluarga Windsor yang itu?”
Arnold tersenyum tipis. “Menurutmu ... apakah ada seorang tuan muda kaya yang ingin melakukan pekerjaan rendahan seperti ini?”
Dahi Sherin mengernyit. Ia sangat tidak puas dengan pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan. Namun, pembicaraan mereka berakhir saat mobil kembali melaju dan menembus hujan yang turun semakin deras.
Selang beberapa waktu kemudian, mereka tiba di depan Hotel Royal Night, tempat Sherin mengadakan resepsi sebelumnya.
“Kenapa kamu membawaku kembali ke sini, Paman?” tanya Sherin dengan penuh selidik.
Arnold tidak menjawab. Ia turun begitu saja dari mobil setelah memarkirnya.
"Ck! Dia seperti wanita yang datang bulan saja," sungut Sherin, mendengus kesal.
Namun, tiba-tiba ia teringat akan janji yang telah dibuatnya kepada pria itu mengenai penggantian rugi atas kerusakan mobil yang ditumpanginya tersebut.
“Gawat! Jangan-jangan …," Sherin menggigit bibirnya dengan cemas. "dia ingin aku bertanggung jawab sekarang?”
Padahal Sherin belum memiliki uang yang cukup untuk membayar penggantian kerugian. Namun, ia tidak ingin dianggap sebagai penipu.
Akhirnya dengan perasaan yang sangat berat, ia menyusul pria itu. Akan tetapi, baru saja ia memasuki lobi hotel, ia melihat seorang pria berpakaian semi formal berdiri di depan Arnold.
“Arnold! Ke mana aja kamu?!” bentak pria itu dengan sorot mata tajam. "Bos cari mobilnya dari tadi! Bisa-bisanya kamu malah bawa pergi tanpa izin Kamu pikir itu mobil pribadimu, hah?!”
Sherin yang berdiri di belakang Arnold pun tertegun. ‘Jadi … dia benar hanya pegawai hotel biasa?’
Mobil yang dikemudikan Arnold memasuki kawasan vila elit di kaki gunung. Jalanan sangat lengang, tetapi hanya diterangi cahaya lampu temaram yang berderet di kedua sisi, menciptakan suasana sunyi dan dingin.Sherin menoleh ke sekeliling. Keningnya lantas berkerut. “Arnold, kenapa kamu membawaku ke sini?”Arnold tetap menatap lurus ke depan. “Bukankah kamu bilang ingin bicara?”“Iya, tapi—” Sherin terhenti, rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. ‘Jangan bilang dia mau ….’Glek!Sherin menelan salivanya dengan kasar. Ucapan yang pernah Alvin katakan mengenai sosok “King” yang merupakan sosok pembunuh berdarah dingin, tiba-tiba saja melintas di dalam kepalanya.‘Astaga, aku ini ngelantur apa sih .…’Sherin segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha menepis pikiran konyolnya sendiri. Namun, kewaspadaannya tetap terjaga. Terlalu banyak rahasia tentang Arnold yang belum ia ketahui.Meskipun Arnold belum menjelaskan apa pun tentang identitasnya yang sebenarnya, tetapi kini, Sher
Tangan Arnold yang baru saja membuka pintu mobil seketika terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap Leon dengan sorot mata tajam dan tak bersahabat.“Apa ucapanku tadi kurang jelas?” cibir Arnold dengan dingin, “atau kamu memang terlalu bodoh untuk memahaminya, Leonard Hale?”Rahang Leon mengeras. Urat di pelipisnya tampak menegang, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap tenang.“Tidak usah berpura-pura, Arnold. Aku tahu kalau kamu dan Sherin hanya menikah pura-pura,” cetusnya dengan tegas.Genggaman tangan Arnold pada pintu mobil perlahan mengencang. ‘Sherin yang memberitahunya?’ terkanya di dalam hati.Memikirkan keakraban istrinya dengan pria itu sampai membicarakan tentang rahasia pernikahan mereka membuat hati Arnold terasa panas. Namun, ia tidak ingin memperlihatkannya secara nyata, tidak untuk membuat Leon merasa senang.“Berpura-pura atau tidak, faktanya aku adalah suaminya, Leonard Hale,” desis Arnold seraya mendengus sinis. Tatapannya menyoroti pria itu dengan remeh, menunjukkan
'Ck! Pasti Hailey yang sudah membocorkannya,' sungut Sherin di dalam hati. 'Dasar mulut ember!'Ia mendengus pelan, menahan kekesalan yang mendadak memenuhi dadanya. Meski kecewa, Sherin tahu ia tidak sepenuhnya bisa menyalahkan sahabatnya itu.“Apanya yang benar?”Suara berat Arnold memecah keheningan yang menyesakkan. Tatapannya langsung tertuju pada Leon, dingin dan penuh tekanan.“Aku adalah suami Sherin,” ucap Arnold dengan tegas, lalu berhenti sejenak sebelum melanjutkan dengan penekanan yang disengaja, “sah secara hukum.”Kata "sah" itu meluncur seperti pisau, menghunjam tepat ke sasaran. Dari sorot mata Leon, ia bisa melihat amarah yang tidak lagi mampu disembunyikan.Tanpa memberi Leon celah untuk menyela, Arnold kembali berbicara. Nada suaranya tetap tenang, tetapi setiap katanya mengandung tekanan yang menusuk.“Aku tidak keberatan jika tidak dianggap sebagai keluarga. Tapi kalau begitu, apakah itu berarti kalian juga menganggap Sherin sebagai orang luar?”Arnold sengaja me
“Kamu kenal dengan Tuan Muda Windsor, Leon?” tanya Natasha seraya menatap putranya dan Arnold secara bergantian. Namun, tidak ada satu pun di antara mereka yang menjawab pertanyaannya.Rasa penasaran membuat Sherin ikut menoleh ke arah suaminya. Baru saja ia hendak membuka mulut, suara Arnold telah lebih dulu menyelanya, “Oh?” Arnold melirik Leon sekilas—dingin dan singkat—lalu beralih menatap Sherin. Senyum tipis terukir di sudut bibirnya, “Jadi … dia Kakak Leon yang sering kamu ceritakan itu, Sayang?”Mata Sherin terbelalak. Ucapan Arnold terdengar ringan, tetapi sindiran dingin yang terselip di dalamnya membuat Sherin salah tingkah.Gadis itu tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ia yakin Leon pasti sangat bingung dan syok dengan situasi saat ini. Ia mengira pria itu sama sekali tidak tahu bahwa dirinya telah menikah.Sherin hanya bisa menjawab dengan anggukan. Ia tahu jika Arnold masih belum bisa menerima kedekatannya dengan Leon. Sungguh, ia tidak menyangka jika keduanya terny
Arnold hanya tersenyum tipis, tidak merasa bersalah sedikit pun. “Maaf kalau aku keras kepala. Tapi, kita bersaing dengan adil. Bukankah begitu, Tuan Callen?”George berdeham, jelas masih kesal, tetapi ia hanya bisa mengangguk membenarkan.“Kalau begitu … kamu juga punya lukisan Mama?” selidik Sherin, menatap Arnold dengan tajam.Arnold terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. Ia tahu ia tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan apa pun.Melihat ekspresi kesal Sherin, Natasha yang sejak tadi tidak mencampuri pembicaraan, tiba-tiba menyipitkan matanya dengan tajam, menatap Arnold dengan penuh curiga. “Kenapa? Dia tidak pernah cerita padamu, Sherin?”Sherin menggigit bibir dengan erat, bingung harus menjawab apa. Sepemahamannya terhadap sikap Natasha, ia yakin wanita itu akan meledakkan amarahnya lagi jika tahu Arnold telah “menipu” identitasnya selama ini darinya.Sebelum Natasha menginterogasi lebih lanjut, para pelayan kembali masuk dengan membawakan hidangan penutup. Mereka meleta
Pelayan yang sebelumnya keluar melapor kembali masuk bersama tiga orang pria, dua di antaranya adalah staf keamanan internal dan satu lainnya adalah manajer restorannya.Namun, sebelum manajer itu sempat menanyakan apa pun, suara Arnold sudah lebih dulu memotong tajam, “Kalian … bawa pengacau ini keluar!”David terperanjat saat telunjuk Arnold mengarah padanya.Manajer restoran tampak hendak berbicara, tetapi Arnold kembali menyambar dengan nada dingin penuh wibawa, “Saya Arnold Windsor. Orang ini telah mengacaukan acara makan malam keluarga saya. Keluarkan dia… dan pastikan dia membayar semua tagihannya sebelum pergi.”Seketika ruangan diliputi keheningan yang menegang. Semua orang saling berpandangan dengan kaget sekaligus bingung dengan sikap otoriter Arnold.David langsung tergelak. “Arnold Windsor, aku tahu kamu hebat dan punya banyak uang. Tapi, jangan sok berlagak seperti pemilik restoran ini. Kamu pikir mereka akan menuruti perintahmu begitu saja?”“Kenapa tidak?” Arnold menye







